Senin, 04 April 2011

NOTULENSI AUDIENSI


LINGKAR PERLINDUNGAN ANAK KOTA BANDUNG – KOMISI D DPRD KOTA BANDUNG
Bandung, 29 Maret 2011

Audiensi ini dilaksanakan pada hari Selasa, 29 Maret 2011, dari pukul 13.10 WIB sampai dengan pukul 14.45 WIB, bertempat di Ruang Komisi D DPRD Kota Bandung. Yang hadir dalam audiensi ini adalah 4 orang anggota DPRD dari Komisi D yang diketuai Ahmad Nugraha, Kepala Dinas Sosial Kota Bandung beserta 2 orang stafnya, dan beberapa orang perwakilan Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung yang juga wakil dari beberapa LSM penggiat hak anak di Kota Bandung, seperti, Yayasan Kalyanamandira, Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA), Semak, Yayasan Bahtera, Yayasan Saudara Sejiwa, dan Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (KerLiP).
Dalam sambutan sekaligus pembukaan  Audiensi antara Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung bersama Komisi D DPRD Kota Bandung dan Dinas Sosial Kota Bandung, Ahmad Nugraha, Ketua Komisi D DPRD Kota Bandung, menyambut baik langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung dalam penanganan masalah anak-anak dalam situasi khusus.  Menurutnya, sejauh ini Bandung sebagai salah satu kota besar yang ada di Indonesia, selalu dipusingkan dengan permasalahan gelandangan dan pengemis (gepeng), termasuk di dalamnya permasalahan anak-anak jalanan yang tak kunjung selesai. Oleh karena itu, beliau sangat mengharapkan peran serta masyarakat untuk membantu pemkot dalam penanganan permasalahan ini.
Sebelum masuk ke dalam inti pembahasan, Andi Akbar, salah seorang perwakilan Lingkar yang juga staf di Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA), memperkenalkan secara singkat profil Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung, yang semula hanyalah ‘obrolan warung kopi’ antar para penggiat hak anak di Kota Bandung lalu bergabung menyatukan langkah untuk melakukan proses advokasi hak anak yang lebih menyeluruh. Andi pun sedikit menyitir kondisi riil anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) yang ada di Kota Bandung. Menurutnya, AKH yang hamper semuanya adalah anak-anak Bandung ini malah tidak mendapatkan layanan dari pemerintah Kota Bandung hanya karena AKH secara regulasi berada dalam tanggungan instansi vertical, yaitu, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhumham). Pengabaian hak AKH ini telah dimulai pada awal penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian hingga mereka keluar dari penjara.
Secara panjang lebar, Rijaludin, yang merupakan Koordinator Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung memaparkan kondisi yang terjadi pada AKH di Kota Bandung, beberapa alasan mengadvokasi AKH dan beberapa tuntutan terkait AKH. Menurutnya, audiensi ini merupakan langkah lanjutan dari kegiatan Forum Group Discussion (FGD) dengan tema “Membuka Peluang Pengalokasian Anggaran Daerah bagi Pemenuhan Hak-hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum” yang telah dilakukan pada 15 Maret 2011 bersama instansi-instansi terkait dan beberapa LSM.
Selanjutnya, Rijaludin menyatakan bahwa, kondisi anak-anak yang berhadapan dengan hukum ini sangat memprihatinkan. Mereka tidak mendapatkan layanan-layanan yang memadai, padahal dalam proses pnahanan ini anak-anak hanya dicabut hak kemerdekaannya saja tidak dengan hak-hak yang lain. Terlebih lagi di Bandung tidak ada Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus anak. Yang ada hanya Rumah Tahanan dan LP yang juga terdapat di dalamnya para narapidana dan para tahanan dewasa. Kondisi sangat mengkhawatirkan, mengingat anak-anak ini masih sangat labil mental dan kejiwaannya. Di samping itu, anak-anak ini rentan mendapatkan kekerasan baik dari para tahanan dewasa maupun dari para petugas.
Sejauh ini, proses peradilan yang dilakukan masih secara konvensional yaitu dengan pemenjaraan yang seringkali hanya bertujuan retributive (pembalasan). Padahal, yang layak bagi anak-anak adalah proses peradilan alternative di luar pemenjaraan yang bertujuan untuk melakukan proses pemulihan (restorative). Dengan cara-cara retributive ternyata sering hanya melahirkan para residivis-residivis baru, termasuk anak-anak di dalamnya.
Sebenarnya, Negara dalam hal ini adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun pemerintah kota/kabupaten, sama-sama memiliki kewajiban untuk senantiasa melindungi hak-hak anak, termasuk AKH. Adanya kewajiban ini mengingat beberapa hal sebagai berikut:
   Pemerintah Indonesia sudah berjanji akan memberikan penanganan dan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Janji utama ini diwujudkan dalam bentuk:
     Ratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36 Tahun 1990
     Pemerintah Indonesia telah mensahkan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
   Kedua janji utama ini sama-sama menempatkan anak yang berkonflik dengan hukum sebagai anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
   Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan warga setempat, dalam konteks ini adalah warga Kota Bandung.
    Selama ini, Pemerintah Kota Bandung kurang terlibat dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum baik selama masa penahanan/pemenjaraan maupun dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi.
Sementara itu, angka AKH dan kondisi riilnya dipaparkan berikut ini:
    Menurut data UNICEF, setidaknya dalam satu tahun terdapat 4000 anak yang diadili. Lebih dari 90% diantaranya dihukum penjara.
   Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) sejak tahun 2002-2010 menangani 196 anak di Bandung yang berperkara di peradilan pidana.
    Adapun berdasar data terakhir dari pengadilan negeri Bandung, terdapat 87 orang anak konflik hukum (AKH) yang prosesnya sampai ke pengadilan. Dan 90% di antaranya dituntut penjara.
    Anak-anak tidak berada dalam LP khusus anak melainkan ditempatkan di Rumah Tahanan, bersatu dengan para tahanan dan napi dewasa.
     Tidak ada pembedaan penanganan, baik anak yang melakukan pelanggaran ringan dengan pelangaran berat. Padahal, untuk beberapa kasus yang ringan sangat mungkin diselesaikan secara kekeluargaan.
     Tidak ada layanan pendidikan formal maupun non formal bagi anak-anak yang berada dalam penjara. Yang ada adalah pendidikan informal yang dilakukan oleh LSM
      Layanan kesehatan jauh di bawah standar
      Mengalami tekanan yang berat dan semakin terasing dari masyarakatnya
      Tidak ada upaya untuk meminimalisir stigma
    Tidak ada pekerja sosial yang mendampingi anak baik selama pemenjaraan maupun untuk proses reintegrasi
Bila tidak ada penanganan segera, maka akan timbul beberapa masalah berikut:
  • Menjadi korban kekerasan dari tahanan atau narapidana dewasa
  • Hak anak atas pendidikan menjadi tidak terpenuhi. Bahkan anak yang masih sekolah ketika masuk penjara, sekolahnya menjadi terhenti
  • Kondisi kesehatan anak menjadi menurun
  •  Dalam beberapa kasus, tidak ada perbaikan hubungan dengan keluarga. Perbaikan hubungan bahkan tidak terjadi dengan komunitas dan korban
  • Anak menghayati stigma atau labelisasi yang diberikan menjadi perilaku yang permanen
Dalam usia muda, beberapa anak yang berkonflik dengan hukum telah menjadi residivis.
Dari kenyataan di atas, maka Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung mengajukan beberapa tuntutan seperti:
  Menyediakan tempat alternatif untuk penahanan atau pemenjaraan
  Adanya layanan pendidikan yang terstandarisasi (replacement, bridging course atau tutorial) yang dapat digunakan anak pasca menjalani hukuman.
  Meningkatkan fasilitas dan kualitas layanan kesehatan
  Adanya pekerja sosial yang bekerja mulai dari anak ditangkap sampai mendampingi anak dalam proses reintegrasi
Beberapa orang lain baik dari kalangan Lingkar, Komisi D DPRD, maupun dari Dinsos Kota Bandung turut menyampaikan pendapatnya dalam pertemuan ini.
Yanti Sriyulianti dari Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (KerLiP), menilai kategori anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) ini masih menjadi hal baru bagi pemerintah Kota Bandung. Hal ini Nampak dalam pembahasan MUSRENBANG Kota Bandung 2011 belum lama ini. Padahal AKH telah masuk di antara 22 kategori PKSA (Program Kesejahteraan Sosial Anak) yang ditangani Kementerian Sosial. Pemerintah Kota Bandung memprioritaskan pada 5 kategori di antaranya, yaitu: anak jalanan, pekerja anak, AKH, ESKA (eksploitasi seks komersil anak), dan anak dengan NAPZA/HIV. Masalah besar yang sering terjadi adalah lemahnya koordinasi antar instansi baik antara satu instansi vertical dengan instansi vertikal yang lain, antara instansi vertikal dengan instansi horizontal maupun antara satu instansi horizontal dengan instansi horizontal yang lain. Anak-anak pun seringkali dihadapkan pada permasalahan pemenuhan hak-hak sipil karena kurang pro aktifnya pemerintah dalam melakukan pendataan penduduk.
Eko Kriswanto, salah seorang penggerak Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung, mengutip sebuah data yang menyebutkan dari sekian banyak AKH, 70% di antaranya telah terjebak masuk dalam kategori ‘anak dalam situasi khusus’, seperti, anak jalanan, pekerja anak dan lain-lain. Sehingga pemerintah kota perlu menjalankan langkah-langkah menyeluruh agar anak-anak dapat tercegah dari perbuatan-perbuatan criminal.
Ahmad Nugraha menganggap bahwa anak-anak menjadi berkonflik dengan hukum dikarenakan lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan pertemanannya. Beliau setuju untuk tidak menyamaratakan hukuman antara kasus yang ringan dengan kasus yang berat. Menurutnya, anak nakal itu wajar sehingga tidak setiap bentuk kenakalan harus dipidanakan. Beliau mendorong Lingkar untuk mengajukan hal-hal yang lebih konkret sehingga DPRD dapat segera menyikapinya dengan jelas. Beliau mengakui ada hambatan dalam mengajukan anggaran bagi layanan AKH ini. Namun, bila payung hukum dalam hal ini Peraturan Daerah tentang perlindungan anak telah lahir, anggaran pun akan segera diturunkan.
Andi Akbar meminta pemerintah kota segera mengeluarkan anggaran bagi AKH. Sebenarnya hambatan otonomi daerah masih mempunyai banyak celah. Instansi vertikal hanya memegang ranah yustisi semata, sisanya pemerintah daerah dan pemerintah kota sangat mungkin mengelolanya. Melihat banyak AKH yang diabaikan hak pendidikannya, Dinas Pendidikan Kota Bandung harus menginisiasi layanan pendidikan bagi anak-anak di penjara.
Akbar Halim melihat banyak kota/kabupaten yang dapat mengeluarkan perda dan anggaran terkait perlindungan hak anak. Sehingga Kota Bandung sebagai salah satu kota besar di Indonesia ini sepantasnya mengeluarkan anggaran bagi perlindungan hak anak.
Anggota Komisi D yang lain menyampaikan hal yang hamper serupa. Win Bastiah melihat banyak orang tua yang khawatir label anak nakal atau anak penjahat dapat menular kepada anak-anaknya, sehingga acapkali AKH yang telah bebas dijauhi warga.
Sementara Suci menganggap bahwa tidak ada anak yang terlahir menjadi penjahat, sehingga setiap anak harus mendapat perlakuan yang sama.
Siti Masnun Syamsiati, Kepala Dinas Sosial Kota Bandung, mengakui ada anggaran dari pemerintah provinsi Jawa Barat bagi rehabilitasi para mantan narapidana. Namun, jumlahnya masih sangat sedikit dan kebanyakan masih diberikan kepada para ex-napi dewasa. Dinas Sosial Kota Bandung sendiri tidak mempunyai anggaran bagi layanan AKH ini. Sejauh ini pemerintah Kota Bandung akan membangun panti rehabilitasi anak seluas ± 7 hektar, dan sekarang baru pada tahap pengurugan. Diharapkan tahun 2012 nanti, panti rehabilitasi ini telah siap digunakan.
Secara singkat Dan Satriana mengajukan dua tuntutan yang cukup konkret kepada pihak DPRD dan Dinas Sosial. Dua tuntutan itu adalah :
1.      DPRD, khususnya Komisi D harus mengawal proses penyusunan Perda Perlindungan Anak Kota Bandung, sehingga pemerintah Kota Bandung mempunyai anggaran yang layak bagi perlindungan hak-hak anak di Kota Bandung.
2.      Dinas Sosial Kota Bandung harus membuat Master of Understanding (MoU) atau kesepakatan dengan Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk bersama-sama menjalankan program rehabilitasi dan reintegrasi AKH. Toh, anggarannya telah ada dari pemerintah provinsi Jawa Barat. Dan ada kesempatan untuk memasukkan dalam RAPBD perubahan.
Di akhir pembicaraan, Ahmad Nugraha beserta anggota Komisi D yang lain berjanji mendorong lahirnya Perda Perlindungan Anak Kota Bandung. Dan secara pribadi, beliau telah meminta BPPKB Kota Bandung untuk memulai penyusunan Perda ini dengan kajian.

NOTULENSI FOCUS GROUP DISCUSSION


“Membuka Peluang Pengalokasian Anggaran Daerah
Bagi Pemenuhan Hak-hak Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum”
Bale Gazebo, Bandung, 15 Maret 2011

Anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) seringkali terabaikan hak-haknya. Padahal, sebagai warga Negara – terlebih sebagai anak – mereka tetap berhak mendapatkan berbagai layanan. Sebenarnya berdasar undang-undang, anak-anak ini sah mendapatkan penahanan atau pemenjaraan. Namun, hal ini tidak berarti mencerabut segala hak-hak yang melekat pada dirinya semasa di luar. Dalam konteks hak asasi manusia (ham) hanya hak kemerdekaannya saja yang dicabut dan mereka tetap layak mendapatkan hak atas pendidikan, layanan kesehatan, layanan social dan lain-lain. Kenyataannya, anak-anak ini di saat berada di penjara acapkali tidak terpenuhi hak-haknya. Negara seakan-akan berhenti melayani mereka. Dan perlu dicatat, pengabaian hak AKH ini terjadi sejak proses awal penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian hingga pada saat mereka keluar penjara.
Kalau melihat data terakhir dari pengadilan negeri Bandung, terdapat 87 orang anak konflik hukum (AKH) yang prosesnya sampai ke pengadilan. Dan 90% di antaranya dituntut penjara, padahal dalam UU pengadilan anak ada beberapa alternatif.
Minimnya layanan atau bahkan ketiaadaan layanan bagi AKH yang secara formal berada dalam tanggung jawab instansi vertikal ini, di samping karena minimnya anggaran yang dimiliki Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhumham), juga dikarenakan tak adanya sumbangsih dari pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kota/kabupaten. Hal ini terjadi disebabkan pasca keluarnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, ada larangan bagi pemerintah daerah untuk memberikan anggaran kepada instansi vertikal.
Buruknya layanan bagi AKH terjadi pula di Kota Bandung. Kondisi ini diperparah dengan ketiadaan Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus anak yang memiliki pola pembinaan tersendiri.  Anak-anak yang tengah menjalani proses peradilan ini terpaksa mendekam di penjara-penjara Rumah Tahanan (Rutan) yang sebenarnya adalah tempat sementara bagi para tahanan hingga turun inkrah dari Pengadilan. Sehingga anak-anak ini tak sekedar harus menerima layanan yang tak semestinya, mereka pun tidak mendapatkan pembinaan yang dibutuhkan.
Minimnya layanan bagi AKH yang terdapat di Rutan Kebonwaru dan beberapa LP di sekitar Bandung juga diakibatkan tak adanya akses layanan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Bandung. Ketiadaan akses ini seringkali didasarkan pada larangan tentang pemberian dana/anggaran dari pemerintah daerah kepada instansi-instansi vertikal. Selain itu, pemerintah kota pun sering berdalih bahwa layanan-layanan yang ada lebih difokuskan kepada warga Kota Bandung. Padahal, banyak anak-anak yang harus mendekam di Rutan atau LP itu merupakan warga Kota Bandung.
Focus Group Discussion (FGD) ini diharapkan menemukan peluang atau celah anggaran yang bisa diberikan pemerintah kota dalam penanganan AKH. Sebenarnya pasca larangan penganggaran pemerintah daerah terhadap instansi-instansi vertikal, ada sebuah kelonggaran berdasar surat edaran Menteri Keuangan dengan memperbolehkan pemerintah daerah memberikan anggarannya kepada instansi-instansi vertikal tetapi hanya dalam bentuk block grant (hibah) yang bisa diberikan satu kali saja.
Ada beberapa solusi yang disampaikan oleh para peserta FGD terkait penganggaran pemerintah kota bagi AKH ini, yaitu:
Pertama, dengan membuka seluruh sekat formal yang ada di antara pemerintah kota dan instansi-instansi yang terkait dengan permasalahan AKH ini seperti, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Rutan, LP dan Bapas. Usulan ini didasarkan pada 2 Surat Kesepakatan Bersama (SKB) para pejabat setingkat menteri yang telah ditanda tangani secara berturut-turut pada tanggal 15 dan 22 Desember 2009 tentang Penangangan AKH dan Reorientasi-Reintegrasi AKH Pasca Proses Hukum.
Kedua, dengan melibatkan pihak ketiga sebagai pelaksana layanan di Rutan atau LP yang didanai oleh pemerintah kota.
Namun, dua solusi di atas sangat tergantung kepada political will pemerintah kota dan instansi-instansi yang terkait permasalahan AKH ini.