Senin, 12 April 2010

Potret Kecil Anak Berkonflik Dengan Hukum (ABH)


I

stilah Anak Berhadapan dengan Hukum merupakan istilah lain dari Anak yang berkonflik dengan Hukum (AKH). Sebenarnya, dua istilah tadi merupakan ’penyebutan halus’ dari istilah Anak Nakal seperti yang telah diatur dalam UU No.3 1997 Tentang Peradilan Anak, yang menyebutkan bahwa Anak Nakal adalah : a) Anak yang melakukan tindak pidana; atau b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sejauh ini penanganan ABH masih sangat jauh dari pemenuhan hak-hak anak seperti yang termaktub dalam Konvensi Hak Anak (KHA) PBB dan beberapa regulasi tentang anak yang berlaku di Indonesia. Beberapa hal yang hak anak yang diabaikan dari ABH adalah pemenuhan hak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan yang layak, bebas dari diskriminasi dan lain-lain.
Pengabaian terhadap hak ABH dimulai dari proses awal penyidikan. Proses penangkapan, interogasi hingga penahanan seringkali mengabaikan kondisi psikologis anak. Sebagian besar ABH, terlebih yang berasal dari keluarga miskin dan tidak bersekolah, sangat sulit mendapatkan penangguhan penanganan. ABH pun dalam proses persidangan seringkali tidak didampingi oleh seorang pengacara, karena sangat jarang lembaga yang menyediakan pengacara gratis bagi para ABH ini.
Pengabaian hak ABH ini pun berlanjut ketika mereka mesti masuk penjara. Pemenjaraan ini pun telah banyak merengut hak-hak ABH. Dan seringkali ABH tidak mendapatkan layanan yang layak, terutama layanan pendidikan dan kesehatan.
Tidak cukup berhenti di sana. Para ABH di penjara pun seringkali mengalami tindak kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan yang terjadi bisa berbentuk verbal hingga kekerasan secara fisik.
Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi kondisi mental dan psikologis anak. Dalam beberapa pendampingan ABH, seringkali ditemukan anak-anak yang murung, sulit berkonsentrasi, agresif dan sebagainya. Lambat-laun tekanan-tekanan yang terjadi di penjara membawa trauma bagi anak.
Tak hanya sekedar trauma, kondisi yang terjadi di penjara secara jauh berdampak pada apa yang kami sebut sebagai ”Siklus Residivis”. Siklus Residivis adalah sebuah kondisi yang menggambarkan banyak ABH yang sempat bebas melakukan tindak kriminal lagi dan kembali masuk penjara. Dalam beberapa kasus, ABH yang menjadi residivis ini melakukan tindak kriminal yang lebih berat dari kasus sebelumnya.
Beberapa pengabaian hak ABH ini merupakan kejahatan besar dan perilaku zalim bagi sebagian anak-anak kita yang dipaksa kondisi untuk melakukan tindak kriminal. Kondisi seperti ini harus segera dibenahi dengan perspektif yang terbuka dan senantiasa memperhatikan hak-hak anak. Beberapa hal yang harus dilakukan adalah :
1. Menghidupkan nilai-nilai lokal untuk menangani perilaku nakal anak. Langkah ini harus dilakukan karena tidak semua perilaku nakal anak harus dipidanakan.
2. Sistem peradilan anak dari awal penyidikan, penyidangan harus senantiasa memperhatikan kondisi mental, psikologis dan hak-hak anak secara umum.
3. Harus dirumuskan sebuah alternatif lain bagi peradilan anak selain pemenjaraan. Pemenjaraan anak telah merengut banyak hak anak dan sangat mengganggu proses tumbuh-kembang mereka.
Sudah saatnya kita peduli dan memberi kontribusi bagi kebaikan dan masa depan anak siapapun, kapanpun dan di manapun serta dalam kondisi bagaimanapun. (izoel)