Jumat, 28 Agustus 2009

HARI-HARI PENANTIAN



(Catatan Pendampingan Anak di Rutan Kebonwaru pada 27 Agustus 2009)

Saat anak-anak mulai memasuki ruang pendidikan yang berada di sisi barat kawasan Rumah Tahanan Kelas 1 Kebonwaru Bandung, sekonyong-konyong kami dikejutkan dengan sebuah teriakan seorang anak mengekspresikan perasaannya dengan spontan. Cau panggilan anak itu, meneriakkan kegembiraannya karena ia akan bebas selepas Lebaran nanti, dan ia segera akan menikahi gadis pujaan hatinya. Memang dalam beberapa pertemuan terakhir, Cau acapkali mengekspresikan perasaannya ini kepada kami.
Rona bahagia pun tampak pada raut wajah E (15 tahun). E yang terlibat kasus cukup serius ini, hari ini akan dibebaskan. Hari ini, E tampak sangat rapi dan berseri-seri. Ia tidak bisa mengikuti kegiatan kami secara penuh karena harus bolak-balik mengurusi administrasi pembebasannya.
Beberapa anak lain pun mengekpresikan hal yang sama. M (16 tahun) yang punya pengalaman membuat sandal di Bali menunjukkan ekspresi yang sama. Meski ia baru bisa bebas beberapa hari setelah Lebaran, tetapi sudah sangat lega dapat segera mengakhiri masa tahanannya. Ketika saya tanya apa rencananya setelah bebas nanti. Ia menjawab masih bingung. Namun, tampaknya ia akan kembali menekuni pekerjaannya, membuat sandal di Bali sambil menemani Ibunya.
Dari pengamatan saya, anak-anak yang akan segera bebas dari masa hukuman acapkali menunjukkan ekspresi kebahagiaan yang hampir sama. Namun, banyak anak yang saya ajak bicara tentang rencana mereka selepas keluar nanti, menampakkan kebingungannya. Terlebih bagi anak-anak yang telah cukup lama hidup di jalan dan jauh dari keluarganya, mereka hampir tidak punya rencana yang jelas.
Beberapa anak yang sebelum masuk rutan masih duduk di bangku sekolah, seringkali tidak bisa meneruskan pendidikannya di sekolah yang sama. Biasanya pihak sekolah yang bersangkutan berkeberatan untuk menerima kembali salah seorang siswanya yang sempat mendekam di penjara. Anak-anak dengan kondisi seperti ini biasanya akan memutuskan untuk pindah sekolah atau mengikuti ujian persamaan. Namun, tidak banyak anak yang bisa melakukan langkah-langkah tadi. Ada juga anak-anak yang tidak meneruskan pendidikannya. Hal ini biasanya diakibatkan karena kendala biaya.
Kondisi di atas inilah yang dialami oleh D (17 tahun). Sebelum masuk tahanan, D masih duduk di kelas XI di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Elektronika. Ketika D ditahan, ia baru saja menyelesaikan Praktek Kerja Lapangan (PKL), sebuah proses yang biasa dilakukan siswa-siswi SMK sebelum mereka naik ke kelas XII. Tampaknya D tidak hanya harus mengulang PKLnya, ia pun tidak diperkenankan untuk kembali belajar di sekolahnya tersebut. D merasa sangat bingung dan keberatan jika ia harus pindah sekolah dan mengulang pendidikannya dari awal.
Kehidupan di balik terali besi bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini merupakan masa-masa penantian yang teramat berat. Seringkali mereka menghitung hari ke hari dari awal penahanannya sampai hari pembebasanya nanti. Ekspresi penantian ini pun seringkali ditunjukkan dengan tatapan yang kosong, murung dan kebingungan. Kebingungan ini berimbas pada ketidakjelasan dalam penentuan langkah yang akan anak-anak ambil setelah mereka bebas nanti.
Hal inilah yang kami berusaha mengantisipasinya. Dalam setiap pendampingan kami berupaya agar anak tetap dapat merasakan sedikit kebahagiaan, masih dapat bermain, masih mempunyai ruang ekspresi dan yang utama mereka dapat menentukan langkah-langkah positif yang akan anak-anak ambil setelah mereka keluar nanti. Tentu saja masih banyak kekurangan yang kami rasakan dalam proses pendampingan ini. Jujur, kami tidak bisa melakukan proses pemenuhan hak-hak bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini sendirian. Sehingga, kami mengajak semua pihak yang mempunyai kepedulian terhadap kondisi anak-anak ini untuk senantiasa bahu-membahu mewujudkan kondisi yang lebih baik bagi mereka. Wallahu a’lam… (izoel)

Senin, 24 Agustus 2009

AGUSTUSAN DI RUTAN


(Catatan Pendampingan Anak-anak di Rutan Kebonwaru pada 20 Agustus 2009)

Sebenarnya pagi ini kami mesti bergegas masuk lebih pagi mendampingi anak-anak di Rumah Tahanan Kelas 1 Kebonwaru Bandung, karena diperkirakan kegiatan-kegiatan yang akan kami laksanakan di Rutan akan menyita banyak waktu, padahal pihak Rutan hanya memberi kami waktu maksimal sampai 12.30 WIB. Namun, kami baru dapat memasuki gerbang Rutan sekira pukul 09.30 WIB, setelah kami harus mempersiapkan beberapa perlengkapan dan menunggu kehadiran beberapa relawan.
Seperti yang telah kami janjikan kepada anak-anak seminggu yang lalu, hari ini kami akan kembali menggelar beberapa perlombaan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-64. Saya mulai membuka kegiatan dan menjelaskan proses acara yang akan dilaksanakan. Karena seluruh lomba dimainkan secara berkelompok, maka saya meminta anak-anak untuk membentuk kelompok-kelompok.
Adapun perlombaan yang akan digelar hari ini adalah Triathon 1, Triathon 2 dan Lomba Melukis. Triathon adalah gabungan 3 jenis perlombaan yang dilakukan secara estafet oleh 3 orang dalam satu kelompok. Triathlon 1 terdiri dari Balap Karung, Sendok Kelereng dan Makan Kerupuk. Sedangkan Triathon 2 terdiri dari Pensil Botol, Makan Ubi dan Uang Tepung. Adapun Lomba Melukis dilakukan pada media kaos dan tas karung terigu dengan menggunakan kuas kecil dan cat sablon.
Lomba Triathon 1 diikuti oleh 12 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 3 orang anak. Setiap anggota kelompok mengikuti 1 jenis lomba yang secara estafet akan diteruskan dari orang pertama ke orang kedua dan seterusnya. Urutan permainannya sendiri dimulai dengan salah seorang anggota kelompok bermain balap karung. Setelah ia mencapai garis finish, seorang temannya menyambung dengan permainan Sendok Kelereng, dimana ia harus berjalan membawa kelereng di sendok yang digigit mulutnya sampai garis finish. Setelah itu baru seorang anggota kelompok lainnya memainkan lomba Makan Kerupuk.
Setelah Lomba Triathon 1 selesai dan menentukan 1 kelompok sebagai juaranya, kegiatan dilanjutkan dengan Lomba Triathon 2. Lomba Triathon 2 diikuti oleh 13 kelompok yang terdiri dari 3 orang anak. Seperti Lomba Triathon 1, setiap anak memainkan 1 jenis lomba dilanjutkan anak yang lain dengan jenis lomba yang lain. Anak ke-1 memainkan Pensil Botol, dimana ia harus beradu cepat untuk memasukkan pensil yang diikat di bagian belakang tubuhnya ke dalam botol, kemudian ia lari membawa pensil dan botol tersebut ke arah anak ke-2. Anak ke-2 melanjutkan dengan lomba Makan Ubi. Dan terakhir anak ke-3 memainkan lomba Uang Tepung, yaitu mengambil uang yang telah berbaur dalam tepung terigu.
Setelah 2 lomba Triathon selesai dimainkan, kami menggelar lomba melukis. Kali ini anak-anak secara berkelompok yang terdiri dari empat orang, melukis pada media kaos dan kantung terigu dengan menggunakan cat sablon. Tema lukisan yang diambil sangat beragam, ada yang mengambil tema HUT RI, pemandangan dan tema-tema lainnya.
Atmosphere ruang pendidikan menjadi riuh dengan suara tawa, sorak-sorai, teriakan, kekecewaan dan lain-lain. Tentu saja sorak kemenangan disuarakan oleh kelompok-kelompok yang memenangi lomba. Adapun kelompok-kelompok yang kalah menyikapinya dengan beragam, ada yang menimpali sorak kelompok yang menang dengan teriakan ‘huh’, ada yang menggerutu, ada juga yang mengajukan protes kepada para pendamping sebagai panitia kegiatan ini. Namun, kami tetap berusaha bersikap fair dan tegas. Ungkapan kekecewaan dan protes adalah hal yang wajar dalam sebuah kompetisi atau perlombaan.
Namun, selalu saja ada hal yang bertolak belakang dengan kelaziman yang sedang terjadi. Ternyata, di tengah keramaian itu, ada saja anak-anak yang tampak lesu dan kurang antusias dengan kegiatan yang tengah kami laksanakan. Ada juga anak yang ‘mojok’ dan asyik dengan kegiatannya sendiri. Sayang dengan keterbatasan relawan, kami tidak bisa mendampingi anak-anak dengan kondisi tadi.
Akhirnya, kegiatan pun berakhir dengan menghasilkan beberapa kelompok pemenang. Ada ungkapan-ungkapan bahagia dari anak-anak yang kelompoknya memenangi perlombaan. Ada juga ungkapan kesenangan dan terima kasih karena mereka masih tetap dapat mengikuti perlombaan ‘Agustusan’ meski mereka berada di tahanan. Tak ayal kami pun menerima kritikan dari beberapa orang anak, khususnya anak-anak yang telah lama mendekam di rutan. Menurut mereka, kegiatan sekarang ini agak menurun kualitasnya dan tidak lebih ramai dari kegiatan serupa di tahun kemarin. Dengan lapang dada kami menerima kritikan dan masukan dari anak-anak. Kami menyadari bahwa kegiatan ‘Agustusan’ sekarang ini agak kurang persiapan dan ‘asal-asalan’. Semoga kami bisa lebih baik dalam mempersiapkan kegiatan serupa dan kegiatan-kegiatan yang lainnya di masa-masa yang akan datang.(izoel)