Minggu, 29 November 2009

Penjara Bukan Tempat Aman Bagi Anak


(Catatan pendampingan anak Rutan Kebonwaru, 26 November 2009)
Hari ini, 26 November 2009, saya, Anita, Jaka, Oka, Rahmi dan Bayu, kembali mendampingi anak-anak di Rumah Tahanan Kebonwaru. Dengan pembukaan yang sangat sederhana, kami mulai melakukan beberapa kegiatan.
Di kelompok Kriya, Jaka memandu anak-anak untuk membuat patung dari tanah liat. Sementara di Kelompok Musik, anak-anak asyik memainkan beberapa lagu dengan alat-alat yang sederhana. Saya pun menemani E (17 tahun), bernyanyi dan merekam satu lagu baru ciptaannya.
Sementara itu, Anita mendampingi 2 orang anak yang baru beberapa hari masuk tahanan. Salah satunya adalah seorang anak berusia 11 tahun, sebut saja namanya D. Ia terpaksa masuk tahanan karena dianggap telah melakukan kekerasan fisik terhadap ibu tirinya. Menurut penuturan D, ayahnya mempunyai dua orang isteri. Pada satu ketika, kedua orang isterinya ini terlibat suatu percekcokan. D yang baru saja pulang sekolah, terdorong untuk membantu ibunya. Entah kejadiannya seperti apa, tiba-tiba D mencekik leher ibu tirinya hingga terluka parah. D sangat kecewa dengan ayahnya yang tidak menengahi percekcokan dua orang isterinya itu, padahal ia sedang berada di rumah dan mengetahui kejadian tersebut. Justeru ayahnyalah yang melaporkan kejadian itu kepada polisi, sehingga D mesti ditahan bersama ibunya di tempat berbeda.
Di pojok lain ruang pendidikan yang biasa kami gunakan ini, Rahmi dan Bayu berbincang-bincang dengan beberapa anak. Rahmi banyak mendapat informasi dari beberapa orang anak tentang kondisi yang terjadi di dalam Rumah tahanan Kebonwaru. Meski banyak informasi masih harus kami klarifikasi, tapi tak salah kiranya bila beberapa di antaranya saya ceritakan di sini.
Menurut seorang anak, interaksi yang sangat terbuka antara tahanan anak dengan tahanan dewasa seringkali membawa efek negatif bagi tahanan anak. Salah satunya adalah berpotensi terjadinya “siklus residivis”. Siklus residivis adalah suatu perputaran dimana anak-anak berpotensi untuk keluar-masuk penjara. Kondisi ini sangat mungkin terjadi ketika tahanan anak banyak berinteraksi dan banyak belajar dari tahanan-tahanan dewasa, termasuk tentang belajar beberapa modus kejahatan. Beberapa efek lain pun terjadi di dalam tahanan. Misalnya, perkelahian antar tahanan anak atau pemalakan yang dilakukan oleh beberapa tahanan yang menjadi kaki tangan tahanan dewasa, terhadap tahanan-tahanan anak yang lain. Kondisi terburuk lain pun terjadi meski dengan intensitas yang sangat kecil dan sulit sekali dideteksi, yaitu, pasokan narkoba dari beberapa tahanan dewasa bagi beberapa tahanan anak.
Dari penuturan beberapa orang anak ini, semakin memperkuat keyakinan kami bahwa penjara sangat tidak layak dan tidak aman bagi anak. Ketika kondisi penjara masih seperti ini, masih tegakah kita untuk memeja hijaukan dan memenjarakan anak-anak kita hanya karena beberapa kasus yang sebenarnya masih bisa diselesaikan dengan cara-cara kekeluargaan. Dalam cerita di atas, sangatlah ironi seorang bapak tega memenjarakan anaknya, hanya karena isteri mudanya disakiti.
Dengan memenjarakan anak, kita telah menghilangkan beberapa hak yang semestinya anak-anak dapatkan, seperti, hak kebebasan, hak berekpresi, hak tumbuh-kembang dan sebagainya. Meski anak-anak itu telah melakukan kesalahan, dalam sebagian kasus yang kami temukan, sanksi dan kondisi yang mereka harus terima di tahanan acapkali tidak sepadan dengan kesalahan yang mereka lakukan.
Tentu saja kita tidak cukup hanya mengusap dada dan menyesali nasib beberapa anak kita yang mesti berhadapan dengan hukum dan mendekam di tahanan. Atau bahkan bersikap tak peduli karena kejadian di atas tidak terjadi dengan anak, adik atau keponakan kita sendiri. Kita harus bergerak dan mendorong agar ada perlakuan adil bagi anak-anak di sekitar kita, termasuk anak-anak yang harus berkonflik dengan hukum. Wallahu a’lam....
zoel.261109

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar di sini.
No SPAM ya.