Rabu, 30 Desember 2009

Restorative Justice Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (AKH)

Sebuah ketidak adilan membiarkan anak yang berkonflik dengan hukum dimintakan pertanggungjawaban hukum yang melebihi kemampuan personal anak. Kematangan moral dan psikologis anak akan tidak berkembang secara wajar apabila dia berhadapan dengan realitas penjara dan proses peradilan anak yang hingga kini masih mengandung unsur kekerasan, isolasi keluarga, tidak dipisahkan dengan tahanan/terpidana dewasa, dan sejumlah daftar tindakan kontra hak anak dari aparatur penegak hukum.
Seringkali perbuatan yang dilakukan anak hanya kenakalan saja bukan kejahatan (kriminal). Menurut kamus hukum, kenakalan anak atau Juvenile Delinquency hanyalah suatu ”Antisocial behaviour by a minor; esp..., behaviour that would be criminally punishable if the actor were an adult, but instead is usu. Punished by special laws pertaining only to minor”.
Terdapat dua kategori perilaku anak yang membuatnya berhadapan dengan hukum yakni status offender dan juvenile delinquency. Status offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan. Contohnya tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah. Sedangkan juvenile delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan.
Mengacu pada UU No 39/ 1999 tentang HAM dan UU No 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak serta secara konkrit diwujudkan dalam UU No 3/1997 tentang Peradilan Anak, semestinya proses hukum bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum masuk dalam sistem peradilan pidana terpadu yang mengutamakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Persidangan anak dilakukan tertutup dengan hakim tunggal. Hakim, jaksa, dan penasihat hukum tidak menggunakan pakaian dinas atau toga. Pidana yang dapat dijatuhkan bagi mereka paling lama separuh dari ancaman maksimal pidana penjara orang dewasa. Anak juga mendapatkan perlindungan pemberitaan atas identitas mereka.
Namun pada kenyataannya, sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum masih sedikit yang mendapatkan bantuan hukum sejak awal proses hukum. Kasus-kasus anak pun masih ditangani oleh penyidik umum, di luar unit Perlindungan Perempuan Anak (PPA). Oleh karenanya, perlu dihindari penghukuman tidak manusiawi yang menjatuhkan martabat anak dan penjara sebagai upaya terakhir (Pasal 16 UU Perlindungan Anak).
Pada perkembangan lain, lahirlah model penghukuman yang bersifat restoratif (restorative justice). Kelompok Kerja Peradilan Anak PBB mendefinisikan restorative justice system sebagai suatu proses di mana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang.
Restorative justice pada dasarnya dapat dilakukan dengan diskresi dan diversi. Diskresi merupakan kewenangan kepolisian secara legal untuk meneruskan atau menghentikan suatu perkara. Sedangkan Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana. Tujuan memberlakukan diversi adalah menghindarkan proses penahanan terhadap anak dan pelabelan anak sebagai penjahat. Anak didorong untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.
Penerapan restorative justice menekankan pada kemauan murni dari pelaku untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya sebagai bentuk rasa tanggung jawab. Perbaikan kerugian harus proporsional dengan memperhatikan hak dan kebutuhan korban. Untuk menghasilkan kesepakatan para pihak tersebut, perlu dilakukan dialog-dialog informal seperti mediasi dan musyawarah. Keterlibatan anggota komunitas yang relevan dan berminat secara aktif sangat penting dalam bagian ini sebagai upaya penerimaan kembali si anak dalam masyarakat.
Restorative justice memang masih kurang terdengar gaungnya di masyarakat. Masih jarang metode ini diterapkan pada penyelesaian kasus-kasus pidana yang mendudukan anak-anak sebagai pelaku. Selama ini anak yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan secara pidana pula, yakni dengan pemenjaraan. Padahal, metode pemenjaraan sejauh ini tidak selalu berhasil memberi efek jera pada diri anak-anak. Di samping itu, pemenjaraan telah memasung sebagian besar hak anak.
Pada intinya, fokus restorative justice adalah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan masyarakat, serta mengembalikan pelaku kepada masyarakat. Upaya ini membutuhkan kerja sama semua stakeholders dan aparat penegak hukum dalam rangka perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.


Izoel.261209

Minggu, 27 Desember 2009

Ini Penjara, Bung! (Bagian 2)

Dua hari yang lalu, Anita menyampaikan selembar surat yang ditulis oleh salah seorang anak yang berada di Rumah Tahanan Kebonwaru Bandung. Anak itu mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada kami yang telah mendampinginya dan kawan-kawan senasibnya di Rutan. Ia merasa pendampingan kami telah dapat memberi motivasi kepada mereka. Ia mengaku selama ditahan, ia telah banyak kehilangan motivasi dan harapan dalam hidup. Ia merasa diasingkan dari kehidupannya sehari-hari.
Itulah pengakuan dari salah seorang anak di Rutan Kebonwaru yang selama ini kami dampingi. Kami tidak bermaksud menceritakan sejauh mana manfaat pendampingan kami terhadap anak di Rutan. Namun, kami ingin mengajak pembaca sekalian untuk memperhatikan segala hal yang dirasakan oleh anak-anak ini selama berada dalam tahanan.
Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang anak dalam surat tadi, mereka seringkali kehilangan motivasi dan semangat hidup. Mereka pun merasa kehilangan harapan dan tak bisa lagi mengejar cita-cita mereka. Tak jarang mereka merasa dijauhkan atau diasingkan dari keluarga, teman-teman dan lingkungannya, karena sangat minimnya interaksi mereka dengan dunia luar.
Kenyataan ini berpengaruh pada kondisi mereka selama berada di tahanan, termasuk ketika anak-anak ini mengikuti kegiatan kami. Dalam setiap kegiatan kami, selalu saja ada anak-anak yang murung dan kurang antusias mengikuti kegiatan. Ada juga anak-anak yang nampak kehilangan orientasi.
Selain itu, nampak pula pada diri anak selama proses pendampingan gejala-gejala agresivitas yang kadang-kadang meluap-meluap. Agresivitas pada diri anak ini diwujudkan dalam bentuk kata-kata kasar, menyindir atau mengejek. Ada juga yang berupa perilaku yang tidak pada tempatnya hingga tindakan kasar seperti mendorong, memukul atau menendang.
Anak-anak sering mengekspresikan perasaan-perasaan mereka dalam berbagai bentuk, ada lewat tulisan, gambar, dan lain-lain. Sebagian seringkali mengidentikan mereka lekat dengan jalanan, dunia hitam atau kejahatan. Pengidentikan seperti ini nampak pada simbol-simbol yang mereka tunjukkan pada gambar yang mereka buat di media-media yang kami sediakan atau pada kaos-kaos yang mereka pakai.
Sebagian anak di Rutan Kebonwaru mempunyai tato di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian dari mereka ada yang telah memiliki tato sejak sebelum mereka ditahan, dan sebagian lain baru membuat tato selama berada di penjara. Sebagian anak membuat alat-alat pembuat tato sendiri selama berada di penjara dengan beberapa benda yang mereka temukan, misalnya, dengan batere bekas dan beberapa benda logam. Sebagai tintanya, mereka seringkali menggunakan tinta pulpen atau spidol.
Tak hanya itu, dalam beberapa kesempatan pendampingan, kami menemukan beberapa anak yang nampak mabuk. Ternyata, dari pengakuan dan kesaksian sebagian anak, beberapa orang dari mereka kadang-kadang bermabuk-mabukan baik dengan minuman, ganja atau obat-obatan. Karena beberapa keterbatasan, sebagian anak acapkali mabuk dengan mencampur beberapa obat yang menjadi ‘resep rutin’ Klinik Rutan. Disebut ‘resep rutin’ karena seringkali tahanan yang sakit dan diobati di klinik itu mendapatkan resep yang hampir sama untuk penyakit yang beragam.
Sebuah kenyataan yang cukup tragis dan harus diterima sebagian anak-anak kita. Kondisi di atas masih harus ditambah dengan interaksi tahanan anak-anak ini dengan para tahanan dewasa, karena mereka berada dalam satu kompleks penjara. Dan Rutan Kebonwaru hampir tidak jauh berbeda kondisinya dengan penjara-penjara lainnya yang tidak amak bagi anak. Ini penjara, Bung. Bukan tempat yang layak bagi anak!

Senin, 21 Desember 2009

PENANGANAN KASUS KRIMINAL ANAK


Sebuah data yang dilansir oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan , bahwa pelaku kriminal dari kalangan remaja dan anak-anak meningkat pesat. Berdasarkan data yang ada, terhitung sejak Januari hingga Oktober 2009, meningkat 35% dibandingkan tahun sebelumnya. Pelakunya rata-rata berusia 13 hingga 17 tahun. Data ini menyebutkan, mulai Januari hingga Oktober jumlah kasus kriminal yang dilakukan anak-anak dan remaja tercatat 1.150, sementara pada 2008 hanya 713 kasus. Ini berarti ada peningkatan 437 kasus. Adapun jenis kasus kejahatan itu antara lain pencurian, narkoba, pembunuhan dan pemerkosaan.
Meski demikian, walau ada peningkatan kasus kriminal oleh anak dan remaja, kasus kekerasan terhadap anak dan remaja cenderung menurun. Pada 2008, kasus seksual yang menimpa anak-anak tercatat 6.999 kasus. Pada Januari-Oktober 2009 hanya 488 kasus. Sementara kasus kekerasan fisik terhadap anak pada 2008 tercatat 4.818, pada 2009 ini turun menjadi 394 kasus.
Kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan remaja pada 2008 mengakibatkan 208 anak mengalami cedera ringan cedera berat 493 orang, dan meninggal 101 orang. Pada 2009, yang cedera ringan 123 orang, cedera berat 52 orang, dan meninggal 210 orang.
Peningkatan kasus kriminal yang dilakukan anak dan remaja ini disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain, kurangnya kasih sayang dan perhatian dari keluarga serta kurangnya pembinaan dari orangtua. Selain itu, masalah kemiskinan dan pergaulan juga menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak kriminal anak.
Meski peningkatan kasus kriminal anak sangat tinggi, hingga kini pemerintah belum memiliki rumah pembinaan khusus bagi anak-anak yang bermasalah. Sejauh ini, pemerintah hanya memasukkan anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) ke dalam sel-sel Rumah Tahanan (Rutan) atau Lembaga Pemasyarakatan (LP). Padahal, Rutan bahkan LP Anak sekalipun tidak mampu memenuhi hak-hak anak, khususnya hak kebebasan dan hak tumbuh-kembang anak. Hal ini pun masih harus ditambah dengan sebagian besar anak-anak yang ditahan harus berbaur dengan para tahanan dewasa.
Semestinya penanganan hukum terhadap anak harus tetap memperhatikan beberapa hal, seperti aspek psikologis, mengedepankan sosialisasi hukum, pendampingan psikologis, pemisahan tempat penahanan hingga pendampingan pengacara. Beberapa hal tadi harus dilakukan karena penanganan tanpa diimbangi program terpadu terkait pendidikan, kesehatan, bimbingan psikologis, dan keterlibatan komunitas akan mendorong kecenderungan anak untuk mengulangi perbuatan yang melanggar hukum.     
Untuk menjalankan beberapa langkah di atas, pemerintah perlu melakukan koordinasi lintas dinas khususnya dinas pendidikan, dinas sosial, dan dinas kesehatan yang bekerja sama dengan aparat kepolisian. Di samping itu, harus juga melibatkan seluruh stakeholder terkait dan masyarakat.
Namun, segala hal yang kita lakukan akan percuma bila kita tidak secara terbuka untuk memahami anak dan hak-hak mereka. Maka, pemahaman yang terbuka didasari kasih sayang terhadap anak-anak kita dan hak-hak mereka akan memunculkan sikap, perlakuan dan kebijakan yang lebih komperehensif terhadap anak, termasuk di dalamnya anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Kita pun harus menghindari labelisasi ‘anak nakal’ atau ‘anak jahat’, meskipun mereka telah melakukan suatu kesalahan. Hal ini dapat mendorong nilai-nilai positif pada diri anak, bukan sebaliknya. Wallahu a’lam....

Izoel.2212009

Jumat, 18 Desember 2009

Ini Penjara, Bung! (Bagian 1)


Penjara dengan segala macam permasalahan dan kondisinya, ternyata telah menjadi entitas sosial tersendiri di masyarakat. Penjara sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang dinilai telah melakukan tindak kejahatan di tengah masyarakat, secara laten telah menerapkan beberapa nilai tersendiri. Layaknya hukum rimba, di penjara orang-orang yang mempunyai kekuatan akan menguasai orang-orang yang lemah. Dan biasanya, semakin berat tingkat kejahatan seseorang maka ia akan semakin dihargai.
Tahanan anak sebagai salah satu kelompok yang hidup dalam belenggu tembok-tembok tinggi penjara, tak luput dari kondisi seperti di atas. Tahanan anak pun seringkali diperlakukan sama dalam penjara layaknya tahanan dewasa. Terlebih lagi ketika tahanan anak ini bersatu dengan para tahanan dewasa. Tahanan anak ini acapkali dieksploitasi oleh para tahanan dewasa.
Kondisi Rumah Tahanan Kebonwaru hampir serupa penjara-penjara lainnya. Meski telah mengalami renovasi, tetap saja kapasitasnya sangat terbatas. Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar tahanan menghabiskan proses penahanannya di Rutan ini. Padahal, Rumah Tahanan hanya berfungsi sebaga tempat penahanan sementara selama para tahanan menjalani proses peradilan di pengadilan. Kondisi over capacity ini bertambah ketika tahanan anak harus bersatu dengan tahanan dewasa. Alhasil beberapa tahanan, khususnya tahanan anak, harus berpindah-pindah antara rutan yang satu ke rutan yang lain.
Kondisi memprihatinkan pun harus dialami para tahanan anak. Ketika mereka harus bersatu dan berinteraksi dengan para tahanan dewasa, tahanan anak seringkali menjadi korban eksploitasi para tahanan dewasa. Meski sel tahanan anak terpisah dari sel tahanan dewasa, tetapi hal itu tidak dapat mencegah beberapa bentuk eksploitasi terhadap tahanan anak. Dari eksplotasi yang bersipat ekonomi, eksploitasi bersipat fisik, hingga eksploitasi yang bersipat psikis. Kadangkala terjadi pula eksploitasi secara seksual. Namun, eksploitasi dalam kategori terakhir ini intensitasnya sangat kecil dan agak sulit untuk diungkap.
Meski demikian, mengungkapkan eksploitasi anak di dalam penjara bak mencari jarum dalam tumpukan jerami, kita akan mengalami banyak kesulitan. Di samping sangat sulit membuktikannya secara langsung, tahanan anak pun seringkali tutup mulut tentang hal ini.
Selama proses pendampingan, kami sering mendapati anak-anak dengan tatapan kosong dan raut lesu. Di antara mereka, ada yang secara terbuka menjelaskan kondis mereka. Dan sebagian lain seringkali menghindar untuk menjelaskan apa yang terjadi. Boleh jadi kondisi tubuh mereka memang tidak sehat, karena layanan yang ada di rutan sangat terbatas.
Untuk makan, para tahanan anak ini mendapat jatah makan sepiring nasi cadong (nasi setengah matang) dengan lauk apa adanya dan kurang enak. Sehingga, anak-anak ini seringkali harus merogoh saku dalam-dalam agar bisa mendapatkan makanan yang cukup layak, mungkin sebungkus mi instan atau sepiring nasi goreng. Kondisi ini berdampak pada kunjungan orang tua atau keluarga mereka dari luar. Anak-anak sering meminta keluarganya yang menjenguk untuk membekali mereka dengan beberapa barang yang mereka butuhkan atau dengan sejumlah uang. Bagi anak-anak yang menyadari kesusahan keluarganya, seringkali meminta keluarganya untuk tidak menjenguknya di Rutan.
Layanan kesehatan dalam Rutan pun sangat terbatas. Di samping sanitasi yang sangat tidak sehat di dalam sel, anak-anak pun kurang mendapatkan penanganan yang layak apabila mereka sakit. Dalam beberapa kasus, seringkali anak-anak yang berobat ke Rumah Sakit kecil yang ada di dalam kompleks Rutan, diberi obat-obat yang kurang tepat untuk menyembuhkan sakitnya.
Itulah gambaran kecil kondisi penjara-penjara kita. Dan dalam tingginya tembok dan jeruji besi penjara, terdapat sebagian anak-anak kita. Anak-anak yang divonis karena ketidakberdayaan mereka. Sebagian dari tahanan anak-anak ini pun masih harus bersatu, berinteraksi hingga mendapatkan perlakuan tidak layak dari tahanan-tahanan dewasa. Melihat kenyataan seperti ini acapkali sebagian besar dari kita kurang peduli, bahkan menilai apa yang terjadi itu layak diterima oleh anak-anak ini karena kesalahan mereka. Kondisi yang terjadi di penjara dan harus dialami oleh sebagian anak seringkali dinilai wajar seraya berkata,”Ini penjara, Bung.”Seakan-akan dalam penjara boleh terjadi segala hal yang tidak semestinya terjadi, termasuk terhadap anak-anak. Wallahu a’lam....

Izoel.101209

Jumat, 04 Desember 2009

Mengeksplorasi Kelebihan Anak


(Catatan Pendampingan Anak di Rumah Tahanan Kebonwaru, 3 Desember 2009)
Bila anda tanyakan apa yang telah anda hasilkan dari kegiatan pendampingan di rumah tahanan. Saya hanya bisa katakan bahwa kami senantiasa mencoba agar anak-anak yang ditahan itu tetap nyaman bercerita dan bebas berekspresi. Kami tidak mengajar anak-anak itu membaca atau menghitung. Kami pun tak cukup mempunyai kapasitas lebih untuk membimbing anak-anak agar mempunyai keahlian pada beberapa jenis keterampilan tertentu. Kegiatan-kegiatan keterampilan yang kami lakukan di penjara merupakan wahana ekspresi dan boleh jadi hanya menjadi alat bagi pelampiasan emosi dan perasaan mereka. Namun, itulah yang sering kita lupakan, pendidikan anak hanya diartikan belajar membaca, menghitung, menghapal, membuat sebuah karya atau menciptakan prestasi tertentu. Acapkali kita mengesampingkan mental, emosi, atau kondisi kejiwaan anak. Kondisi yang menyedihkan, ketika seringkali pendidikan Indonesia hanya dimaknai dengan pencapaian angka-angka tertentu yang seringkali tidak menggambarkan realitas pendidikan dan anak itu sendiri.
Hari ini, 3 Desember 2009, kami mengajak anak-anak di rumah tahanan Kebonwaru melakukan beberapa game dan simulasi. Tentu saja aktivitas ini bukan sekedar dimaksudkan untuk mengajak anak-anak bermain, tetapi ada beberapa nilai yang akan kami sampaikan. Nilai utama yang akan kami sampaikan melalui game-game ini adalah mengeksplorasi kelebihan atau potensi anak, sehingga di kemudian hari mereka dapat mengembangkan kelebihan atau potensi itu demi kehidupan yang lebih baik.
Rangkaian game/simulasi itu terdiri dari: ’My Ballons’, ’Celebrate’, ’Fire in The hole’, ’No Name’, dan ’Mission Possible’. ’My Ballons’ adalah game yang dimainkan dengan balon-balon empat warna yang dipegang oleh setiap anak. Anak-anak membentuk lingkaran mengelilingi fasilitator game. Setiap anak diminta untuk meniup sebesar-besarnya balon yang mereka pegang, lalu melambung-lambungkannya setinggi-tingginya dan anak harus terus mengejarnya. Mereka nampak sangat antusias.
Di sesi ’Celebrate’, anak-anak harus segera menangkap balonnya masing-masing. Kemudian mereka berkumpul dengan teman-temannya yang memiliki balon dengan warna yang sama. Ketika ada perintah ’Fire in The Hole’, mereka harus segera memecahkan balonnya masing-masing. Cara memecahkan balon yaitu, setiap pasang anak saling membelakangi dan balon disimpan di antara punggung-punggung mereka. Lalu mereka saling mendekatkan punggung, dan balon pun pecah. Sontak anak-anak pun berteriak.
Selanjutnya, anak-anak membuat yel-yel kelompok. Yel-yel itu dikompetisikan dengan kelompok lainnya. Simulasi ini diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri anak sebagai bagian dari kelompok.
Kemudian, anak-anak memainkan game ’No Name’. Dalam kelompok-kelompok tadi, anak-anak saling berbagi peran menjadi ’si Buta’, ’si Bisu’ dan ’si Tuli’ yang secara berantai menyampaikan beberapa pesan. ’Si Buta’ tidak dapat melihat, karenanya matanya harus ditutup dengan sehelai kain. ’Si Bisu’ tidak dapat berbicara, sehingga hanya boleh menggunakan bahasa isyarat. ’Si Tuli’ tidak bisa mendengar, sehingga ia diperbolehkan bicara. Game ini berlangsung sangat riuh dan agak kacau, dan beberapa anak nampak bingung dengan beberapa aturan mainnya. Namun, kami tetap merasa sangat gembira dengan ekspresi anak-anak yang keluar. Game ini sendiri dimaksudkan untuk menstimulasi dan memunculkan kelebihan atau potensi setiap anak.
Kami pun sampai pada sesi ’Mission Possible’. Setiap anak diminta untuk mengisi lembaran yang terdiri dari kolom ’Terlahir’, kolom ’Memiliki’, kolom ’Melakukan’ dan kolom ’Menjadi’. Pada kolom ’Terlahir’, setiap anak diminta menuliskan pandangan mereka tentang diri mereka sendiri sejak lahir. Sedangkan, di kolom ’Memiliki’, anak-anak diminta menyebutkan beberapa kelebihan yang mereka miliki. Kolom ’Melakukan’ berisi pengalaman-pengalaman terbaik anak selama mereka hidup. Dan kolom ’Menjadi’ berisi cita-cita atau harapan anak-anak. Sesi ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi kelebihan, kemampuan dan potensi anak, sehingga mereka dapat berpikir positif dan mempunyai harapan selepas keluar tahanan nanti.
Terakhir, Anita mengajak anak-anak untuk sedikit melakukan relaksasi dan menyampaikan beberapa refleksi dari kegiatan-kegiatan yang telah kami lakukan. Dan kegiatan berakhir dengan senyum lepas dan ekspresi bebas anak-anak.
Tak banyak yang kami berikan bagi anak-anak yang berada di tahanan tadi. Namun, kami tetap merasa bangga dapat senantiasa menatap tawa dan canda mereka. Dan kami selalu berusaha meyakinkan mereka, masih ada kehidupan dan harapan yang lebih baik selepas mereka bebas nanti. Wallahu a’lam...

Izoel.031209

Minggu, 29 November 2009

Penjara Bukan Tempat Aman Bagi Anak


(Catatan pendampingan anak Rutan Kebonwaru, 26 November 2009)
Hari ini, 26 November 2009, saya, Anita, Jaka, Oka, Rahmi dan Bayu, kembali mendampingi anak-anak di Rumah Tahanan Kebonwaru. Dengan pembukaan yang sangat sederhana, kami mulai melakukan beberapa kegiatan.
Di kelompok Kriya, Jaka memandu anak-anak untuk membuat patung dari tanah liat. Sementara di Kelompok Musik, anak-anak asyik memainkan beberapa lagu dengan alat-alat yang sederhana. Saya pun menemani E (17 tahun), bernyanyi dan merekam satu lagu baru ciptaannya.
Sementara itu, Anita mendampingi 2 orang anak yang baru beberapa hari masuk tahanan. Salah satunya adalah seorang anak berusia 11 tahun, sebut saja namanya D. Ia terpaksa masuk tahanan karena dianggap telah melakukan kekerasan fisik terhadap ibu tirinya. Menurut penuturan D, ayahnya mempunyai dua orang isteri. Pada satu ketika, kedua orang isterinya ini terlibat suatu percekcokan. D yang baru saja pulang sekolah, terdorong untuk membantu ibunya. Entah kejadiannya seperti apa, tiba-tiba D mencekik leher ibu tirinya hingga terluka parah. D sangat kecewa dengan ayahnya yang tidak menengahi percekcokan dua orang isterinya itu, padahal ia sedang berada di rumah dan mengetahui kejadian tersebut. Justeru ayahnyalah yang melaporkan kejadian itu kepada polisi, sehingga D mesti ditahan bersama ibunya di tempat berbeda.
Di pojok lain ruang pendidikan yang biasa kami gunakan ini, Rahmi dan Bayu berbincang-bincang dengan beberapa anak. Rahmi banyak mendapat informasi dari beberapa orang anak tentang kondisi yang terjadi di dalam Rumah tahanan Kebonwaru. Meski banyak informasi masih harus kami klarifikasi, tapi tak salah kiranya bila beberapa di antaranya saya ceritakan di sini.
Menurut seorang anak, interaksi yang sangat terbuka antara tahanan anak dengan tahanan dewasa seringkali membawa efek negatif bagi tahanan anak. Salah satunya adalah berpotensi terjadinya “siklus residivis”. Siklus residivis adalah suatu perputaran dimana anak-anak berpotensi untuk keluar-masuk penjara. Kondisi ini sangat mungkin terjadi ketika tahanan anak banyak berinteraksi dan banyak belajar dari tahanan-tahanan dewasa, termasuk tentang belajar beberapa modus kejahatan. Beberapa efek lain pun terjadi di dalam tahanan. Misalnya, perkelahian antar tahanan anak atau pemalakan yang dilakukan oleh beberapa tahanan yang menjadi kaki tangan tahanan dewasa, terhadap tahanan-tahanan anak yang lain. Kondisi terburuk lain pun terjadi meski dengan intensitas yang sangat kecil dan sulit sekali dideteksi, yaitu, pasokan narkoba dari beberapa tahanan dewasa bagi beberapa tahanan anak.
Dari penuturan beberapa orang anak ini, semakin memperkuat keyakinan kami bahwa penjara sangat tidak layak dan tidak aman bagi anak. Ketika kondisi penjara masih seperti ini, masih tegakah kita untuk memeja hijaukan dan memenjarakan anak-anak kita hanya karena beberapa kasus yang sebenarnya masih bisa diselesaikan dengan cara-cara kekeluargaan. Dalam cerita di atas, sangatlah ironi seorang bapak tega memenjarakan anaknya, hanya karena isteri mudanya disakiti.
Dengan memenjarakan anak, kita telah menghilangkan beberapa hak yang semestinya anak-anak dapatkan, seperti, hak kebebasan, hak berekpresi, hak tumbuh-kembang dan sebagainya. Meski anak-anak itu telah melakukan kesalahan, dalam sebagian kasus yang kami temukan, sanksi dan kondisi yang mereka harus terima di tahanan acapkali tidak sepadan dengan kesalahan yang mereka lakukan.
Tentu saja kita tidak cukup hanya mengusap dada dan menyesali nasib beberapa anak kita yang mesti berhadapan dengan hukum dan mendekam di tahanan. Atau bahkan bersikap tak peduli karena kejadian di atas tidak terjadi dengan anak, adik atau keponakan kita sendiri. Kita harus bergerak dan mendorong agar ada perlakuan adil bagi anak-anak di sekitar kita, termasuk anak-anak yang harus berkonflik dengan hukum. Wallahu a’lam....
zoel.261109

Jumat, 20 November 2009

Sederhana Bukan Berarti Asal-asalan


(Catatan Pendampingan Anak Rutan Kebonwaru, 19 November 2009)
Seringkali ungkapan “Kecil tapi bermakna” hanya menjadi apologi bagi perilaku kita yang biasa-biasa saja bahkan tidak seberapa. Hal ini terjadi karena kita tidak dapat melakukan sesuatu yang besar karena tidak memiliki sumber daya yang memadai atau boleh jadi tidak berniat sedikit pun untuk melakukan yang besar.
Dalam beberapa tulisan saya terdahulu, saya selalu mengatakan, mungkin apa yang kami lakukan bagi anak-anak yang berada di Rutan Kebonwaru merupakan sesuatu yang tidak seberapa bahkan acapkali terkesan tak beraturan. Bayangkan saja, kami hanya mempunyai waktu 2 jam dalam seminggu dengan jumlah pendamping 4 – 5 orang menghadapi sekira 40 – 60 orang anak.
Sebenarnya, andai saja kami mau melakukan kegiatan dengan sembarangan atau asal rame nampaknya anak-anak bakal tetap enjoy. Namun, kami selalu diingatkan bahwa pendampingan ini bukan sekedar menemani dan menghibur anak-anak, tetapi juga menanamkan nilai-nilai positif pada diri anak. Nilai-nilai positif yang dimaksud bukan ‘menghakimi’ perbuatan salah anak, melainkan mengajak mereka untuk mengingat hal-hal terindah sepanjang hidup mereka, memandu mereka untuk bermimpi dan mempunyai cita-cita setelah bebas nanti.
Dalam sebuah aktivitas sosial, acapkali kita selalu tergoda untuk memberikan segala bentuk sumbangan sebagai manifestasi dari kepedulian kita terhadap sesama. Padahal, selain kita harus membantu sesama, kita pun dituntut untuk membangkitkan semangat dan mendorong mereka untuk bisa mandiri. Hal inilah yang seringkali kita lupa, sehingga di kemudian hari timbul sikap-sikap ketergantungan dari orang-orang yang kita bantu.
Kemudian, bila kita melaksanakan program bersama masyarakat, seringkali kita merasa kitalah ‘pemilik’ atau segala-galanya dalam program itu dan masyarakat hanya menjadi obyek dari program tersebut. Sehingga masyarakat seringkali tidak dilibatkan dalam proses pengawasan atau evaluasi program dan proses pengambilan keputusan. Padahal, kita selalu berharap dan mendorong keterlibatan dan partisipasi penuh masyarakat.
Partisipasi anak dalam sebuah program pun seringkali hanya diartikan tak lebih dari sekedar anak-anak mengikuti alur kegiatan yang telah ditentukan dan sama sekali anak-anak tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan atau evaluasi keberlangsungan program tersebut.
Hal inilah yang mendorong kami untuk senantiasa memacu partisipasi anak dalam pengertian yang sebenarnya. Dengan kata lain, anak-anak tidak hanya mengikuti alur kegiatan, tetapi mereka pun turut menentukan tahap dan jenis kegiatan sekaligus mengawasi proses dan melakukan evaluasi kegiatan. Meskipun demikian, kami harus akui ada ‘tambal-sulam’ dalam proses ini. Tentang proses keterlibatan anak ini telah saya ceritakan dalam beberapa tulisan saya terdahulu.
Hari ini, saya mengikuti beberapa aktivitas yang sebagian telah direncanakan oleh anak-anak itu sendiri. Kelompok Musik tengah mencoba beberapa instrumen sederhana, seperti, botol, tutup panci, bambu dan kaleng bekas. Ada hal yang menarik, ketika Bram turut belajar bersama anak-anak memainkan Suling Recorder, yang menurut pengamatan saya, baru hari ini digunakan Bram dan anak-anak Kelompok Musik. Bram memulai dengan mencari not-not hingga terangkai nada dari sebuah lagu, yaitu, lagu ‘Jangan Menyerah’nya D`Massive.
Anak-anak di Kelompok Kriya pun nampak asyik membuat rumah-rumahan dari kardus-kardus bekas. Ditemani Jaka dan Bayu, anak-anak mulai merekatkan kardus-kardus itu dengan lem hingga membentuk sebuah rumah. Selanjutnya, rumah-rumahan itu dicat. Jadilah rumah-rumah mungil warna-warni.
Sejauh pengamatan saya, kegiatan hari ini berjalan lancar meski harus kami akui tidak semua anak mengikuti dua kegiatan kelompok tadi. Anak-anak baru dipandu Anita mengikuti proses inisiasi. Anak-anak lain ada yang berbincang-bincang bersama Rahmi dan Bu Dewi, salah seorang tamu kami dari Dinas Sosial Kota Bandung. Dan sisanya seperti biasa ada anak-anak yang hanya melamun di pojok atau sekedar bersenda-gurau dengan teman-temannya.
Bila ukurannya sekedar ramai saja, maka kegiatan pendampingan hari ini nampak ramai. Namun, bila kita tarik kepada target pemaknaan positif dan mendialogkan nilai bersama, rasanya kami harus terus meningkatkan kerja keras kami. Sejauh ini kami baru bisa melakukan hal-hal yang sederhana bagi anak. Dan kami akan senantiasa mendorong usaha sederhana ini tidak asal jalan. Wallahu a’lam...

zoel.191109

Minggu, 08 November 2009

Bebas....

(Catatan Pendampingan Anak di Rutan Kebonwaru, 29 Oktober 2009)

Di awal pendampingan kami hari ini, kami mendapat kabar gembira beberapa orang anak telah dibebaskan. E (18 tahun), salah seorang di antaranya telah cukup lama mendekam di rutan Kebonwaru karena kasus pelecehan seksual. Dengan wajah yang berseri-seri E menghampiri kami dan berkata,”Aku bebas, Kak”. Kami pun menyambutnya dan menyampaikan beberapa pesan kepadanya.
Memang dalam beberapa minggu terakhir banyak anak yang dibebaskan. Selain karena habis masa penahanan, sebagian anak dibebaskan karena mendapat remisi atau mendapat pembebasan bersayarat.
Bebas boleh dikatakan sebagai puncak kebahagiaan anak-anak yang ditahan ini. Jangankan bebas secara penuh keluar dari kompleks rutan, sekedar keluar sel untuk melakukan beberapa kegiatan pun mereka sudah cukup senang. Anak-anak ini sangat ingin keluar dari kungkungan teralis besi. Bayangkan saja, mereka harus bertumpuk-tumpuk sekira 30-40 orang dalam sel yang sangat kecil. Mereka tak bisa belajar. Mereka pun tak boleh bermain. Padahal, anak-anak ini sangat suka bermain, berkumpul dengan teman-temannya dan butuh belajar. Sayang hanya dengan sebuah kesalahan, segalanya terengut dari mereka, kebebasan juga perhatian dan kasih sayang orang tua mereka. Sebuah harga yang terlalu besar untuk menebus kesalahan mereka.
Sekarang ini, dari sekira 50 orang anak yang ditahan di Rutan Kebonwaru, hanya sekira 5 orang saja yang masa tahanannya cukup lama. Itu pun dalam 2-3 bulan ini anak-anak itu akan segera dibebaskan. Sisanya adalah anak-anak dengan masa tahanan pendek berkisar antara 3-4 bulan.
Dalam hati saya bersyukur ketika dari waktu ke waktu semakin sedikit anak-anak yang mempunyai kasus berat. Meski demikian, saya masih miris dengan nasib anak-anak yang harus mendekam di tahanan. Setelah bebas pun belum tentu kondisi anak-anak ini akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Trauma selama berada di sel akan senantiasa berada dalam ingatan mereka. Belum lagi labelisasi “Anak Nakal” atau “Anak Jahat” seringkali disematkan pada diri mereka.
Masalah pun tak hanya berhenti di sana. Bagi beberapa anak yang masih sekolah dan akan meneruskan pendidikannya, mereka seringkali tidak diterima kembali oleh sekolah di mana semula mereka bersekolah. Tak jarang di antara mereka merasa malu untuk bersekolah lagi, sehingga mereka memutuskan untuk mengambil program kesetaraan Paket B atau Paket C, atau memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan mereka.
Sebagian anak akan kembali kepada orang tua dan keluarganya. Namun, sebagian yang lainnya ada yang tidak kembali kepada keluarganya dengan berbagai alasan. Ada yang memang sudah ditinggalkan oleh orang tuanya, ada juga yang memutuskan untuk tidak kembali kepada keluarganya. Hal ini dikarenakan, anak-anak sudah lama berpisah dengan keluarganya untuk bekerja, atau mereka merasa tidak nyaman dengan kondisi keluarganya.
Ternyata permasalahan anak-anak ini sangatlah kompleks. Tak bijak kalau hanya menilai mereka salah dan menghukumi mereka begitu saja lalu lepas tangan. Andai saja mereka adalah anak-anak kita, apakah kita akan tetap berlepas tangan? Banyak hal yang bisa kita lakukan demi anak-anak yang berhadapan dengan hukum ini. Setidaknya, kita masih menganggap mereka anak-anak biasa tanpa embel-embel label “nakal” atau “jahat”. Lebih jauh lagi kita bisa saling bergandeng tangan melakukan perlindungan bagi anak-anak di sekitar dan melakukan segala yang terbaik bagi mereka. Anak-anak adalah generasi penerus di masa yang akan datang seperti apapun keadaan mereka. Apa jadinya masa depan kalau kita tidak menyayangi dan melindungi anak-anak kita. Wallahu a’lam...

Jumat, 23 Oktober 2009

Menyoal Hak Anak



Pertanyaan besar tentang hak anak, khususnya yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang diakui oleh hampi seluruh negara di dunia, mencuat dalam sebuah obrolan kecil pada suatu sore di Sekretariat Kalyanamandira, 22 Oktober lalu. Pertanyaan ini muncul ketika seringkali KHA ini berseberangan dengan nilai-nilai dan realitas lokal.
Beberapa prinsip yang terdapat dalam KHA di antaranya adalah hak anak untuk tumbuh-kembang, non-diskriminatif, hak mendapatkan perlindungan dari orang-orang dewasa, hak berpartisipasi, hak mendapatkan pengakuan dari negara, tidak mendapat kekerasan dan segala yang terbaik dari anak. Namun, dalam kenyataannya prinsip-prinsip ini tidak selaras atau diabaikan oleh sebagian besar warga dunia, khususnya di Indonesia.
Di lingkungan kita sering terjadi pengabaian beberapa prinsip yang terjadi pada KHA, misalnya, mempekerjakan anak-anak, minimnya tingkat partisipasi anak baik di ruang publik maupun di ruang keluarga, pilihan beragama dan lain-lain.
Pada suatu ketika ada salah seorang anak berumur 7 tahun berdiri di atas tembok dengan tenangnya. Bila menilik beberapa prinsip KHA di atas, seyogyanya kita – orang-orang dewasa – membiarkannya toh itu adalah hak asasinya. Namun, kita akan terdorong untuk mengintervensi dan menarik anak itu dari atas tembok karena berbahaya tanpa berdialog dulu dengannya.
Atau suatu ketika, dua orang anak bertengkar dan saling menghina satu sama lain. Dalam budaya saling hina itu adalah suatu hal yang tercela, sehingga kita akan langsung melerai mereka. Padahal, bila kita menilik KHA, anak-anak itu berhak untuk menentukan segala perilaku mereka termasuk hal-hal yang negatif di hadapan publik.
Soal pilihan beragama, tentu saja bagi sebagian besar orang tua dalam kebudayaan kita menganggap anak-anak harus mengikuti agama orang tuanya. Dan sikap seperti ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip KHA. Namun, apakah KHA yang telah diakui oleh banyak negara ini harus menelanjangi nilai-nilai lokal yang telah lama tumbuh?
Kita sangat prihatin ketika melihat anak-anak yang harus bekerja di jalanan atau beberapa home industry dengan penghasilan yang seadanya. Namun, apakah salah ketika mereka turut bekerja untuk menyambung hidup dan membantu keluarganya yang berkesusahan. Toh, negara (pemerintah) tidak menjamin penghidupan mereka dan keluarganya. Jadi siapa yang harus dipersalahkan?
KHA sendiri dirumuskan oleh utusan pemerintah dari beberapa negara. Dan ketika KHA telah terbentuk, hampir setiap pemerintahan mengakui dan membuat kodifikasi. Sehingga, tanggung jawab menjalankan KHA ini sepenuhnya berada di pundak pemerintah, khususnya kepala negara. Sehingga, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap KHA ini adalah tanggung jawab pemerintah. Namun, bagaimana kita bisa menuntut tanggung jawab pemerintah akan hal ini? Toh pemerintah selalu berkelit dengan berbagai alasan dan mencari kambing hitam.
Pemerataan dan mahalnya pendidikan, kasus-kasus kekerasan terhadap anak, kasus perdagangan anak, anak-anak yang terlantar dan seabrek pelanggaran terhadap hak anak merupakan tanggung jawab pemerintah. Kita sebagai masyarakat harus menuntut pertanggung jawaban pemerintah terhadap nasib anak-anak kita generasi penerus bangsa. Atau kita rela negara menzalimi anak-anak kita sendiri?

Izoel.221009

Anak-anak Dengan Uang Banyak


(Catatan Pendampingan Anak-anak di Rutan Kebonwaru, 22 Oktober 2009)
Hari ini, saya dan teman-teman dari Kalyanamandira, kembali mendampingi anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) di Rumah Tahanan Kelas 1 Kebonwaru Bandung. Namun, tak banyak anak-anak yang mengikuti kegiatan kami. Kabarnya, ada beberapa anak yang telah bebas, ada juga yang mengikuti pengajian di mesjid yang berada di kompleks rutan dan sisanya harus piket.
Hari ini, tak banyak kegiatan yang kami lakukan. Setelah kami membuka kegiatan dengan sebuah simulasi, anak-anak mulai berkumpul dengan kelompok minatnya masing-masing. Sayang, hanya ada dua kelompok yang berkumpul, yaitu, Kelompok Musik dan Kelompok Kriya. Satu kelompok lainnya, Kelompok Drama/Sastra, tampak kurang mendapat respon dari anak.
Setiap kelompok mendiskusikan rencana program dengan menggunakan media kotak-kotak Ular Tangga. Kotak-kotak pada dua baris pertama berisi kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dengan catatan evaluasinya. Sedangkan, pada kotak-kotak di dua baris sisanya berisi kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dengan beberapa targetannya.
Seperti yang tertera pada judul tulisan ini, saya akan bercerita tentang anak-anak dengan uang banyak. Anak-anak dengan uang banyak dalam tulisan ini tidak dimaksudkan anak-anak yang berkonflik dengan hukum yang berasal dari keluarga kaya hingga sebagian dari mereka dapat melakukan jual-beli perkara dengan oknum-oknum aparat. Tidak juga diartikan dengan anak-anak yang harus menghabiskan uang cukup banyak untuk ‘bermain’ dengan oknum jaksa atau untuk meminta pembebasan bersyarat sebelum masa tahanannya habis. Sebenarnya dua kelompok anak seperti di atas banyak kami temukan dari beberapa penuturan. Namun, kami sangat terbatas untuk melakukan proses klarifikasi kebenaran kabar tersebut. Anak-anak dengan uang banyak yang akan saya ceritakan di sini adalah anak-anak yang telah bekerja sebelum mereka masuk tahanan dan berpenghasilan cukup besar, setidaknya untuk ukuran anak-anak.
Dalam beberapa tulisan terdahulu, saya banyak bercerita tentang anak-anak yang mesti bekerja, tetapi mereka hanya dibayar seadanya. Tak jarang anak harus bekerja dengan beban kerja layaknya orang dewasa, misalnya, anak-anak yang bekerja sebagai kuli Bata Merah yang harus mengangkut berkuintal-kuintal tanah liat hanya untuk mendapat bayaran Rp. 7500,-. Ada juga anak yang harus bekerja sebagai kuli bangunan atau kuli angkut di pasar.
Kali ini saya menemui M (17 tahun). M tinggal di daerah Kiaracondong, Bandung. Ia harus meringkuk di tahanan karena kasus penabrakan/perusakan motor salah seorang temannya. Sebelum masuk tahanan, M bekerja sebagai supir ‘taksi gelap’ yang mengangkut penumpang antara Cicaheum-Alun-alun, tentu saja dengan hanya menggunakan SIM ‘tembak’ karena ia belum cukup umur. Percaya atau tidak, penghasilannya dalam sehari dapat mencapai Rp. 300.000,-. Sayang, - menurut pengakuannya – penghasilannya itu seringkali habis untuk mabuk dan berjudi bersama teman-temannya. Meski demikian, M sempat membeli rumah dan beberapa petak sawah di kampungnya. Kabar baik bagi M dari majikannya, selepas keluar dari tahanan akhir November ini, ia akan segera dinikahkan dengan seorang gadis dari Sukabumi.
Selanjutnya, saya berbincang-bincang dengan T (17 tahun). T ditahan karena kasus percobaan pencurian motor bibinya sendiri. T mengaku melakukan hal itu karena ia sangat kesal dengan bibinya tersebut. Sehari-hari sebelum ditahan, T bekerja sebagai penyanyi di sebuah grup “Pong-Dut” (jaipong-dangdut). T telah cukup lama ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Ia beruntung mendapatkan warisan grup dangdut dengan segala peralatannya dari ibunya yang semasa hidup adalah seorang penyanyi juga. Tak hanya itu, T pun memiliki penyewaan alat-alat untuk kenduri, seperti, alat masak, sound system, panggung, tenda dan perlengkapan lainnya. Setiap kali pentas, grupnya paling sedikit mendapat bayaran Rp. 6.000.000,-. Sedangkan bayaran bagi dirinya sendiri minimal Rp. 1.500.000,-. Belum lagi ia mendapat uang dari penyewaan beberapa peralatan pesta.
Dari cerita dua anak ini, ternyata ada banyak anak yang dapat bekerja secara profesional dan mendapat bayaran besar. Namun, dari penuturan kedua anak ini, saya menilai meski mereka mendapat bayaran cukup besar kondisi mereka sangat rentan dari tekanan dan pengaruh-pengaruh negarif. Sehingga diperlukan adanya bimbingan dan perlindungan yang layak bagi anak-anak ini. Kegiatan hari ini pun berakhir dengan menyisakan beberapa cerita yang mengesankan sekaligus miris.

izoel.221009

Selasa, 20 Oktober 2009

Catatan Kecil dari Kegiatan Advokasi Dan Fasilitasi Pencegahan Perdagangan Orang Angkatan III Tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2009




Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, dari tanggal 13 Oktober 2009 sampai dengan 14 Oktober 2009, di Hotel New Naripan Bandung. Program yang difasilitasi oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Jawa Barat ini, diikuti oleh beberapa elemen masyarakat seperti Majelis Ulama, PKK, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang berada di wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Sumedang.
Kegiatan ini dibagi kepada empat sessi diskusi dengan beberapa topik bahasan yang beragam terkait dengan permasalahan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan. Sessi Pertama diisi oleh para pembicara dari Biro Hukum Pemprov Jabar, Kejaksaan Tinggi Jabar, Pengadilan Negeri Bandung dan Kepolisian Daerah (Polda) Jabar. Sessi Kedua berisi paparan dari perwakilan Dinas Sosial Jawa Barat, Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar. Pada Sessi Ketiga diisi oleh dua pembicara dari Yayasan Bahtera dan BPPKB Jabar sendiri. Terakhir pada Sessi Keempat giliran Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Padjadjaran dan Pusat Advokasi dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) yang menjadi pembicara.
Modus yang digunakan para pelaku trafficking sangat beragam, dari mulai merayu korban, menipu sampai menjebak keluarga korban dengan jerat hutang. Tercatat juga ada beberapa modus baru yang dilakukan, yaitu, perekrutan korban bertopeng pelatihan dan sebuah modus yang disebut “pengantin pesanan”. Modus pengantin pesanan ditemukan banyak terjadi di pinggiran Sukabumi, dimana banyak lelaki asing datang ke kampung-kampung di antar para calo untuk mencari gadis-gadis belia untuk dijadikan isteri. Akhirnya setelah gadis-gadis itu dinikahi, mereka jadikan sebagai budak-budak yang dipekerjakan secara paksa.
Meski Undang-undang Nomor 21 tahun tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang memiliki beberapa keistimewaan dibanding peraturan yang lainnya, tetap saja penanganan kasus-kasus trafficking ini jalan di tempat, terbukti dengan masih sedikitnya kasus-kasus yang bisa ditangani oleh para aparat terkait.
Dalam penanganan masalah trafficking ini tidak bisa dilakukan layaknya pemadam kebakaran, baru bertindak setelah kejadian. Namun, harus dilakukan langkah-langkah yang berkesinambungan dari hulu hingga hilir, dari mulai pencegahan, penindakan, penjemputan dan pemulangan korban. Sejauh ini yang dilakukan oleh pemerintah daerah Jawa Barat dan beberapa aparat terkait masih sangat minim, padahal Jawa Barat telah diketahui sebagai sending area (daerah asal/pengirim) para korban trafficking. Tak hanya itu, pemda Jabar pun belum mempunyai rumah aman (shelter) sebagai penampungan sementara bagi para korban trafficking.
Sebenarnya pemerintah dalam penanggulangan masalah trafficking ini selain telah mempunyai payung hukum yang kuat juga telah menetapkan apa yang disebut sebagai “Gugus Tugas”. Gugus Tugas adalah pola koordinasi antara beberapa intansi pemerintah dalam penanganan trafficking ini dengan melibatkan LSM dan masyarakat secara luas. Sayang, tentang Gugus Tugas ini sampai kegiatan Advokasi dan Fasilitasi ini berakhir saya belum menemukan kejelasan tata kerjanya seperti apa.
Dari informasi beberapa orang rekan yang sama-sama ikut dalam kegiatan ini, saya mengetahui bahwa kegiatan serupa ini cukup sering dilakukan. Namun, ketika saya bertanya kepada mereka tindak lanjutnya seperti apa, mereka serempak menjawab tidak tahu. Waduh gawat ni, padahal kegiatan seperti ini saya perkirakan cukup banyak menelan biaya, tetapi tata kerja, sasaran dan targetnya tidak jelas. Semoga saja pemerintah sadar akan hal ini dan tidak hanya menghambur-hamburkan uang rakyat. Wallahu a’lam..

Obrolan Taman Ganesa

15 Oktober 2009

Kamis ini kami tidak mendampingi anak-anak di Rutan Kebonwaru, saya, Jaka dan Anita berdiskusi di Taman Ganesa dekat kampus ITB. Sebenarnya, kami bertiga telah berada di depan Rutan Kebonwaru, tapi karena teman-teman lain berhalangan dan ada beberapa hal yang mesti segera diperbincangkan, akhirnya kami memutuskan untuk tidak masuk rutan dan mendiskusikan beberapa hal tentang pendampingan.

Saya memulai obrolan dengan mendeskripsikan beberapa kondisi anak-anak pada pendampingan seminggu yang lalu. Di antaranya adalah soal anak-anak dengan masa tahanan yang cukup lama yang ditunjuk sebagai leader bagi teman-temannya, ternyata berangsur-angsur akan mulai dibebaskan. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi rencana kami yang akan berbagi peran dengan anak-anak tersebut. Toh, bagi anak-anak baru dengan masa tahanan yang cukup pendek agak sulit untuk melakukan pembagian peran ini.
Perlu diketahui dalam evaluasi beberapa waktu yang lalu, kami menilai harus ada pembagian peran antara relawan dengan anak-anak yang telah cukup lama berada di tahanan dan memiliki kecakapan untuk memimpin kawan-kawannya yang lain. Peran yang diberikan kepada anak-anak tertentu meliputi perencanaan kegiatan dan perincian daftar kebutuhan.
Memperhatikan kenyataan di atas, kami bertiga merasa perlu menyiapkan beberapa langkah cadangan bila pembagian peran yang telah direncanakan menemui kendala. Salah satunya adalah dengan tetap menyiapkan tema-tema dan alur kegiatan sampai sekira 12 minggu ke depan. Meskipun demikian, apa yang kami bicarakan masih sangat global, sehingga masih mungkin didiskusikan kembali dengan anak-anak dan para pendamping lain.
Beberapa hasil evaluasi yang kembali kami diskusikan adalah soal pemaknaan positif dengan menginventarisir pengalaman-pengalaman positif yang pernah dijalani oleh anak-anak, pengalaman-pengalaman positif inilah yang akan mendasari hampir sebagian besar aktivitas pendampingan. Hal ini dapat mendorong partisipasi anak lebih banyak dan dapat menghilangkan kejenuhan dan kebosanan, khususnya bagi anak-anak yang telah cukup lama berada di tahanan. Ternyata, dari obrolan kami ini kami menyadari bahwa mengarahkan anak-anak kepada pemikiran positif tak hanya dengan menginventarisir pengalaman-pengalaman positif mereka saja. Pengalihan pikiran-pikiran negatif kepada aktivitas-aktivitas baru pun bisa menjadi alternatif yang lain. Sehingga, kami bertiga bersepakat untuk merumuskan beberapa tawaran kegiatan.
Kami merencanakan beberapa kegiatan khususnya di Kelompok Kriya dan mengajukan beberapa rekomendasi bagi dua kelompok lainnya. Untuk Kelompok Kriya, Jaka mengusulkan “Pemanfaatan Barang-barang Bekas”, sebagai tema besarnya. Dari tema besar ini, kami akan menawarkan beberapa keterampilan dengan bahan-bahan daur ulang seperti, karung terigu, tali rami, kaleng-kaleng bekas, bubuk kayu dan lain-lain. Selain itu, anak-anak akan dipandu dalam pembuatan kertas daur ulang.
Sementara itu, bagi dua kelompok minat yang lain, yaitu, Kelompok Musik dan Kelompok Drama/Sastra, kami menawarkan beberapa rekomendasi. Bagi Kelompok Musik, kami merekomendasikan untuk berlatih memanfaatkan beberapa media yang sederhana sebagai alat musik, khususnya sebagai alat musik perkusi. Sedangkan, bagi Kelompok Drama perlu didorong untuk memiliki kemampuan yang lebih mumpuni, baik dari aspek penulisan cerita maupun acting. Beberapa rekomendasi ini, dapat menjadikan anak-anak dengan masa tahanan cukup pendek memiliki pengalaman dan tantangan baru.
Tentu saja, obrolan kami ini masih harus didiskusikan kembali dengan kawan-kawan pendamping yang lain. Sehingga, ada rumusan strategis dalam pendampingan anak yang lebih baik pada waktu yang akan datang.

Kebonwaru, 8 Oktober 2009


Seperti hasil pada evaluasi sebelumnya, dalam proses pendampingan anak-anak di Rutan Kebonwaru akan dicoba pembagian peran antara para relawan dengan anak-anak yang dianggap bisa memimpin teman-temannya yang lain. Maka dalam pendampingan kali ini, kami memilih beberapa orang yang akan membantu kami dalam proses pendampingan. Sebenarnya, boleh jadi peran yang akan diemban anak-anak terpilih itu akan lebih besar dari para relawan. Dan selanjutnya, peran kami hanya menjadi fasilitator dalam pengertian yang sangat terbatas, toh segalanya dirumuskan dan dilakukan anak-anak itu sendiri.
Seperti biasa sekira pukul 10.00 WIB, saya, Zamzam, Anita, Oka dan Bram mulai memasuki gerbang Rutan Kebonwaru. Setelah beberapa saat kami menunggu anak-anak di Ruang Pendidikan, satu-persatu anak pun masuk ruangan. Dan mulailah Anita membuka kegiatan dengan sebuah simulasi sederhana.
Hari ini tak banyak yang kami lakukan, selain bersilaturahmi dengan anak-anak selepas Lebaran kemarin, kami berbincang-bincang dengan anak-anak sambil sedikit evaluasi beberapa kegiatan yang lalu. Setelah itu, kami memanggil beberapa anak yang kami pilih menjadi leader bagi anak-anak yang lain.
Masih dengan core kelompok minat, para leader ini akan memandu kawan-kawannya untuk menyusun rencana kegiatan dan merumuskan daftar kebutuhan. Adapun fasilitasi sarana prasarana dan kontrol anak-anak tentu saja masih kami lakukan. Penunjukkan beberapa anak sebagai leader sebenarnya untuk lebih memberi ruang partisipasi lebih banyak bagi beberapa anak yang dianggap senior karena lebih dahulu masuk dan lebih lama masa tahanannya dibanding anak-anak yang lain. Tentu saja hal ini tidak dimaksudkan untuk mengistimewakan beberapa anak itu dari anak-anak yang lain.
Dalam beberapa obrolan, saya dapati beberapa anak yang cukup lama berada di tahanan dan sering dianggap senior, akan dibebaskan secara begiliran mulai bulan Oktober ini sampai Januari 2010 nanti. Sisanya adalah anak-anak dengan masa tahanan cukup pendek, sekira 3-4 bulan. Melihat kenyataan ini, sepertinya ada beberapa hal yang mesti kami ubah dari rencana sebelumnya.
Kegiatan pun berakhir. Sebelum pulang, kami mengumpulkan dan memberi beberapa penjelasan kepada anak-anak yang kami pilih menjadi leader. Meski nampak agak kebingungan, anak-anak itu pun bersedia membantu kami. Selanjutnya, kami berpamitan pulang.

Izoel.081009

Selasa, 06 Oktober 2009

Catatan Pertemuan Forum Group Discussion (FGD) “Bandung Menuju Kota Layak Anak”

Hotel Royal Corner, Bandung, 5 Oktober 2009


Acara ini diselenggarakan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP), yang difasilitasi oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Bandung. Adapun fasilitator FGDnya sendiri adalah para fasilitator dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI).
Kegiatan dimulai dengan beberapa penjelasan tentang program Kota Layak Anak (KLA) yang telah dicanangkan oleh Menneg PP sejak 2006 yang lalu, oleh salah seorang fasilitator dari YKAI. Kemudian para peserta yang terdiri atas para wakil dari beberapa intansi yang berada di bawah Pemerintah Kota Bandung, organisasi masyarakat dan LSM yang berada di Kota Bandung. Sebenarnya, para peserta yang hadir dalam kegiatan FGD ini kurang representatif untuk membahas wacana Bandung Menuju Kota Layak Anak. Hal inilah yang sangat kami sesalkan. Namun, BPPKB sebagai panitia pelaksana kegiatan berdalih bahwa pemilihan para peserta ini telah melalui seleksi dari pihak Menneg PP.
Selanjutnya, para peserta dibagi menjadi dua kelompok, yaitu, Kelompok Dinas yang terdiri dari para wakil dari beberapa intansi di pemerintahan Kota Bandung, dan Kelompok Masyarakat yang terdiri dari wakil dari ormas dan LSM. Saya masuk kelompok masyarakat bersama rekan-rekan dari Yayasan Bahtera, Forum Karang Taruna, Forum LPM, Forum RW, dan salah seorang mantan anggota DPRD Kota Bandung periode 2004-2009.
Salah seorang fasilitator dari YKAI memandu kami dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Ia memulai dengan pertanyaan tentang sejauh mana kami mengetahui wacana Kota Layak Anak dan melalui media apa. Satu-persatu kami memberi pandangan tentang Kota Layak Anak. Setiap orang memberi pandangan yang berbeda-beda. Namun, kami sepakat dengan gagasan kota layak anak ini.
Diskusi berlanjut dengan pertanyaan, apakah Bandung sudah dapat dianggap sebagai kota layak anak? Untuk pertanyaan yang satu ini kami sepakat menganggap Bandung belum layak anak. Kondisi ini didasarkan atas beberapa fenomena yang terjadi dengan anak-anak di Kota Bandung. Salah seorang peserta menceritakan fenomena anak-anak jalanan di Kota Bandung yang terserak di mana-mana. Peserta lain menggambarkan masalah-masalah moral anak-anak Bandung. Ada juga peserta yang menyesalkan terbatasnya ruang terbuka dan lahan bermain bagi anak. Dalam diskusi ini pun mencuat pemilahan antara anak-anak yang memang tinggal di Kota Bandung dan anak-anak pendatang. Namun, saya dan seorang rekan dari Bahtera menentang pemilahan anak tersebut. Atas dasar prinsip non-diskriminasi dan pemenuhan segala yang terbaik bagi anak, setiap anak yang ada di Kota berhak dipenuhi dan dilindungi hak-haknya dengan tanpa membedakan anak Bandung dan anak pendatang.
Beberapa pertanyaan lain yang muncul adalah berkaitan dengan sejauh mana partisipasi anak dalam penyusunan suatu kebijakan di Kota Bandung. Meski ada peserta yang menarik pertanyaan ini ke arah partisipasi anak dalam keluarga, kami sepakat tidak ada kesempatan atau ruang bagi partisipasi anak dalam penyusunan suatu kebijakan di Kota Bandung.
Terkait dengan langkah-langkah apa yang harus diambil oleh Pemerintah Kota Bandung dalam pembentukkan Bandung Kota Layak Anak, masing-masing peserta mempunyai pendapat yang beragam. Ada yang menekankan proses penyusunan Perda Anak yang akan digulirkan harus lebih transparan dan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Ada juga keinginan agar seluruh jajaran Pemerintah Kota Bandung melakukan koordinasi yang rapih dalam mewujudkan Bandung Kota Layak Anak. Tak ketinggalan beberapa peserta mengharapkan disediakannya tempat-tempat bermain bagi anak. Kami dari Kalyanamandira dan Bahtera berharap agar Perda Anak yang nanti akan digulirkan tidak malah mengkebiri hak-hak anak, sehingga Perda tersebut jangan sampai bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) dan Konvensi Hak Anak (KHA).
Dari proses FGD ini, dapat digambarkan bahwa proses Bandung menuju Kota Layak Anak ini akan sangat panjang. Masalah koordinasi antar instansi dan minimnya anggaran yang khusus bagi pemenuhan hak-hak anak di Pemerintah Kota Bandung, menjadi kendala utama dalam mewujudkan gagasan Bandung Kota Layak Anak. Selain itu, kesamaan pandangan tentang anak dan hak-haknya yang harus dipenuhi dan dilindungi masih sangat bias. Hal ini akan menjadi tantangan laten yang akan selalu muncul dalam pembetukkan Kota Layak Anak. Wallahu a’lam…

Izoel.051009

Catatan Evaluasi Pendampingan Anak Rutan Kebonwaru

Kliningan, 3 Oktober 2009


Arah pembicaraan evaluasi ini cenderung pada pembagian peran dalam proses pendampingan baik kepada anak-anak ataupun beberapa tahanan dewasa. Kang Dan mengungkapkan perbincangannya dengan Pak Hari, salah seorang dari pihak Rutan Kebonwaru, tentang penunjukkan beberapa tahanan dewasa yang akan dilibatkan dalam pendampingan secara bergantian pertigabulan. Meski ada kekhawatiran akan adanya pengaruh buruk bagi anak dari para tahanan dewasa, kami berharap pihak rutan lebih selektif dalam menunjuk beberapa tahanan dewasa yang akan turut mendampingi anak.
Sementara itu, Zamzam dan Oka lebih menyoroti pada pemilihan beberapa anak yang dianggap bisa menjadi leader bagi anak-anak yang lain. Dalam pengamatan kami, ada beberapa anak yang mempunyai potensi dalam beberapa bidang tertentu dan memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin bagi teman-temannya. Sehingga pantas bagi beberapa anak tersebut diberi peran lebih dari teman-temannya yang lain. Proses penunjukkan beberapa anak menjadi leader ini pun dapat mendorong partisipasi anak dalam kegiatan pendampingan lebih maksimal.
Atas dasar gagasan di atas, maka kami sepakat merumuskan beberapa langkah yang akan dilakukan dalam 3 bulan ke depan perkelompok minat. Kelompok Drama merencanakan hal-hal sebagai berikut :
- Menginventarisir pengalaman-pengalaman positif dari setiap anak
- Memilih salah satu pengalaman yang memiliki banyak peran untuk dijadikan sebuah skenario drama
- Salah satu pengalaman tadi akan dibuat menjadi sebuah skenario besar drama yang akan dipentaskan
Kelompok Kriya akan melakukan beberapa kegiatan sebagai berikut :
- Menghimpun beberapa hasil kreativitas berdasar pengalaman anak
- Menunjuk beberapa anak yang mempunyai kemampuan pada suatu kreativitas tertentu sebagai tutor bagi teman-temannya yang lain
Adapun Kelompok Musik lebih mirip denga hal-hal yang telah mereka lakukan beberapa waktu yang lalu, yaitu:
- Menghimpun pengalaman-pengalaman anak
- Mengubah pengalaman-pengalaman tadi menjadi syair lagu
- Setelah menjadi syair kemudian diubah menjadi beberapa lagu
Di samping menyoroti pembagian peran dalam pandangan, kami pun membahas tentang proses trauma healing anak-anak yang masa tahanannya pendek. Kami merasa perlu membagi antara anak-anak dengan masa tahanan lebih dari 1 tahun dan anak-anak dengan masa tahanan kurang dari 1 tahun. Hal ini kami lakukan karena proses penanganan 2 kelompok anak ini sangat berbeda.
Untuk melakukan proses trauma healing ini kami memercayakannya kepada Anita dan Yulia. Trauma healing ini dilakukan atas dasar pengamatan kami yang menilai bahwa setiap anak tidak siap dan tidak nyaman memasuki tahanan. Ketidak siapan dan ketidak nyamanan ini berdampak pada kondisi mental dan psikis anak, sehingga mereka akan sangat memerlukan proses pemulihan mental dan psikis (rehabilitation & recovery).

Izoel.031009

Sabtu, 05 September 2009

Alienasi



Seulas senyum tersungging dari wajah polos seorang anak di salah satu pojok ruangan berukuran 6x7 meter di kompleks Rumah Tahanan Kelas I Kebonwaru Bandung. Baru kali ini ia tampak tersenyum lepas dan mengajak saya mengobrol. Biasanya ia tampak murung dan seperti sekarang duduk diam di pojok ruangan. Sebut saja anak itu bernama Adi, usianya baru menginjak 14 tahun. Ia berasal dari Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat. Adi harus mendekam ditahanan dikarenakan ia tertangkap tangan mengambil dompet orang lain. Ia tampak bahagia karena setelah lebaran nanti ia akan kembali menghirup udara bebas. Menurut pengakuannya, ia berencana masuk sebuah pesantren di daerah Cigondewah, Bandung, setelah ia keluar nanti. Meski demikian, Adi masih tetap bersedih karena belum bisa bertemu dengan Ibunya yang telah 2 tahun menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Ia pun bersedih karena keluarganya, termasuk Bapaknya, tidak pernah menengoknya selama ia berada di tahanan.
Di sisi lain ruangan itu, tampak santai dan berseri-seri seorang anak lain seumuran Adi dengan senyumnya yang telah sangat akrab dalam ingatan saya. Edi, panggil saja demikian, dengan lepas ia berujar kepada saya bahwa ia dan beberapa temannya akan dibebaskan pada 2-3 hari sebelum lebaran. Menurut pengakuan Edi, ia dan teman-temannya itu dapat menghirup udara luar kembali karena mendapat remisi (pengurangan masa tahanan). Edi merasa senang dapat bebas dan berkumpul kembali dengan keluarganya, apalagi pada Hari Lebaran nanti.
Seperti tulisan saya sebelumnya, ternyata anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan mesti meringkuk dalam tahanan ini senantiasa dapat berhubungan mereka dengan keluarga dan orang-orang yang mereka cintai. Terbukti dengan keinginan mereka untuk selalu ditengok dan berhubungan dengan orang-orang terdekat mereka. Hubungan seperti ini meski sangat minim frekuensinya menjadi obat mujarab perasaan teralienasi anak-anak ini dari dunia luar.
Agar anak-anak tidak merasa teralienasi dari dunia luar, pada beberapa kesempatan kami memberi kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan pesan kepada keluarga mereka, baik melalui surat ataupun sms. Di samping itu, kami sering mengadakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan atau mengundang orang-orang dari luar. Kegiatan-kegiatan itu berupa pameran dan pentas hasil karya anak-anak. Program ini secara berkala kami lakukan 4 bulan sekali, biasanya dalam peringatan hari-hari tertentu, seperti HUT RI, Hari Anak dan lain-lain. Selain itu, karya-karya anak-anak pun sering diikutsertakan dalam aktivitas-aktivitas di luar Rutan.
Meski demikian, karena ruang gerak anak-anak yang berada dalam tahanan ini sangat terbatas, tetap saja anak-anak merasa terasing dan dikucilkan dari kehidupan kebanyakan orang. Memang mereka telah melakukan kesalahan, tapi haruskah mereka dijauhkan dari masa kanak-kanaknya dan orang-orang terdekat mereka. Haruskah mereka mendapat perlakuan yang sama dengan para penjahat dewasa?
Padahal di usia antara 13-18 tahun ini, kondisi mental dan psikologis anak sangat labil dan rentan. Dalam kondisi seperti ini anak-anak akan sangat mungkin mendapat pengaruh buruk dari lingkungan sekitarnya. Dari beberapa anak yang saya temui, rata-rata mereka melakukan tindak kriminal karena terpengaruh oleh teman-temannya dan kurang mendapat perhatian dari orang tua mereka. Selain itu, beberapa di antara anak-anak itu seakan-akan sudah memutuskan hidup di luar rumah (keluarganya). Hal ini di antaranya dikarenakan kondisi ekonomi mereka yang miskin sehingga memaksa mereka untuk menghidupi diri mereka sendiri, atau memang sudah tidak mempunyai orang tua.
Melihat kondisi seperti ini, masihkah kita mau berpangku tangan dan saling tunjuk siapa yang harus bertanggung jawab? Mungkin anak-anak di Kebonwaru itu bukan anak-anak kita atau saudara kita, tapi mereka tetap bagian dari anak bangsa yang harus kita perhatikan. Anak-anak itu pun masih tetap menjadi bagian dari warga dunia yang harus kita lindungi hak-haknya. Dan ini menjadi kewajiban dan tanggung jawab semua orang kapanpun dan di manapun.

Izoel.030909

Jumat, 28 Agustus 2009

HARI-HARI PENANTIAN



(Catatan Pendampingan Anak di Rutan Kebonwaru pada 27 Agustus 2009)

Saat anak-anak mulai memasuki ruang pendidikan yang berada di sisi barat kawasan Rumah Tahanan Kelas 1 Kebonwaru Bandung, sekonyong-konyong kami dikejutkan dengan sebuah teriakan seorang anak mengekspresikan perasaannya dengan spontan. Cau panggilan anak itu, meneriakkan kegembiraannya karena ia akan bebas selepas Lebaran nanti, dan ia segera akan menikahi gadis pujaan hatinya. Memang dalam beberapa pertemuan terakhir, Cau acapkali mengekspresikan perasaannya ini kepada kami.
Rona bahagia pun tampak pada raut wajah E (15 tahun). E yang terlibat kasus cukup serius ini, hari ini akan dibebaskan. Hari ini, E tampak sangat rapi dan berseri-seri. Ia tidak bisa mengikuti kegiatan kami secara penuh karena harus bolak-balik mengurusi administrasi pembebasannya.
Beberapa anak lain pun mengekpresikan hal yang sama. M (16 tahun) yang punya pengalaman membuat sandal di Bali menunjukkan ekspresi yang sama. Meski ia baru bisa bebas beberapa hari setelah Lebaran, tetapi sudah sangat lega dapat segera mengakhiri masa tahanannya. Ketika saya tanya apa rencananya setelah bebas nanti. Ia menjawab masih bingung. Namun, tampaknya ia akan kembali menekuni pekerjaannya, membuat sandal di Bali sambil menemani Ibunya.
Dari pengamatan saya, anak-anak yang akan segera bebas dari masa hukuman acapkali menunjukkan ekspresi kebahagiaan yang hampir sama. Namun, banyak anak yang saya ajak bicara tentang rencana mereka selepas keluar nanti, menampakkan kebingungannya. Terlebih bagi anak-anak yang telah cukup lama hidup di jalan dan jauh dari keluarganya, mereka hampir tidak punya rencana yang jelas.
Beberapa anak yang sebelum masuk rutan masih duduk di bangku sekolah, seringkali tidak bisa meneruskan pendidikannya di sekolah yang sama. Biasanya pihak sekolah yang bersangkutan berkeberatan untuk menerima kembali salah seorang siswanya yang sempat mendekam di penjara. Anak-anak dengan kondisi seperti ini biasanya akan memutuskan untuk pindah sekolah atau mengikuti ujian persamaan. Namun, tidak banyak anak yang bisa melakukan langkah-langkah tadi. Ada juga anak-anak yang tidak meneruskan pendidikannya. Hal ini biasanya diakibatkan karena kendala biaya.
Kondisi di atas inilah yang dialami oleh D (17 tahun). Sebelum masuk tahanan, D masih duduk di kelas XI di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Elektronika. Ketika D ditahan, ia baru saja menyelesaikan Praktek Kerja Lapangan (PKL), sebuah proses yang biasa dilakukan siswa-siswi SMK sebelum mereka naik ke kelas XII. Tampaknya D tidak hanya harus mengulang PKLnya, ia pun tidak diperkenankan untuk kembali belajar di sekolahnya tersebut. D merasa sangat bingung dan keberatan jika ia harus pindah sekolah dan mengulang pendidikannya dari awal.
Kehidupan di balik terali besi bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini merupakan masa-masa penantian yang teramat berat. Seringkali mereka menghitung hari ke hari dari awal penahanannya sampai hari pembebasanya nanti. Ekspresi penantian ini pun seringkali ditunjukkan dengan tatapan yang kosong, murung dan kebingungan. Kebingungan ini berimbas pada ketidakjelasan dalam penentuan langkah yang akan anak-anak ambil setelah mereka bebas nanti.
Hal inilah yang kami berusaha mengantisipasinya. Dalam setiap pendampingan kami berupaya agar anak tetap dapat merasakan sedikit kebahagiaan, masih dapat bermain, masih mempunyai ruang ekspresi dan yang utama mereka dapat menentukan langkah-langkah positif yang akan anak-anak ambil setelah mereka keluar nanti. Tentu saja masih banyak kekurangan yang kami rasakan dalam proses pendampingan ini. Jujur, kami tidak bisa melakukan proses pemenuhan hak-hak bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini sendirian. Sehingga, kami mengajak semua pihak yang mempunyai kepedulian terhadap kondisi anak-anak ini untuk senantiasa bahu-membahu mewujudkan kondisi yang lebih baik bagi mereka. Wallahu a’lam… (izoel)

Senin, 24 Agustus 2009

AGUSTUSAN DI RUTAN


(Catatan Pendampingan Anak-anak di Rutan Kebonwaru pada 20 Agustus 2009)

Sebenarnya pagi ini kami mesti bergegas masuk lebih pagi mendampingi anak-anak di Rumah Tahanan Kelas 1 Kebonwaru Bandung, karena diperkirakan kegiatan-kegiatan yang akan kami laksanakan di Rutan akan menyita banyak waktu, padahal pihak Rutan hanya memberi kami waktu maksimal sampai 12.30 WIB. Namun, kami baru dapat memasuki gerbang Rutan sekira pukul 09.30 WIB, setelah kami harus mempersiapkan beberapa perlengkapan dan menunggu kehadiran beberapa relawan.
Seperti yang telah kami janjikan kepada anak-anak seminggu yang lalu, hari ini kami akan kembali menggelar beberapa perlombaan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-64. Saya mulai membuka kegiatan dan menjelaskan proses acara yang akan dilaksanakan. Karena seluruh lomba dimainkan secara berkelompok, maka saya meminta anak-anak untuk membentuk kelompok-kelompok.
Adapun perlombaan yang akan digelar hari ini adalah Triathon 1, Triathon 2 dan Lomba Melukis. Triathon adalah gabungan 3 jenis perlombaan yang dilakukan secara estafet oleh 3 orang dalam satu kelompok. Triathlon 1 terdiri dari Balap Karung, Sendok Kelereng dan Makan Kerupuk. Sedangkan Triathon 2 terdiri dari Pensil Botol, Makan Ubi dan Uang Tepung. Adapun Lomba Melukis dilakukan pada media kaos dan tas karung terigu dengan menggunakan kuas kecil dan cat sablon.
Lomba Triathon 1 diikuti oleh 12 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 3 orang anak. Setiap anggota kelompok mengikuti 1 jenis lomba yang secara estafet akan diteruskan dari orang pertama ke orang kedua dan seterusnya. Urutan permainannya sendiri dimulai dengan salah seorang anggota kelompok bermain balap karung. Setelah ia mencapai garis finish, seorang temannya menyambung dengan permainan Sendok Kelereng, dimana ia harus berjalan membawa kelereng di sendok yang digigit mulutnya sampai garis finish. Setelah itu baru seorang anggota kelompok lainnya memainkan lomba Makan Kerupuk.
Setelah Lomba Triathon 1 selesai dan menentukan 1 kelompok sebagai juaranya, kegiatan dilanjutkan dengan Lomba Triathon 2. Lomba Triathon 2 diikuti oleh 13 kelompok yang terdiri dari 3 orang anak. Seperti Lomba Triathon 1, setiap anak memainkan 1 jenis lomba dilanjutkan anak yang lain dengan jenis lomba yang lain. Anak ke-1 memainkan Pensil Botol, dimana ia harus beradu cepat untuk memasukkan pensil yang diikat di bagian belakang tubuhnya ke dalam botol, kemudian ia lari membawa pensil dan botol tersebut ke arah anak ke-2. Anak ke-2 melanjutkan dengan lomba Makan Ubi. Dan terakhir anak ke-3 memainkan lomba Uang Tepung, yaitu mengambil uang yang telah berbaur dalam tepung terigu.
Setelah 2 lomba Triathon selesai dimainkan, kami menggelar lomba melukis. Kali ini anak-anak secara berkelompok yang terdiri dari empat orang, melukis pada media kaos dan kantung terigu dengan menggunakan cat sablon. Tema lukisan yang diambil sangat beragam, ada yang mengambil tema HUT RI, pemandangan dan tema-tema lainnya.
Atmosphere ruang pendidikan menjadi riuh dengan suara tawa, sorak-sorai, teriakan, kekecewaan dan lain-lain. Tentu saja sorak kemenangan disuarakan oleh kelompok-kelompok yang memenangi lomba. Adapun kelompok-kelompok yang kalah menyikapinya dengan beragam, ada yang menimpali sorak kelompok yang menang dengan teriakan ‘huh’, ada yang menggerutu, ada juga yang mengajukan protes kepada para pendamping sebagai panitia kegiatan ini. Namun, kami tetap berusaha bersikap fair dan tegas. Ungkapan kekecewaan dan protes adalah hal yang wajar dalam sebuah kompetisi atau perlombaan.
Namun, selalu saja ada hal yang bertolak belakang dengan kelaziman yang sedang terjadi. Ternyata, di tengah keramaian itu, ada saja anak-anak yang tampak lesu dan kurang antusias dengan kegiatan yang tengah kami laksanakan. Ada juga anak yang ‘mojok’ dan asyik dengan kegiatannya sendiri. Sayang dengan keterbatasan relawan, kami tidak bisa mendampingi anak-anak dengan kondisi tadi.
Akhirnya, kegiatan pun berakhir dengan menghasilkan beberapa kelompok pemenang. Ada ungkapan-ungkapan bahagia dari anak-anak yang kelompoknya memenangi perlombaan. Ada juga ungkapan kesenangan dan terima kasih karena mereka masih tetap dapat mengikuti perlombaan ‘Agustusan’ meski mereka berada di tahanan. Tak ayal kami pun menerima kritikan dari beberapa orang anak, khususnya anak-anak yang telah lama mendekam di rutan. Menurut mereka, kegiatan sekarang ini agak menurun kualitasnya dan tidak lebih ramai dari kegiatan serupa di tahun kemarin. Dengan lapang dada kami menerima kritikan dan masukan dari anak-anak. Kami menyadari bahwa kegiatan ‘Agustusan’ sekarang ini agak kurang persiapan dan ‘asal-asalan’. Semoga kami bisa lebih baik dalam mempersiapkan kegiatan serupa dan kegiatan-kegiatan yang lainnya di masa-masa yang akan datang.(izoel)

Sabtu, 15 Agustus 2009

Membuat ‘Poster’


(Catatan Pendampingan Anak Rutan Kebonwaru pada 13 Agustus 2009)

Sebuah karya boleh jadi kurang mempunyai nilai dan mendapat apresiasi bila suatu karya itu tidak dipahami khalayak. Namun, acapkali sebuah karya tidak dimaksudkan si penciptanya untuk mendapat apresiasi atau nilai. Suatu karya itu semata-mata hanya menjadi sarana dan ruang ekspresi si penciptanya, terlepas khalayak akan menilainya seperti apapun. Hal inilah yang kami terapkan dalam pendampingan anak di Rutan Kebonwaru Bandung. Menilik karya-karya yang dihasilkan anak-anak selama ini masih jauh dari sempurna. Mungkin karena di antara kami sebagai pendamping kurang mempunyai kapasitas yang dapat mengarahkan anak-anak menjadi expert. Di samping itu, beberapa keterampilan yang kami hantarkan kepada anak dimaksudkan untuk menstimulasi dan memberi ruang ekspresi bagi anak.
Kenyataan seperti di atas tadi terjadi pada pendampingan hari ini. Rencananya kami dan anak-anak akan menggelar beberapa perlombaan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-64. Hari ini kami akan menggelar lomba pembuatan Komik dan Poster. Kami membuka acara dan membagi anak-anak ke dalam beberapa kelompok yang akan mengikuti Lomba Komik atau Lomba Poster. Setelah anak-anak bergabung dalam kelompoknya masing-masing, ternyata hampir semua kelompok tertarik untuk mengikuti Lomba Poster. Sedangkan untuk Lomba Komik hanya ada satu kelompok yang mendaftar. Akhirnya, kami memutuskan Lomba Komik ditiadakan dan semua kelompok mengikuti Lomba Poster.
Lomba Poster ini diikuti oleh 10 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari empat orang anak. Lomba Poster ini sendiri mengambil tema-tema yang berkaitan dengan kemerdekaan. Dengan media karton dan pensil warna, setiap kelompok mulai bekerja. Ada yang mulai membuat sketsa gambar di kertas-kertas kecil. Ada juga yang menggambar sketsa langsung pada karton yang telah disediakan. Di beberapa kelompok ada anak-anak yang secara bersamaan menggambar sketsa. Dan di beberapa kelompok lain anggota-anggota kelompok menunjuk seorang anak yang dianggap bisa menggambar untuk membuat sketsa.
Sebenarnya, di ruang pendidikan itu bukan hanya ada kegiatan kelompok-kelompok yang membuat poster. Ada proses ‘inisiasi’ bagi anak-anak yang baru bergabung dalam kegiatan kami. Anak-anak baru ini dipandu oleh Anita dan Yulia. Di samping itu, ada segerombolan anak lain yang tidak bergabung dalam kelompok.
Dari kesepuluh kelompok yang mengerjakan pembuatan poster, hampir semua karya mereka boleh dibilang tidak mirip poster. Sekali lagi kami mesti menyatakan maaf karena mungkin penjelasan kami tentang apa itu poster kurang dipahami anak-anak. Namun, sekali lagi juga kami mesti katakan bahwa karya anak-anak ini tidak dimaksudkan untuk menjadikan mereka expert melainkan menjadi stimulus dan wahana berekspresi anak.
Idealnya sebuah poster itu menyampaikan pesan yang jelas dan tegas. Pesan ini dapat disampaikan dengan kata-kata dan ilustrasi gambar yang elok, bukan tumpukan gambar dan tulisan semrawut dan samar. Itulah yang dibuat anak-anak, tumpukan gambar dan tulisan yang semrawut sehingga pesan-pesan yang disampaikannya pun menjadi kabur. Namun, harus kita pahami bahwa mereka tidak sedang mengikuti sebuah kontes grafis. Anak-anak itu bukanlah perusahaan advertising yang tengah mengerjakan pesan kliennya. Mereka adalah anak-anak yang memiliki kebebasan untuk berekspresi meski dalam keterkungkungan. Mereka pun sedang menyampaikan pesan yang ingin dipahami semua orang. Sayang tak banyak orang yang sudi mendengarkan dan memahami penuturan anak-anak yang sering dianggap nakal ini. Tentu saja pesan mereka lebih jelas dan lebih bermakna dari sekedar poster atau media-media iklan lainnya. Tinggal kita mau atau tidak mendengarkan mereka.
Bagian yang sangat dilindungi dan diakui dalam Konvensi Hak Anak adalah aspek tumbuh dan kembang anak. Kedua aspek ini akan berjalan optimal dalam ranah yang sangat terbuka bagi eksplorasi potensi dan ekspresi anak. Dan segalanya ini merupakan hak yang harus didapatkan oleh setiap anak kapanpun, di manapun dan dalam kondisi apapun. Apakah penjara dapat memberi ruang yang sangat terbuka bagi proses tumbuh-kembang anak? (izoel)

Sabtu, 11 Juli 2009

Membangun Sinergi Dalam Menangani Perempuan dan Anak Korban Kekerasan



(Catatan Rapat Koordinasi Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung)

Pada hari Senin, 6 Juli 2009, saya mewakili Kalyanamandira mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung, yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Bandung. Kegiatan ini sendiri dilaksanakan di UPT P2TP2A, yang merupakan pusat layanan bagi perempuan atau anak korban kekerasan di Kota Bandung. UPT P2TP2A didirikan pada tahun 2002 berdasar kajian dari perguruan-perguruan tinggi dan rekomendasi dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
Semula lembaga ini berbentuk lembaga swadaya masyarakat, kemudian berubah menjadi unit pelayanan terpadu daerah (UPTD) di bawah Pemerintah Kota Bandung. UPT P2TP2A melayani perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentuk konseling, mediasi, pendampingan di pengadilan, pemberdayaan ekonomi keluarga dan trauma healing.
Kegiatan ini bertujuan untuk membangun sinergi dan kemitraan antara UPT P2TP2A dengan instansi dan institusi lain yang terkait, seperti, Kepolisian, Dinas Kesehatan, Departemen Agama, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lain-lain. Sebagai instansi baru di Pemerintahan Kota Bandung, UPT P2TP2A perlu membangun kemitraan dengan instansi dan institusi lain, terlebih lagi UPT P2TP2A terus-menerus malakukan pembenahan. Salah satu yang harus dibenahi adalah keberadaan Rumah Aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Sejauh ini UPT P2TP2A belum memiliki Rumah Aman. padahal sebagai salah satu unit layanan pemerintah yang berada di kota besar dengan segala permasalahannya yang kompleks, seyogyanya UPT P2TP2A memiliki sebuah Rumah Aman.
Di samping melakukan perkenalan UPT P2TP2A, kegiatan ini pun memberi kesempatan kepada setiap elemen yang hadir untuk memaparkan hal-hal yang telah mereka lakukan terkait dengan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tentu saja sesuai dengan bidangnya. Dari pihak kepolisian yang pada pertemuan ini diwakili oleh seorang polisi wanita yang bekerja di RS Sartika Asih, menjelaskan tentang proses visum yang dilakukan pada korban-korban kekerasan, baik bagi korban kekerasan biasa maupun korban kekerasan seksual. Seringkali dikeluhkan proses visum ini yang sangat ngejelimet. Penjelasan soal ini ditambahkan oleh seorang bapak perwakilan dari RS Hasan Sadikin Bandung. Menurutnya, proses visum ini sangat mudah dilakukan dan gratis. Tentu saja penjelasan ini penting karena seringkali korban kekerasan enggan untuk melapor dan membuktikan karena sangat mahal biayanya, khususnya dalam proses visum ini.
Tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung perceraian, seorang perwakilan Departemen Agama Kota Bandung turut berbagi cerita. Menurutnya, sejauh ini pada proses perceraian di pengadilan agama, Departemen Agama dalam kaitan ini Pengadilan Agama selalu menjadi mediator bagi pasangan suami-isteri dan seringkali menganjurkan kepada setiap pasangan untuk berdamai.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat turut hadir dan berbagi cerita. Salah satunya adalah Jaringan Relawan Independen (JARI). JARI yang memiliki beberapa orang staf ahli dalam bidang hokum, kesehatan dan psikologi, seringkali menerima klien yang menjadi korban kekerasan. Para klien ini diwawancara dan didampingi dalam menghadapi permasalahannya. JARI pun menyiapkan beberapa data melalui pemeriksaan kesehatan dan tes psikologi. Para klien pun didampingi dalam proses hukumnya.
Salah seorang kawan dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) pun berbagi cerita soal penanganan korban-korban perdagangan perempuan (women trafficking). Dalam penanganan women trafficking ini ada dua hal yang mesti dilakukan, yaitu, pencegahan penyaluran para pekerja perempuan dari daerah-daerah tertentu, dan pemulangan para korban trafficking. Dari pengalamannya mendampingi para korban trafficking di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, katanya, seringkali para TKW illegal ini tidak langsung pulang ke kampungnya. Biasanya mereka mencoba masuk kembali ke Malaysia melalui beberapa ‘jalan tikus’. Hal ini terjadi bukan hanya karena banyak jalan dan cara yang dapat mereka lalui saja, melainkan karena proses keimigrasian kita yang kurang optimal. Karena para pekerja perempuan ini seringkali tidak langsung pulang ke daerahnya masing-masing bahkan acapkali mereka mengadu nasib di kota-kota besar, ia menilai kota-kota besar seperti Bandung akan banyak mendapat imbas dari keberadaan para pekerja perempuan ini. Secara langsung dan tidak langsung perempuan korban trafficking ini akan berkumpul dan menambah permasalahan yang ada di kota-kota besar. Maka, seyogyanya di kota-kota besar itu disiapkan shelter atau ‘Rumah Aman’ bagi para korban kekerasan perempuan, khususnya bagi korban trafficking.
Karena UPT P2TP2A ini masih memiliki beberapa kekurangan, sehingga layak didukung oleh semua elemen yang terkait. Hal ini diamini oleh beberapa orang perwakilan dari perguruan tinggi yang hadir, seperti, dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati. Mereka dapat memfasilitasi beberapa hal seperti kajian, penelitian dan hal-hal lain sesuai kapasitas mereka.
Sampailah di penghujung acara, tetapi saya merasa belum terumuskan mekanisme atau teknis sinergitas yang diharapkan antar instansi dan institusi terkait. Para peserta Rakor ini tampak asyik menceritakan hal-hal yang telah mereka lakukan. Namun bagaimana kapasitas masing-masing isntitusi ini dapat bersinergi belum terumuskan. Bukan hanya itu, seringkali kita lupa untuk mendefinisikan permasalahan apa yang akan dihadapi bersama. Semua paham tentang permasalahan kekerasan perempuan, tetapi apakah semu pihal memiliki cara pandang yang sama terhadap permasalahan tersebut? Sinergi tidak mungkin terwujud bila perspektif tentang permasalahannya saja belum seragam. Walla a’lam.. (izoel)

Jumat, 10 Juli 2009

RENCANA DARURAT



( Catatan Pendampingan Anak-anak Rutan Kebon Waru, 9 Juli 2009)

Pagi ini sudah berkali-kali saya meng-sms Zamzam dan Bram menanyakan kesiapan mereka untuk mendampingi ke rutan. Namun, mereka berdua tak juga memberi jawaban. Hingga akhirnya, hanya saya dan Oka saja yang bisa mendampingi anak-anak di Rutan Kebonwaru karena kawan-kawan pendamping yang lain berhalangan.
Jujur, saya sempat kebingungan dan pagi ini saya mesti menyiapkan rencana darurat, yaitu dengan membuat satuan acara pembelajaran (SAP) yang baru dan berbeda dengan SAP kelompok minat. Dalam SAP ini, anak-anak disatukan dan dibagi kelompok berdasar kebutuhan persiapan kegiatan peringatan Hari Anak Nasional 2009 dan HUT RI Ke-64.
Sekira jam 10 pagi, saya dan Oka memasuki gerbang rutan menuju ruang pendidikan setelah melewati beberapa pemeriksaan rutin dari para petugas. Sambil menghilangkan sedikit nervous, kami menunggu anak-anak di ruang pendidikan. Satu-persatu anak memasuki ruangan. Dan saya mulai membuka kegiatan.
Saya berucap salam dan menyampaikan beberapa penjelasan tentang kegiatan yang akan dilakukan pada kesempatan kali ini. Suatu permainan angka pun saya mainkan bersama anak-anak. Saya menentukan beberapa harga berbeda untuk sekumpulan anak dengan kategori yang berbeda. Anak-anak yang menggunakan celana pendek dihargai 250. Sedangkan anak-anak yang bercelana panjang, saya hargakan 750. Kemudian, saya menetapkan sebuah angka, misalnya, 2500. Maka anak-anak akan saling menggabungkan diri hingga jumlah mereka sesuai dengan angka yang saya inginkan.
Setelah permainan angka di atas, anak dibagi ke dalam empat kelompok pentas, pameran, lomba dan perlengkapan. Setiap kelompok diminta untuk mendiskusikan hal apa saja yang mesti disiapkan menjelang acara peringatan Hari Anak Nasional 2009 dan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-64. Kelompok Pentas membicarakan acara apa saja yang akan ditampilkan dalam dua even besar tadi. Kelompok Pameran membicarakan karya-karya yang akan dipamerkan. Kelompok Lomba mendiskusikan jenis-jenis lomba yang akan digelar. Sedangkan Kelompok Perlengkapan menginventarisir barang-barang yang dibutuhkan dalam dua gelaran tadi.
Sementara empat kelompok di atas mendiskusikan beberapa persiapan jelang Hari Anak dan HUT RI, saya mendampingi 11 orang anak-anak baru. Saya meminta mereka menuliskan nama dan alamat mereka. Kemudian, saya meminta mereka menuliskan cerita tentang kenangan terindah mereka sebelum masuk rutan.
Dn (16 tahun) yang tinggal di daerah Cililin, Kabupaten Bandung Barat, bercerita tentang perjalanannnya bersama kedua orang tuanya berbelanja ke sebuah pusat perbelanjaan. Ketika mereka pulang dengan diiringi riuh lagu-lagu yang mereka nyanyikan, Dn bertemu dengan seorang gadis yang seterusnya menjadi pacarnya. Dn sangat merasa bahagia, terlebih beberapa saat setelah itu ia mendapat hadiah satu unit sepeda motor dari kedua orang tuanya. Dn sangat menyayangi ibunya, dan ia sangat merindukan masakan buatan ibunya tersebut.
Ds (16 tahun) yang tinggal di Pangalengan, Kabupaten Bandung, bercerita tentang acara pikniknya bersama keluarga ke pantai Ranca Buaya. Ia merasa sangat bahagia ketika ia berenang bersama bapak dan adiknya. Ds pun bercerita tentang pengalaman lima tahun yang lalu, ketika ia pertama kali mengamen ke Pangandaran bersama kakaknya. Ds sangat menyayangi neneknya yang begitu baik kepadanya.
M (17 tahun) yang dua tahun pernah tinggal di Bali bersama ibunya, turut berbagi cerita. Sebelum ia tinggal di Bali, ia mempunyai seorang sahabat yang sangat dekat. Kedekatan ini pun bertambah ketika orang-orang di sekitarnya menganggap mereka mirip. Keduanya pernah bermain ke daerah pegunungang di Bandung selatan. M pun bercerita tentang pekerjaannya ketika tinggal di Bali. Di Bali, ia bekerja membuat sandal dan sepatu. Dari hasil kerjanya, ia bisa membantu kebutuhan orang tuanya. Ia pun sangat senang dengan tempat-tempat wisata yang ada di Bali.
Sebenarnya, masih ada beberapa cerita lain, mungkin di lain waktu saya sambung kembali. Ternyata, kondisi darurat tidak mengurangi kedalaman makna yang kita dapatkan. Meski sebagian anak tidak dapat kami pegang, mereka dapat secara mandiri melakukan diskusi tentang persiapan Hari Anak Nasional dan HUT RI. Perlu diingat, meskipun hari ini anak-anak hanya merumuskan persiapan Hari Anak dan HUT RI, tetapi kami masih terus mengacu pada kesepakatan awal tentang kegiatan-kegiatan yang akan kami laksanakan selama 3-4 bulan ini. Di samping itu, kami masih mengacu pada beberapa capaian yang telah ditentukan, khususnya tentang pemaknaan positif. (izoel)

Senin, 29 Juni 2009

Amazing


“Cinta adalah ketika ia bersemi dalam hati
Terkembang dalam kata…”

Sepenggal kata-kata tersebut saya terima dari seorang Holid. Kertas putih kosong yang baru saja saya berikan kepadanya beberapa menit yang lalu, telah terisi rangkaian kata-kata puitis. “AMAZING”, hebat, dahsyat, saya terpukau, saya terharu, sungguh. Orang seperti Holid yang notabene mesti hidup di hotel prodeo, bersemangat dan mampu merangkai kata-kata sepuitis itu.
Yang ditulis Holid bukan hanya sebuah puisi, ia juga menulis puisi-puisi lain di atas selembar kertas yang ia mintai kepada saya ketika puisi pertamanya rampung. “Wahai ukhti, engkaulah lapaz-lapaz hati….”, sampai di sini saya tak mampu bercakap lagi.
Keamazingan bukan hanya ditunjukkan Holid, tapi semua, seluruh siswa kelas musik Rumah Tahanan (Rutan) Anak Kebon Waru. Mereka semua sangat bersemangat ketika saya persilakan mereka memerkenalkan diri tanpa bersuara. Mereka berekspresi, menelurkan langkah yang merupakan presentasi dari sebuah ide yang cemerlang. Ada Toni yang memerkenalkan namanya lewat sebuah sobekan kertas yang ia tulisi “TONI”, ada Angga yang menggerakkan jemari tangannya menggambarkan rangkaian huruf yang menjadi pondasi nama besar yang disandangnya sedari kecil, dan ada pula Agus yang dengan manyun-manyun menggerakkan mulutnya, berusaha dengan susah payah untuk memberitahukan namanya pada kami. Cerdas.
Apa yang saya lihat dan rasakan saat baru beberapa menit berkomunikasi langsung dengan mereka, kontan memupus apa yang saya bayangkan sebelumnya. Dalam pikiran saya yang masih hampa, beberapa minggu bahkan di depan pintu rutan hari Kamis itu, yang saya bayangkan mereka adalah anak-anak yang nakal, menyebalkan, sulit diatur, dan menyeramkan karena badannya dipenuhi tatoo bak Tora Sudiro. Ya, meskipun ada beberapa orang dari mereka bertato, tapi hati mereka, sikap mereka, sangat ramah. Hati mereka tak seperti apa yang saya bayangkan, mereka remaja yang bisa bertutur lembut, baik bertutur lisan maupun tulisan. Buktinya, Holid, Agus, Aditya, Kiki, Heri, Oky, Agus, dan Santana, adalah anak-anak yang mau belajar merangkaikan kata-kata halus, menguraikan apa yang mereka pikirkan.
Ini Amazing, sungguh di luar apa yang saya pikirkan. Saya berterimakasih kepada mereka. Anak-anak yang walaupun berwajah kusam dan kumal, mau dan semangat untuk belajar menulis.
Sebelum kelas usai, kami membentuk lingkaran tak beraturan, menyanyi bersama, dari lagu pop jaman jadul, hingga dangdut masa kini. Agus yang terbilang paling cucok di antara mereka, lihai memainkan si alat petik. Semua pun bernyanyi.
Pukul 12 siang, kelas usai, seorang Holid mendekati saya,
“Teh, boleh minta kertas nggak?”
“ Buat apa?”, jawab saya
“Pengen nulis puisi, tapi buat di sel, entar hari Kamis, aku kasih ke Teteh puisinya”.
Ahh… rupanya mereka telah banyak belajar tentang kehidupan. Di balik segala keterbatasan, mereka masih mau berusaha untuk menulis, untuk belajar. Berbeda dengan saya yang masih menulis karena dikejar deadline.
Sungguh, mereka, amazing. (Dhika)