Rabu, 30 Juni 2010

Belajar Dalam Penjara (Bagian 2)

Pendampingan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) di Rumah Tahanan Kelas 1 Kebon Waru Bandung yang dilakukan oleh Yayasan Kalyanamandira diarahkan pada pemenuhan hak anak, khususnya hak untuk belajar, hak untuk bermain serta mememuhi hak tumbuh-kembang mereka. Hal ini dilakukan karena seringkali anak-anak yang berada dalam penjara ini tidak mendapatkan hak-hak yang semestinya terpenuhi, terlebih ketika anak-anak ini harus terpisah dari keluarga, teman-teman dan lingkungannya.
Semula antara tahun 2006 – 2007, Yayasan Kalyanamandira melakukan pendampingan anak berkonflik hokum (AKH) ini bersama dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) lain, yaitu Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) dan Solidaritas Masyarakat Anak (Semak). Namun, sejak akhir 2007 hingga sekarang hanya Yayasan Kalyanamandira yang melakukan pendampingan anak di Rutan Kebon Waru.
Secara umum, pendampingan anak di Rutan Kebon Waru ini mengalami beberapa perubahan pola pendekatannya. Tahap Pertama pada sekira tahun 2006 – 2007, pola pendekatan yang dipakai adalah pelatihan dan pengembangan hard skill dengan tujuan untuk memberikan suatu pengalihan ketegangan dan tekanan yang anak-anak rasakan selama berada dalam tahanan. Pada tahap ini, tingkat kekerasan di dalam rutan baik antar tahanan dewasa terhadap tahanan anak, tahanan anak yang satu terhadap tahanan anak yang lain, ataupun kekerasan yang dilakukan sipir terhadap para tahanan masih sangat tinggi. Sehingga pendampingan diarahkan pada kondisi relaksasi dan memberi kenyamanan bagi anak.
Tahap Kedua pada sekira tahun 2007 – 2009, pola pendampingan diarahkan pada penanaman dan pengembangan nilai-nilai positif pada diri anak yang dihantarkan melalui pembelajaran hard skill (keterampilan). Pada tahap ini, anak-anak diberi ruang seluas-luasnya dengan media yang ada untuk berekspresi dan berkomunikasi melalui karya mereka. Namun perlu diketahui, pembelajaran keterampilan pada tahap ini hanya dijadikan wahana ekspresi anak semata tidak sampai melatih untuk menjadi ahli.
Tahap Ketiga dari tahun 2009 hingga sekarang, mencoba memandu anak-anak untuk bisa memaksimalkan potensi dan bakat mereka. Pada tahap ini, kami sangat berkendala dengan minimnya waktu pendampingan dan sarana prasarana. Setidaknya, pada tahap ini kami terus melatihkan beberapa jenis keterampilan seperti seni rupa, seni musik dan sastra. Dan jangan dilupakan, kami tetap menyisipkan nilai-nilai positif dalam setiap pendampingan.
Dalam pelaksanaannya, keseluruhan pendampingan diawali dengan suatu perencanaan. Perencanaan pendampingan dilakukan untuk merumuskan tujuan-tujuan apa saja yang akan dicapai dalam pelaksanaan pendampingan. Perencanaan yang dimaksud adalah perencanaan dalam format rencana-rencana kegiatan yang disusun dalam format kurikulum. Kurikulum yang disusun oleh tim pendamping sifatnya tidak berstruktur. Karena sifatnya yang spontan dan menyesuaikan dengan kebutuhan lapangan. Tetapi, rambu-rambu dalam penyusunan arahan kegiatan menjadi sebuah perhatian yang meliputi tujuan, materi, dan metode yang dilakukan setiap kali melakukan pendampingan. Perencanaan ini biasanya merumuskan rangkaian kurikulum, rencana program dan rancangan kegiatan untuk 3 - 4 bulan ke depan.
Dalam pendampingan anak konflik hokum yang dilakukan oleh Yayasan Kalyanamandira, partisipasi anak dalam penyusunan rencana kegiatan menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pendampingan. Tentu saja, partisipasi anak ini dengan tetap mendapat panduan dari para pendamping.
Sebelum anak-anak dilibatkan dalam penyusunan rangkaian kegiatan pendampingan, terlebih dahulu para pendamping merumuskan garis besar kurikulum untuk 3 – 4 bulan ke depan. Garis besar ini biasanya diwujudkan dalam bentuk tujuan besar pendampingan, target dan beberapa indicator besar yang akan dicapai. Setelah itu baru anak-anak dilibatkan dalam merumuskan detail kegiatan yang akan dilaksanakan.
Tidak ada tim khusus dalam penyusunan kurikulum pendampingan. Semua pendamping terlibat dalam perumusan kurikulum ini, termasuk para relawan baru yang langsung diminta kontribusinya.
Sebelum merumuskan kurikulum, terlebih dahulu para pendamping melakukan evaluasi proses pendampingan yang telah dilakukan, sekaligus melakukan pemetaan. Pemetaan yang dimaksud di sini adalah berupa perumusan tujuan, output yang diharapkan, indicator capaian dan turunan kegiatan pendampingan. Termasuk dalam pemetaan ini adalah memetakan kondisi anak sebelum masuk rutan, selama anak berada di rutan serta rencana yang akan dilakukan selepas anak bebas nanti.
Pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Kalyanamandira menggunakan penggunaan Appreciative Inquiry yang menekankan pada penghimpunan dan pemaknaan nilai-nilai positif. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan nilai-nilai positif pada diri anak yang berkonflik dengan hokum (AKH) yang seringkali mengalami deficit nilai positif, tertekan dan mentalnya jatuh (drop). Dalam pelaksanaannya, pendampingan dengan menggunakan pendekatan Appreciative Inquiry berupa eksplorasi nilai-nilai positif anak dan penggalian pengalaman terbaik anak. Hal-hal positif ini diproyeksikan dalam membangun mimpi dan merencanakan masa depan anak.
Kurikulum pendampingan disusun per-3 bulan. Alasannya, sebagian besar anak di Rutan Kebon Waru harus menjalani masa tahanannya di bawah 1 tahun, berkisar antara 3 – 6 bulan. Dalam rentang 3 bulan ini, anak-anak diharapkan dapat menghasilkan sebuah atau beberapa karya.
Sementara itu, analisis kebutuhan yang dilakukan oleh para pendamping disesuaikan dengan kodisi mental dan psikologis anak. Karena sifatnya yang fleksibel, maka analisis kebutuhan ini akan berbeda dalam setiap pendampingan perminggunya. Karena kondisi anak dari minggu ke minggu atau dari pertemuan ke pertemuan selalu mengalami perubahan, maka metode pendampingan yang dipergunakan pun akan senantiasa berbeda.
Proses pembelajaran dalam pendampingan yang dilakukan Yayasan Kalyanamandira sendiri lebih menumbuhkan dan mengembangkan soft skill (muatan nilai positif) pada diri anak melalui beberapa aktivitas keterampilan sebagai wahana ekspresi dan komunikasi serta dorongan motivasi melalui beberapa bimbingan psikologis.
Aktivitas keterampilan yang dikembangkan dalam pendampingan ini berupa Seni Musik, Seni Rupa (Kriya) dan Penulisan Sastra. Dalam pelaksanaannya, setiap anak dikelompokkan pada tiga jenis aktivitas tadi. Setiap kelompok melakukan pemetaan kebutuhan sendiri, merumuskan program pembelajaran dan menentukan hal apa saja yang akan dibuat atau dipelajari. Pada proses ini, anak-anak diberi kelapangan untuk menentukan kegiatan atau program apa saja yang mereka inginkan dipandu oleh para pendamping.
Soft skill yang dapat dikembangkan dalam proses pendampingan Yayasan Kalyanamandira dengan penerapan pendekatan Appreciative Inquiry meliputi beberapa hal sebagai berikut :
a) Pemaknaan positif
b) Pencarian Alternatif
c) Kesadaran diri
d) Kepercayaan diri
e) Refleksi
Dalam pembuatan karya, anak-anak biasanya ditantang dengan sebuah rencana proyek. Proyek ini diwujudkan dalam bentuk pameran dan pementasan. Pameran dan pementasan ini dilakukan dalam kurun 3 – 4 bulan sekali. Pada program pameran dan pentas ini, semua hasil karya anak dipertunjukkan kepada seluruh anak, pendamping dan para undangan yang sengaja diminta hadir dalam program ini di dalam rutan.
Adapun sumber atau media yang digunakan dalam pendampingan adalah dengan memanfaatkan barang-barang yang mudah ditemui di sekitar kita. Pemilihan sumber atau media belajar ini dirumuskan bersama antara anak-anak dan para pendamping.
Selanjutnya, proses pendampingan ini diakhiri dengan tahap evaluasi. Evaluasi dilakukan baik secara rutin perminggu maupun secara pertigabulan (triwulan). Evaluasi rutin mingguan dilakukan langsung setelah kegiatan pendampingan. Sedangkan, Evaluasi triwulan dilakukan untuk mengevaluasi keseluruhan proses selama 3 bulan yang telah dilewati. Evaluasi ini tidak hanya dilakukan antar pendamping, tetapi dilakukan juga bersama anak. Namun, evaluasi bersama anak ini bisa dianggap sebagai salah satu bentuk pembelajaran yang seringkali dihantarkan melalui beberapa metode tertentu.

Minggu, 20 Juni 2010

Belajar Dalam Penjara (Bagian 1)


Pembelajaran atau pendampingan dalam penjara bisa dikategorikan sebagai Diversity Learning (keragaman pembelajaran). Boleh jadi karena kondisi yang kita dapati dalam penjara sangat berbeda baik para subjek pembelajarnya, ruang belajarnya dan juga metode pembelajarannya.
Pendampingan seperti inilah yang selama ± 5 tahun terakhir ini dilakukan oleh penulis bersama beberapa relawan dari Yayasan Kalyanamandira terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) di salah satu penjara di Kota Bandung. Dikarenakan subjek pembelajar dan kondisi yang dihadapi sangat berbeda dengan di luar penjara, maka pola pendekatan, metode dan segala hal yang terkait dengan pendampingan disesuaikan dengan kondisi anak di dalam penjara.
Perlu diketahui, istilah Anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) atau anak yang berhadapan dengan hukum merupakan ’penyebutan halus’ dari istilah Anak Nakal seperti yang telah diatur dalam UU No.3 1997 Tentang Peradilan Anak, yang menyebutkan bahwa Anak Nakal adalah : a) Anak yang melakukan tindak pidana; atau   b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Akhirnya, nasib anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini harus merasakan gelap dan pengapnya penjara seperti apa pun kasusnya. Hal ini dikarenakan ketiadaan proses penanganan terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) selain hukum positif. Tak ada pranata sosial yang dapat melindungi anak-anak yang dianggap salah dalam pandangan hukum ini.
Bagaimanakah kondisi anak-anak ini bila masuk penjara?
Penjara dengan segala macam permasalahan dan kondisinya, ternyata telah menjadi entitas sosial tersendiri di masyarakat. Penjara sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang dinilai telah melakukan tindak kejahatan di tengah masyarakat, secara laten telah menerapkan beberapa nilai tersendiri. Layaknya hukum rimba, di penjara orang-orang yang mempunyai kekuatan akan menguasai orang-orang yang lemah. Dan biasanya, semakin berat tingkat kejahatan seseorang maka ia akan semakin dihargai.
Tahanan anak sebagai salah satu kelompok yang hidup dalam belenggu tembok-tembok tinggi penjara, tak luput dari kondisi seperti di atas. Tahanan anak pun seringkali diperlakukan sama dalam penjara layaknya tahanan dewasa. Terlebih lagi ketika tahanan anak ini bersatu dengan para tahanan dewasa.
Ketika mereka harus bersatu dan berinteraksi dengan para tahanan dewasa, tahanan anak seringkali menjadi korban eksploitasi para tahanan dewasa. Meski sel tahanan anak terpisah dari sel tahanan dewasa, tetapi hal itu tidak dapat mencegah beberapa bentuk eksploitasi terhadap tahanan anak. Dari eksplotasi yang bersipat ekonomi, eksploitasi bersipat fisik, hingga eksploitasi yang bersipat psikis. Kadangkala terjadi pula eksploitasi secara seksual. Namun, eksploitasi dalam kategori terakhir ini intensitasnya sangat kecil dan agak sulit untuk diungkap.
Meski demikian, mengungkapkan eksploitasi anak di dalam penjara bak mencari jarum dalam tumpukan jerami, kita akan mengalami banyak kesulitan. Di samping sangat sulit membuktikannya secara langsung, tahanan anak pun seringkali tutup mulut tentang hal ini.
Interaksi yang sangat terbuka antara tahanan anak dengan tahanan dewasa seringkali membawa efek negatif bagi tahanan anak. Salah satunya adalah berpotensi terjadinya “siklus residivis”. Siklus residivis adalah suatu perputaran dimana anak-anak berpotensi untuk keluar-masuk penjara. Kondisi ini sangat mungkin terjadi ketika tahanan anak banyak berinteraksi dan banyak belajar dari tahanan-tahanan dewasa, termasuk tentang belajar beberapa modus kejahatan. Beberapa efek lain pun terjadi di dalam tahanan. Misalnya, perkelahian antar tahanan anak atau pemalakan yang dilakukan oleh beberapa tahanan yang menjadi kaki tangan tahanan dewasa, terhadap tahanan-tahanan anak yang lain. Kondisi terburuk lain pun terjadi meski dengan intensitas yang sangat kecil dan sulit sekali dideteksi, yaitu, pasokan narkoba dari beberapa tahanan dewasa bagi beberapa tahanan anak.
Lalu bagaimana pendidikan bagi anak-anak dalam penjara ini dilakukan?
Tentang hal ini, penulis mempunyai suatu pengalaman tentang pendampingan anak dalam penjara. Suatu ketika, salah seorang teman sesama pendamping anak konflik hukum (AKH) menyampaikan selembar surat yang ditulis oleh salah seorang anak. Anak itu mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada kami yang telah mendampinginya dan kawan-kawan senasibnya di rutan. Ia merasa pendampingan kami telah dapat memberi motivasi kepada mereka. Ia mengaku selama ditahan, ia telah banyak kehilangan motivasi dan harapan dalam hidup. Ia merasa diasingkan dari kehidupannya sehari-hari.
Itulah pengakuan dari salah seorang anak di penjara yang selama ini kami dampingi. Ia dan teman-teman senasibnya seringkali kehilangan motivasi dan semangat hidup. Mereka pun merasa kehilangan harapan dan tak bisa lagi mengejar cita-cita mereka. Tak jarang mereka merasa dijauhkan atau diasingkan dari keluarga, teman-teman dan lingkungannya, karena sangat minimnya interaksi mereka dengan dunia luar.
Kenyataan ini berpengaruh pada kondisi mereka selama berada di tahanan, termasuk ketika anak-anak ini mengikuti kegiatan kami. Dalam setiap kegiatan kami, selalu saja ada anak-anak yang murung dan kurang antusias mengikuti kegiatan. Ada juga anak-anak yang nampak kehilangan orientasi.
Dari sisi psikologis, nampak gejala-gejala agresivitas yang sering meluap-meluap pada diri anak. Agresivitas pada diri anak ini diwujudkan dalam bentuk kata-kata kasar, menyindir atau mengejek. Ada juga yang berupa perilaku yang tidak pada tempatnya hingga tindakan kasar seperti mendorong, memukul atau menendang.
Anak-anak sering mengekspresikan perasaan-perasaan mereka dalam berbagai bentuk, ada lewat tulisan, gambar, dan lain-lain. Sebagian lainnya seringkali melekatkan identitas mereka dengan kehidupan jalanan, dunia hitam atau kejahatan. Pengidentikan seperti ini nampak dari simbol-simbol yang mereka tunjukkan pada gambar yang mereka buat di media-media yang kami sediakan atau pada kaos-kaos yang mereka pakai.
Sebagian besar anak memiliki tato di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian dari mereka ada yang telah memiliki tato sejak sebelum mereka ditahan, dan sebagian lain baru membuat tato selama berada di penjara. Sebagian anak membuat alat-alat pembuat tato sendiri selama berada di penjara dengan beberapa benda yang mereka temukan, misalnya, dengan batere bekas dan beberapa benda logam. Sebagai tintanya, mereka seringkali menggunakan tinta pulpen atau spidol.
Tak hanya itu, dalam beberapa kesempatan pendampingan, kami menemukan beberapa anak yang nampak mabuk. Ternyata, dari pengakuan dan kesaksian sebagian anak, beberapa orang dari mereka kadang-kadang bermabuk-mabukan baik dengan minuman, ganja atau obat-obatan. Karena beberapa keterbatasan, sebagian anak acapkali mabuk dengan mencampur beberapa obat yang menjadi ‘resep rutin’ Klinik Rutan. Disebut ‘resep rutin’ karena seringkali tahanan yang sakit dan diobati di klinik itu mendapatkan resep yang hampir sama untuk penyakit yang beragam.
Sebuah pertanyaan mencuat, pendidikan seperti apakah yang cocok bagi anak-anak dengan kondisi seperti yang penulis telah ungkapkan di atas?
Seperti yang penulis sedikit ceritakan di atas, pendidikan atau pembelajaran yang dilakukan terhadap anak-anak di penjara ini harus memberi wahana yang cukup luas bagi anak untuk berekspresi, dapat menyediakan ruang bagi anak-anak untuk mengungkapkan unek-unek mereka, dapat memberi terapi mental dan psikologis bagi mereka, serta pembelajaran yang dapat mengasah potensi dan bakat yang mereka miliki. (bersambung)

Rabu, 09 Juni 2010

Momok Menakutkan Itu Bernama SKKB

Sebuah harapan yang senantiasa muncul dari mulut anak-anak yang sedang menjalani masa tahanan di penjara adalah kebebasan. Tentu saja, mereka sangat ingin menghirup kembali udara kebebasan kala mereka harus terpisah dari keluarga, teman dan kehidupannya sehari-hari. Beberapa di antara mereka pun harus meninggalkan pendidikan dan pekerjaan mereka. Interaksi dan ruang gerak mereka pun sangat dibatasi.
Dari pengakuan beberapa anak, mereka sangat menyesal telah melakukan tindak kejahatan. Mereka pun merasa sangat tersiksa berada di penjara, membosankan, stres, takut dan perasaan tidak nyaman lainnya.
Anak-anak ini berharap segera dibebaskan untuk meneruskan kehidupan dan kembali mengejar cita-cita mereka. Sebagian di antara mereka ada yang akan meneruskan sekolah mereka yang sempat terhenti. Dan sebagian lainnya berencana mencari pekerjaan atau bekerja di tempat kerjanya semula. Ada juga anak-anak yang hanya berniat membantu kedua orang tuanya.
Ternyata, setelah mereka bebas permasalahan tak semudah yang dibayangkan. Mereka masih harus dihadapkan dengan stigma buruk dari masyarakat di sekitarnya. Stigma ini pun diformalkan dalam bentuk Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB). Dan bagi mereka yang pernah mengenyam sel tahanan, surat keterangan ini tidak mungkin mereka dapatkan, kecuali mereka pernah mengajukan rehabilitasi yang prosesnya sangat rumit.
Bagi anak-anak yang pernah mendekam di penjara, keharusan untuk memiliki SKKB ini telah menghalangi mereka untuk mengenyam pendidikan formal, karena banyak sekolah yang menolak menerima anak-anak yang diketahui pernah masuk penjara terlebih ketika mereka tidak bisa menunjukkan SKKB. Hal ini dibuktikan oleh beberapa anak dampingan kami yang ditolak masuk kembali di sekolah asalnya ketika mereka bebas dan adanya beberapa sekolah yang mempersyaratkan adanya SKKB. Hingga sebagian dari mereka memutuskan untuk masuk beberapa program kesetaraan atau malah tidak sekolah lagi.
Semula saya hanya menduga hal ini merupakan ketakutan beberapa pihak sekolah semata atas dasar menjaga citra baik sekolah. Namun, dari kabar terakhir yang saya dapatkan ternyata persyaratan SKKB ketika salah seorang anak masuk sekolah ini telah diatur oleh satu Peraturan Walikota (Perwal) mengenai prosedur Penerimaan Siswa Baru (PSB) di Kota Bandung.
Bisa dibayangkan, bila untuk bersekolah saja anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini sangat dipersulit, apalagi untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak. Sehingga, sebagian anak mengambil pekerjaan-pekerjaan yang tidak sesuai dengan usia mereka. Dan tak jarang di antara mereka mengambil jalan pintas dan kembali melakukan tindak kejahatan. Jadi, siapa yang harus dipersalahkan, bila anak-anak ini kembali masuk dalam lingkaran kejahatan?

Senin, 24 Mei 2010

Mendulang Permata Dalam Lumpur


Permata adalah suatu barang yang tak terkira harganya. Sehingga, banyak orang yang dapat hidup karena benda berharga ini, dan banyak pula yang harus mempertaruhkan nyawanya karena barang ini, seperti yang banyak terjadi di beberapa Negara miskin Afrika, seperti yang digambarkan dalam film “Blood Diamond”.
Mahalnya permata tak sekedar karena rupanya yang elok semata, tetapi juga karena sangatlah sulit dan sukarnya mendapat barang yang sangat berharga itu. Kita harus mendulang dengan tekun dalam Lumpur-lumpur sungai di antara bebatuan yang terserak. Tak berhenti di sana, batu-batu mulia itu pun harus diuji dengan teliti terlebih dahulu keasliannya.
Mungkin tak berlebihan bila saya membandingkan permata  dengan nilai-nilai positif yang ada pada diri anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH), terlebih ketika mereka harus mendekam di penjara. Dalam hampir setiap pendampingan AKH, kami senantiasa dihadapkan dengan kesulitan-kesulitan mengeksplorasi nilai-nilai positif pada diri anak.
Tak hanya itu, kita pun seringkali berkendala untuk memotivasi mereka untuk mau bercerita dan mengikuti kegiatan pendampingan secara penuh. Selalu saja ada beberapa orang anak yang nampak murung, kurang antusias dan enggan mengikuti kegiatan pendampingan. Hal inilah yang sering dikeluhkan para pendamping, terlebih para pendamping baru.
Acapkali kesulitan dan hambatan ini muncul karena kondisi mental dan psikologis anak-anak yang tertekan dan tidak stabil. Dalam pengamatan kami, mereka cenderung melakukan sikap apa yang kami menyebutnya sebagai Defense Mechanism (mekanisme pertahanan diri). Sikap ini diwujudkan dalam bentuk diam, menghindar, dan berbohong atau menutup-nutupi keaslian cerita sebenarnya. Perilaku anak seperti ini dilakukan sebagai wujud melindungi diri mereka dari beberapa tekanan selama anak-anak berada dalam penjara.
Namun dengan berbagai usaha yang kami lakukan, lambat-laun hambatan-hambatan seperti ini mulai berkurang. Tak jarang beberapa orang anak pun sengaja menghampiri saya dan teman-teman pendamping untuk bercerita banyak tentang diri mereka.
Kami mengibaratkan cerita anak-anak di penjara ini sebagai permata, karena cerita-cerita itu tak sekedar membuat kami terharu tetapi juga telah banyak memberi inspirasi dan menjadikan kami semakin sadar realitas lain dalam kehidupan masyarakat kita, khususnya kehidupan anak-anak. Tentu saja hal ini harus menggunakan cara pandang yang sangat terbuka dan jauh dari penilaian buruk terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini. Dan sedikit lebih sabar dan teliti mendengarkan cerita anak-anak.
Seperti dalam pendampingan hari ini, saya sedikit mendapatkan cerita dari dua orang anak, sebut saja Diki (17 tahun) dan Dandi (17 tahun). Meski hari ini topic pembelajaran kami adalah melukis kaos, tidak sedikit pun Diki tertarik mengikutinya. Ketika saya menanyakan kepadanya tentang kekurang tertarikannya untuk menggambar atau melukis, Diki beralasan bahwa ia sejak kecil sangat lemah atau tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk menggambar. Bahkan dengan sedikit agak bercanda ia berkata kepada saya,”Ah saya nyerah A kalau disuruh menggambar mah.” Meski demikian, ia mempunyai bakat besar di bidang lain, yaitu olahraga, khususnya sepak bola. Sebelum masuk tahanan, Diki terdaftar sebagai siswa di Sekolah Sepak Bola (SSB) di bawah Persib. Sehingga, Diki mempunyai cita-cita selepas keluar dari penjara nanti akan mengikuti seleksi pemain Persib U-19. Untuk kepentingan ini, selama di penjara Diki senantiasa menjaga kondisi fisiknya, termasuk tidak tergoda untuk membuat sebuah tato pun di tubuhnya seperti sebagian anak-anak yang lain.
Berbeda dengan Diki, Dandi sedikit punya bakat menggambar. Sayang, ia tidak punya cukup kesempatan untuk mengembangkan bakatnya tersebut. Maklum ketika masih berada di luar tahanan, sebagian waktunya ia habiskan di pasar untuk membantu kedua orang tuanya berjualan. Menurut pengakuan Diki, ia termasuk anak yang cukup mendapatkan kasih sayang. Hal ini dibuktikan dengan terpenuhinya segala keinginannya oleh orang tuanya. Sayang karena salah pergaulan dan pengaruh minuman keras, ia bertengkar dengan ayahnya dan kabur dari rumah. Celakanya, ia malah tergoda untuk mencuri 1 unit sepeda motor. Diki pun harus meringkuk di dalam tahanan.
Kedua orang anak ini sama-sama menyesali segala perbuatannya. Keduanya pun bertekad untuk melakukan segala yang terbaik bagi keluarganya, terlebih lagi keluarga mereka masih sangat menyayangi dan memerhatikan mereka meski sekarang keduanya berada di dalam penjara.
Memang, keluarga masih sangat banyak memberi pengaruh dalam perkembangan mental dan psikologis anak. Sayang, dari penuturan beberapa anak-anak yang saya dampingi di dalam penjara, banyak di antara mereka yang terkesan telah jauh atau menghindar dari keluarganya. Sehingga seringkali mereka mengaku tidak mempunyai tempat kembali selain ke dalam lingkungan keras yang telah mendorong mereka berbuat kejahatan.
Demikianlah, permata tentu saja tidak akan pernah mempunyai harga yang tinggi ketika masih tertanam dan dipenuhi Lumpur. Permata itu pun harus tekun kita bersihkan. Dan hanya orang-orang yang sangat paham terhadap kadar permata yang dapat menilai keaslian dan bisa menghargai permata tersebut. Wallahu a’lam…

Senin, 12 April 2010

Potret Kecil Anak Berkonflik Dengan Hukum (ABH)


I

stilah Anak Berhadapan dengan Hukum merupakan istilah lain dari Anak yang berkonflik dengan Hukum (AKH). Sebenarnya, dua istilah tadi merupakan ’penyebutan halus’ dari istilah Anak Nakal seperti yang telah diatur dalam UU No.3 1997 Tentang Peradilan Anak, yang menyebutkan bahwa Anak Nakal adalah : a) Anak yang melakukan tindak pidana; atau b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sejauh ini penanganan ABH masih sangat jauh dari pemenuhan hak-hak anak seperti yang termaktub dalam Konvensi Hak Anak (KHA) PBB dan beberapa regulasi tentang anak yang berlaku di Indonesia. Beberapa hal yang hak anak yang diabaikan dari ABH adalah pemenuhan hak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan yang layak, bebas dari diskriminasi dan lain-lain.
Pengabaian terhadap hak ABH dimulai dari proses awal penyidikan. Proses penangkapan, interogasi hingga penahanan seringkali mengabaikan kondisi psikologis anak. Sebagian besar ABH, terlebih yang berasal dari keluarga miskin dan tidak bersekolah, sangat sulit mendapatkan penangguhan penanganan. ABH pun dalam proses persidangan seringkali tidak didampingi oleh seorang pengacara, karena sangat jarang lembaga yang menyediakan pengacara gratis bagi para ABH ini.
Pengabaian hak ABH ini pun berlanjut ketika mereka mesti masuk penjara. Pemenjaraan ini pun telah banyak merengut hak-hak ABH. Dan seringkali ABH tidak mendapatkan layanan yang layak, terutama layanan pendidikan dan kesehatan.
Tidak cukup berhenti di sana. Para ABH di penjara pun seringkali mengalami tindak kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan yang terjadi bisa berbentuk verbal hingga kekerasan secara fisik.
Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi kondisi mental dan psikologis anak. Dalam beberapa pendampingan ABH, seringkali ditemukan anak-anak yang murung, sulit berkonsentrasi, agresif dan sebagainya. Lambat-laun tekanan-tekanan yang terjadi di penjara membawa trauma bagi anak.
Tak hanya sekedar trauma, kondisi yang terjadi di penjara secara jauh berdampak pada apa yang kami sebut sebagai ”Siklus Residivis”. Siklus Residivis adalah sebuah kondisi yang menggambarkan banyak ABH yang sempat bebas melakukan tindak kriminal lagi dan kembali masuk penjara. Dalam beberapa kasus, ABH yang menjadi residivis ini melakukan tindak kriminal yang lebih berat dari kasus sebelumnya.
Beberapa pengabaian hak ABH ini merupakan kejahatan besar dan perilaku zalim bagi sebagian anak-anak kita yang dipaksa kondisi untuk melakukan tindak kriminal. Kondisi seperti ini harus segera dibenahi dengan perspektif yang terbuka dan senantiasa memperhatikan hak-hak anak. Beberapa hal yang harus dilakukan adalah :
1. Menghidupkan nilai-nilai lokal untuk menangani perilaku nakal anak. Langkah ini harus dilakukan karena tidak semua perilaku nakal anak harus dipidanakan.
2. Sistem peradilan anak dari awal penyidikan, penyidangan harus senantiasa memperhatikan kondisi mental, psikologis dan hak-hak anak secara umum.
3. Harus dirumuskan sebuah alternatif lain bagi peradilan anak selain pemenjaraan. Pemenjaraan anak telah merengut banyak hak anak dan sangat mengganggu proses tumbuh-kembang mereka.
Sudah saatnya kita peduli dan memberi kontribusi bagi kebaikan dan masa depan anak siapapun, kapanpun dan di manapun serta dalam kondisi bagaimanapun. (izoel)

Kamis, 08 April 2010

Cuplikan Diskusi Antara Kalyanamandira Dengan Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung


A

cara ini dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB, bertempat di Aula Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, Jl. Ibrahim Adjie , Kiaracondong, Bandung. Acara ini diikuti oleh para pegawai di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, khususnya para pegawai di Biro Pelayanan Klien Anak.
Obrolan awal berkisar pada proses pendampingan yang dilakukan pendamping Kemasyarakatan (PK) Bapas saat proses penyidikan. PK bekerja sebagai mediator dan fasilitaor bagi ABH dan keluarganya serta membuat Penelitian Masyarakat (Litmas). Bagi Bapas, pemenjaraan adalah alternatif terakhir yang diambil. Dalam prakteknya Bapas mengajukan pertimbangan penanganan perkara melengkapi permohonan penangguhan penahanan dari keluarga ABH. Hal yang menjadi dasar pertimbangan penanganan perkara, PK Bapas senantiasa memasukkan kegiatan-kegiatan positif yang sedang dijalalani ABH, biasanya adalah kegiatan pendidikan formal. Namun, ABH yang masih bersekolah seringkali dikeluarkan atau tidak diterima kembali di sekolahnya. Hal ini mempersulit dalam pengajuan pertimbangan penanganan perkara ABH, khususnya dalam pengajuan penangguhan penahanan. Padahal prasyarat utama ABH mendapat penangguhan penahanan adalah ABH mempunyai kegiatan positif selama menjalani proses penangguhan penahanan, disamping ABH dilarang menghilangkan bukti dan melarikan diri. Kondisi seperti ini pun masih sangat tergantung dengan siapa penyidik dan hakimnya.
Sementara itu, di waktu yang lalu Kalyanamandira (KM) bersama beberapa jejaring/mitra, selain melakukan pendampingan ABH di dalam Rutan, juga melakukan pendekatan dengan keluarga ABH. Sayang, program ini karena beberapa hal tidak diteruskan. Kali ini, KM sedang mengembangkan jejaring untuk melebarkan fungsi/program dalam pembinaan ABH, baik pra, sedang menjalani dan pasca peradilan. Oleh karena itu, perlu dibangun mekanisme penanganan ABH, khususnya untuk memenuhi pendidikan mereka.
Menurut pengakuan salah seorang PK, ABH yang masih belajar di sekolah negeri seringkali tidak diterima kembali atau dikeluarkan oleh pihak sekolah. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan Dinas Pendidikan yang tidak bisa menerima anak ABH. Ia berharap agar LSM-LSM dapat mendorong Dinas Pendidikan agar menghapus kebijakan tadi, atau LSM menyediakan PKBM sebagai tempat belajar ABH selama proses peradilan. Dalam kaitan ini, seringkali praduga tak bersalah tidak diperhatikan.
Kalyanamandira (KM) sejauh ini bersama jejaring lain telah melakukan advokasi pendidikan, namun harus diakui belum secara khusus belum mempunyai rumusan mekanisme pendidikan bagi ABH. Tentang sekolah atau PKBM bagi ABH, KM sedang membangun jejaring dengan komunitas/LSM yang punya PKBM. Sejauh pengalaman KM, beberapa lembaga agak sulit menerima ABH. Ada beberapa di antaranya mau bekerjasama, namun kemudian mereka merasa kerepotan memfasilitasi ABH. KM sendiri seringkali kehilangan kontak dengan ABH yang telah bebas.
Kemudian batas maksimal penyusunan LITMAS adalah 30 hari. Selanjutnya berkas Litmas dilimpahkan ke kejaksaan, lalu ke pengadilan. Secara formal pendampingan anak dan penyusunan Litmas hanya berlangsung selama 30 hari – sejak awal penyidikkan hingga pengadilan - , tetapi lebih dari itu Bapas dapat memberikan saran terkait perkembangan baru ABH atas dasar prinsip “Segala yang terbaik bagi anak”. Setelah keluar vonis (pengadilan), peran PK tergantung keputusan pengadilan atau permohonan keluarga ABH.
Dalam perkembangan lain, KM dan jejaringnya telah sering melakukan advokasi pendidikan secara umum. Sayang terkait ABH, KM belum memiliki gambaran yang komplit, sehingga belum ada mekanisme layanannya. Oleh karena itu, diharapkan BAPAS dapat memberikan argumentasi dan gambaran tentang ABH ini. Sehingga dapat dirumuskan mekanisme layanan bagi ABH, khususnya di bidang pendidikan.
Tentang layanan pendidikan bagi ABH ini, BAPAS menilai bahwa belum ada layanan ”On – Off” di beberapa dinas terkait. Hal ini menyulitkan proses pendampingan dan pemberian layanan bagi ABH.
Ada harapan dari beberapa PK BAPAS, semoga ke depan KM dapat menjadi salah satu lembaga rujukan yang dapat memberikan layanan bagi ABH, khususnya di Biro pendidikan.
KM menyadari banyak orang/pihak yang peduli dengan ABH dan berkeinginan untuk memberikan kontribusi. Namun, sejauh ini karena keterbatasan informasi dan kesulitan untuk mengakses ABH, kepedulian/kontribusi itu agak kurang mendapat tempat.
ABH yang telah bebas seringkali tidak mempunyai kegiatan yang jelas, salah satunya ketidak jelasan pendidikannya. Masalah sering muncul apabila ABH divonis kembali kepada keluarga, dan ia tidak memiliki kegiatan positif (khususnya sekolah formal) yang jelas. Adapun, ABH yang diputus hakim untuk mengikuti pendidikan dan latihan kerja, seharusnya telah memiliki rujukan tempat bagi anak untuk belajar dan latihan. Namun, sejauh ini belum banyak lembaga yang bersedia menjadi tempat rujukan ini.
Sebuah masukan dari Kepala Bapas menyatakan bahwa, layanan pendidikan bagi ABH tidak hanya pendidikan formal saja. Seperti pengalamannya ketika bertugas di Malang, ABH disalurkan sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakatnya.
Di akhir diskusi, BAPAS dan KM sepakat untuk membangun mekanisme saluran informasi dua arah yang jelas, sehingga dapat dipetakan dan dirumuskan langkah-langkah strategis yang bisa diambil kedua pihak dalam menangani anak nakal dan ABH.

Rabu, 07 April 2010

Jangan Jatuhkan Pidana kepada Anak

Anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya tidak dijatuhi pidana seperti halnya orang dewasa, tetapi dengan tindakan yang bersifat pembinaan. Jika terpaksa dijatuhi pidana karena terlibat kasus berat, seharusnya anak diberi hukuman yang bersifat mendidik.
Demikian dikemukakan saksi ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Surastini, dalam sidang lanjutan uji materi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/4) di Jakarta.
Pada akhir Desember 2009, KPAI mengajukan uji materi kepada MK untuk menghapuskan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dinilai mengkriminalisasi anak. Pasal-pasal dalam UU itu dinilai memberikan legitimasi dan memudahkan menjatuhkan pidana pada anak, yakni pada Pasal 1 tentang definisi anak, Pasal 4 tentang usia pertanggungjawaban hukum, Pasal 5 tentang penyidikan, Pasal 22 dan 23 tentang pemidanaan, serta Pasal 31 tentang pemenjaraan.
Pengajuan uji materi ini dipicu meningkatnya kasus anak berhadapan dengan hukum, terutama ketika 10 anak berusia 10-12 tahun di Tangerang yang divonis bersalah karena berjudi di Bandara Soekarno-Hatta. Selain itu, juga ada kasus Raju di Sumatera Utara yang menganiaya temannya. Berdasarkan catatan KPAI, setiap tahunnya terdapat sekitar 6.000 kasus anak yang diproses hukum, 3.800 di antaranya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP), tahanan kantor polisi, bahkan, dicampur di LP bersama orang dewasa.
Korban lingkungan
Menambahkan keterangan Surastini, saksi ahli Fentiny Nugroho dari Ilmu Kesejahteraan FISIP-UI, mengingatkan, anak yang berhadapan dengan hukum justru korban dari lingkungan sekitarnya dan tidak dapat dipersalahkan. Perilaku anak tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, penanganan anak itu pun tidak bisa dengan pidana.
”Ada pengaruh keluarga atau lingkungan dalam perilaku anak. Ada konteks sosialnya sehingga pendekatannya seharusnya dengan keadilan restoratif dengan mengembalikan anak ke orangtua, diwajibkan melakukan pekerjaan sosial, atau dipaksa masuk ke institusi pendidikan,” ujar Fentiny.
Dalam sesi dengar kesaksian para saksi ahli kasus kriminal anak itu, anggota majelis hakim, M Akil Mochtar, menyinggung batasan anak nakal atau anak yang dikategorikan nakal. Sementara anggota majelis hakim, Muhammad Alim, menyinggung efektivitas tindakan pidana bagi anak. ”Apakah pidana untuk anak itu perlu ada karena justru akan mengganggu tumbuh kembang anak,” kata Alim.
Seusai sidang, kuasa hukum dari KPAI, Muhammad Joni, menekankan perlunya memprioritaskan penerapan keadilan restoratif dengan tindakan dan bukan dengan pidana terhadap anak. (LUK)


Sumber : 
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/08/03522123/
http://www.qbheadlines.com/img/uploaded/thumbs/8723penjara-lead200.jpg

Kamis, 18 Februari 2010

Crowded

(Catatan pendampingan anak di Rumah Tahanan Kebonwaru, 11 Februari 2010)
Dalam beberapa tulisan saya terdahulu, saya pernah gambarkan bagaimana kecil dan sempitnya Ruang Pendidikan yang biasa kami gunakan untuk berkegiatan bersama anak-anak di Rumah Tahanan Kebonwaru. Ukurannya tidak lebih besar dari setengahnya lpangan futsal. Padahal seyogyanya ruangan ini dapat member ruang yang cukup bagi kami dan anak-anak yang jumlah sempat melebihi angka 100 orang. Selain itu, ruangan ini pun menempel dan hanya dibatasi deretan lemari dengan Ruang Seksi Bantuan Hukum (Bankum). Sehingga, seringkali kami agak kurang leluasa dalam berkegiatan.
Masalah pun tak hanya berhenti pada keterbatasan ruang dalam proses pendampingan, kami pun masih berkutat pada masalah minimnya relawan yang dapat bersama kami melakukan pendampingan. Sejauh ini hanya ada 5 – 6 orang saja yang dapat secara rutin melakukan pendampingan. Padahal, kami harus memandu anak sekira 60 – 80 orang. Beberapa waktu yang lalu, anak-anak sempat berjumlah di atas 100 orang, dan semuanya masuk ruangan. Ruangan pun penuh sesak dan kami merasa tidak optimal dalam berkegiatan.
Kejadian yang hampir serupa terjadi sekarang. Namun, kali ini justeru pendamping/relawan yang banyak. Sehingga, Ruang Pendidikan yang sempit ini harus menampung hampir dua kali lipat jumlah orang dari biasanya.
Dua hari yang lalu, Kang Dan sempat mengabari saya tentang kedatangan para mahasiswa dari Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) Universitas Padjadjaran (Unpad). Saat itu saya berpikir jumlah mereka berkisar 5 – 6 orang, seperti beberapa orang mahasiswa yang pernah melakukan hal yang hampir serupa di Rutan. Namun, ternyata jumlah mereka mencapai 50 orang banyaknya. Bayangkan bagaimana sesaknya, ketika semua mahasiswa itu bersama kami dan anak-anak memasuki Ruang Pendidikan.
Di awal kegiatan, saya berucap salam sekaligus memperkenalkan diri dan menjelaskan proses pendampingan yang selama ini Yayasan Kalyanamandira telah lakukan. Kemudian saya menjelaskan proses pendampingan yang akan kami lakukan bersama anak-anak pada hari ini.
Semula kami akan melakukan aktivitas yang kami sebut dengan “Musik Tubuh”. Namun, dengan beberapa pertimbangan kegiatan tersebut kami batalkan. Dan kami hanya melakukan sebuah game sederhana, lalu anak-anak dibagi ke dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 6 – 7 orang.
Dalam kelompok-kelompok ini, anak-anak dipandu para pendamping dan para mahasiswa FIK Unpad mencoba merefleksikan apa yang bisa mereka lakukan dengan anggota tubuh mereka. Sebenarnya, proses ini agak berbeda dari skenario yang telah kami siapkan sebelumnya. Sehingga, harus kami katakan bahwa prosesnya kurang bisa mencapai target yang diharapkan. Namun, kami harus lebih bersyukur, bahwa dalam beberapa waktu terakhir ini banyak pihak dari luar Rutan yang sengaja datang mengunjungi anak-anak. Hal ini dapat mendorong nilai positif pada diri anak, setidaknya mereka dapat menghilangkan perasaan bahwa diri mereka ‘terbuang’ dari masyaraat, toh masih ada sekelompok kecil masyarakat yang peduli kepada mereka.
Kegiatan hari ini pun ditutup dengan relaksasi dan perenungan yang dihantarkan oleh Bram.
Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, dengan kondisi ruangan yang sangat sempit dan terlalu penuh sesak telah membuat proses pendampingan kurang berjalan sesuai harapan. Namun, saya sudah sangat senang melihat binar-binar berseri wajah anak-anak ketika mereka bertemu kembali. Semoga tetap berseri ketika mereka kembali kepada keluarga mereka dan masyarakat.

izoel.11022010

Kamis, 11 Februari 2010

THE PROFESSION

Akhirnya, setelah dua minggu kami tidak mendapatkan waktu yang cukup lapang dalam mendampingi anak-anak di Rumah Tahanan Kebonwaru, Kamis 4 Februari 2010 ini kami kembali dapat mendampingi anak-anak sesuai dengan rencana sebelumnya. Dalam dua Kamis sebelumnya, program kami agak terganggu dengan situasi di dalam Rutan, seperti adanya razia dan pergantian jabatan.
Hari ini, dibantu lagi beberapa teman dari UNISBA yang dalam beberapa bulan yang turut juga dalam pendampingan. Mereka adalah, Yulia, Dewi dan Mayene. Ketiganya bersama Anita dan saya memandu anak-anak untuk mengeksplorasi cita-cita mereka melalui sebuah game kolosal yang diberi nama “The Profession”.
Dalam kegiatan ini, Yulia menjadi pemandu utama keseluruhan proses. Ia membuka kegiatan dengan salam pembuka dan sebuah game yang dinamai “Bola Granat”, dimana anak-anak saling melempar dan menangkap bola dengan tidak diperkenankan bola itu terjatuh atau lepas. Bila salah seorang anak tidak dapat menangkap bola hingga terjatuh, maka ia akan mendapat hukuman.
Selanjutnya, anak-anak dikelompokkan dengan nama-nama grup band yang terkenal. Caranya, setiap anak memegang satu potongan gambar dari beberapa puzzle foto-foto grup band. Anak-anak berkumpul dan berkelompok sesuai dengan gambar-gambar grup band yang mereka dapatkan.
Setelah anak-anak berkelompok, mereka diminta menempelkan beberapa gambar yang menunjukkan beberapa profesi/pekerjaan di selembar karton. Kemudian, anak-anak dipersilahkan untuk mewarnai gambar-gambar profesi tersebut.
Di setiap karton yang dipegang oleh setiap kelompok, terdapat 9 profesi dengan beberapa perangkat kerja yang berbeda-beda. Nah pada tahapan ini, anak-anak dalam kelompoknya masing-masing dipandu untuk menempelkan gambar-gambar alat/perangkat yang sesuai dengan beberapa gambar profesi yang telah ditempelkan. Anak-anak diminta menempelkan gambar-gambar perangkat tersebut minimal 5 gambar untuk setiap profesi.
Dalam tahapan game selanjutnya, setiap kelompok diminta untuk menunjuk 2 orang wakil kelompok untuk mengambil beberapa pernyataan yang ada di tangan Yulia. Pernyataan-pernyataan tersebut berisi sikap atau karakter yang dapat mendukung atau diperlukan profesi-profesi yang telah ditempelkan.
Pada tahapan akhir game “The Profession”, anak-anak di setiap kelompok dipandu oleh para pendamping saling memberikan pandangan akhir atau refleksi dari keseluruhan proses permainan yang telah dilakukan.
Keseluruhan proses pendampingan hari ini, sebenarnya diarahkan untuk mengeksplorasi sebanyak-banyaknya cita-cita dari setiap anak. Kemudian, anak-anak pun dipandu untuk memahami segala hal yang dibutuhkan dalam pencapaian cita-cita masing-masing anak, baik yang bersifat materil maupun imateril. Sehingga, anak-anak didorong untuk senantiasa berpikir positif dan menyiapkan segala hal agar cita-cita mereka dapat tercapai. Wallahu a’lam….


Izoel.04022010

Selasa, 12 Januari 2010

Pemerintah Siapkan SOP Hukuman Anak Yang Restoratif



Pemerintah menyiapkan prosedur operasional standar untuk penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum guna mendukung penerapan model penghukuman yang bersifat restoratif.

"Akan segera disusun SOP-nya, kemudian disosialisasikan," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari usai memimpin rapat koordinasi penanganan anak berhadapan dengan hukum di Jakarta, Senin (11/1).

Asisten Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bidang Perlindungan Anak Sutarti Sudewo menjelaskan, penyusunan prosedur standar itu merupakan tindak lanjut dari penerbitan surat keputusan bersama tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.

Surat keputusan bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Sosial serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu ditetapkan pada 22 Desember 2009.

"Tiap-tiap lembaga saat ini mungkin sudah punya prosedur penanganan, tapi masing-masing berdiri sendiri, sehingga kadang tidak nyambung satu sama lain. Karena itu dibikin SOP terpadu bersama-sama," kata Sutarti.

Standar prosedur terpadu itu, ia menjelaskan, selanjutnya akan menjadi panduan bersama seluruh instansi dalam menangani anak-anak yang berhadapan dengan hukum dengan model penghukuman restoratif.

Pemerintah, kata dia, juga akan menyelenggarakan pelatihan bagi aparat penegak hukum dan petugas dari instansi terkait yang bertugas melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang bermasalah dengan hukum.

"Intinya tahun ini lembaga terkait disiapkan untuk menjalankan fungsinya, Departemen Sosial misalnya, harus menyiapkan fasilitas rehabilitasi dan pendamping. Tapi sementara persiapan, hal-hal yang sudah bisa diterapkan dilaksanakan," katanya.

Ia menambahkan selama ini model penghukuman yang bersifat restoratif sudah diterapkan pada beberapa kasus hukum yang melibatkan anak. "Beberapa kasus di Pengadilan Negeri Jakarta Barat sudah diselesaikan dengan model itu," katanya.

Pemerintah berusaha menerapkan model penghukuman yang bersifat restotarif (restorative justice) untuk menangani anak-anak yang berhadapan dengan hukum, khususnya untuk kasus-kasus hukum ringan. "Supaya untuk kasus-kasus hukum ringan, anak-anak tidak harus dikenai hukuman penjara lagi," kata Sutarti.

Model penyelesaian perkara pidana anak tertentu dengan melibatkan pelaku, korban, orang tua, penegak hukum dan tokoh masyarakat itu ditujukan untuk menyelesaikan masalah hukum anak dengan mengindahkan pemenuhan hak-hak anak.

Pendekatan itu diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan korban dan memberi mereka kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan rasa hormat dari masyarakat.

Jumlah anak yang harus berhadapan dengan hukum cukup banyak, menurut data sementara Markas Besar Kepolisian RI, selama tahun 2008 ada 811 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena beberapa masalah diantaranya penganiayaan, pencurian, pemerasan, pencabulan, perkosaan, dan pelecehan seksual.

Sementara menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah anak yang harus menjalani hukuman di rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan untuk anak meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2004, penghuni rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan anak sebanyak 3.653 anak dan meningkat menjadi 4.301 anak pada 2007.


sumber :
http://www.krjogja.com/krjogja/news/detail/15001/Pemerintah.Siapkan.SOP.Hukuman.Anak.Yang.Restoratif.html

Patrialis: Anak-Anak Terlibat Hukum Tidak Akan Dipenjara



5 Departemen dan Kepolisian membuat gebrakan baru. Bagi anak-anak yang terlibat kasus hukum kini tidak akan dijebloskan ke penjara. Anak-anak itu akan diarahkan ke panti sosial.

"Nantinya anak-anak yang melakukan atau terlibat hukum tidak masuk penjara. Tetapi kita arahkan ke panti sosial. Karena anak masuk penjara begitu keluar malah tidak bagus, melainkan malah menjadi tidak baik," kata Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar.

Hal ini disampaikan dia usai acara penandatanganan MoU Kesepakatan 6 Departemen/Polri tentang perlindungan dan rehabilitasi sosial anak yang berhadapan dengan hukum di Departemen Sosial, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Selasa (15/12/2009).

Dikatakan dia, Depkum HAM bersama Departemen Sosial, Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan Kepolisian akan membuat panti sosial bagi anak yang melakukan tindak pidana.

"Tetapi untuk anak yang melakukan tindak pidana kategori berat akan tetap dididik di lembaga pemasyarakatan," ujar dia.

Menurut dia, jumlah anak yang terlibat hukum ada sekitar 5.000 anak. "Dan nantinya, kita akan sediakan sarana pendidikan bagi anak-anak di Lapas," kata politisi PAN ini.

Selain itu, advokasi buat anak penting. "Nanti jika anak terlibat masalah hukum harus didampingi Balai Pemasyarakatan Anak dan dari LBH," kata Patrialis.

Acara ini juga dihadiri Mensos Salim Segaf Al Jufri, Menag Suryadharma Ali, perwakilan dari Depkes, Depdiknas dan Kepolisian.


sumber :
http://www.detiknews.com/read/2009/12/15/141430/1260474/10/patrialis-anak-anak-terlibat-hukum-tidak-akan-dipenjara