Minggu, 18 Januari 2009

TIDAK SEKEDAR MEMBERI

Genap sebulan kami tidak melakukan pendampingan anakanak di Rumah Tahanan Kelas 1 Kebon Waru Bandung. Kami masih terus mematangkan konsep dan perangkat pendampingan yang akan kami laksanakan ke depan. Kami melakukan pertemuan secara maraton. Pertemuan terakhir kami adakan pada 14 Januari 2009 di Taman Sari bersama teman-teman pendamping dari UNISBA.

Aku menyadari ada kerinduan yang besar dari teman-teman untuk kembali mendampingi anakanak. Anita punbercerita tentang kerinduan yang sama dari anakanak di Rutan, setelah ia berkunjung ke Rutan sehari sebelumnya. Di samping itu, mulai ada kejenuhan dengan rapat atau diskusi yang maraton kami lakukan tanpa terjun langsung mendampingi anak. Namun, kami semua sadar harus terus membenahi pola pendampingan yang telah kami lakukan.
Sebenarnya, sebelum pertemuan terakhir, saya sempat merasa khawatir antusiasme teman-teman untuk menghadiri pertemuan akan berkurang. Tetapi, kekhawatiran itu lambat laun memudar ketika hampir semua teman hadir dalam pertemuan, kecuali Dewi yang sedang ujian.

Obrolan kami pun bertambah ramai ketika beberapa teman Psikologi UNISBA ikut bergabung. Kekhawatiran ini bukan hanya dirasakan olehku, Kang Dan Satriana pun menangkap perasaan yang sama. Hingga sebelum pertemuan terakhir itu, beliau berpesan kepadaku untuk bisa memotivasi temanteman lain. Beliau memberi beberapa perumpamaan. Seandainya rumah kita berada di pinggir jalan raya dan setiap hari terjadi kecelakaan, apa yang akan kita lakukan? Atau, bila kita tinggal di pinggir sungai dan sering ditemukan bayi yang dibuang orang tuanya, apa yang akan kita lakukan? Atau, haruskah kita memberi uang kepada pengamen anak-anak di jalanan? Segala hal itu tidak cukup diselesaikan dengan caracara instan. Tak cukup dengan membawa korban kecelakaan ke rumah sakit. Tak cukup dengan mengentaskan bayi dari sungai. Tak cukup dengan memberi uang recehan kepada pengamen anak. Kita harus mengetahui latar belakang permasalahannya. Dengan kata lain, kita tak bisa hanya mencegat masalah di hilir saja, kita harus menyusurinya sampai hulu.

Cerita-cerita Kang Dan tadi menjadi pembuka dari obrolan kami di sebuah kafe di sekitar Tamansari. Meski aku tak cukup fasih dan mampu memotivasi temanteman, dengan dukungan dari Ilah semangat teman-teman pun terangkat lagi. Obrolan pun mulai mencair. Tak banyak yang kami bicarakan, hanya berkutat pada kontrak komitmen teman-teman sebagai relawan untuk beberapa job. Ternyata niat baik kita untuk membantu sesama tidak bisa diberikan dengan sekedarnya, harus ada mekanisme dan strateginya agar tepat guna. Sekali lagi, tak cukup kita menyelesaikan masalah di hilir, kita harus menyusuri dan menyelesaikan masalah itu dari hulunya. Acapkali bantuan yang kurang tepat malah berujung dengan kebingungan atau ketergantungan. Tentu saja kita tak mau niat baik kita malah membawa akibat buruk nantinya.

Pendampingan bukan sekedar memberi apa-apa yang dibutuhkan anakanak, tapi juga mempersiapkan langkahlangkah strategis untuk mengantisipasi segala permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum. Adakalanya sumbangan kecil yang diberikan dengan tepat lebih bermanfaat daripada sumbangan besar yang malah berakibat ketergantungan orang yang dibantu. Wallahu a’lam..

CATATAN PENDAMPINGAN AKHIR TAHUN 2008

Sudah tiga minggu ini kami tidak datang mendampingi anak‐anak di Rutan Kebon Waru. Pada dua minggu yang pertama karena libur bertepatan dengan Hari Natal dan Tahun Baru
2009, seminggu selanjutnya, kami maraton mengadakan pertemuan untuk memperbincangkan pola pendampingan anak di 2009 ini dan hal‐hal lain yang bisa mendukung aktivitas pendampingan.

Pertemuan pertama dilaksanakan pada 30 Desember 2008, pertemuan kedua pada 6 Januari 2009 dan pertemuan ketiga pada 8 Januari 2009. Pertemuan‐pertemuan ini dilakukan pasca refleksi bersama seluruh teman yang beraktivitas di Kalyanamandira pada acara syukuran Kalyanamandira, 25 Desember 2008 lalu.

Dari refleksi itu tercetus bahwa Kalyanamandira bersama jaringan LSM lain merasa harus melakukan hal‐hal yang lebih dari sekedar pendampingan. Salah satunya mengoptimalkan jaringan yang sudah ada. Hal ini untuk menyokong seluruh program penanganan anak nakal dan anak berkonflik dengan hukum (AKH).

Pertemuan pertama 30 Desember 2008 hanya dihadiri saya, Kang Dan Satriana dan Zamzam. Kami memulai pembicaraan tentang polemik panggilan ‘anak nakal’ bagi anak‐anak yang rentan berkonflik dengan hukum. Panggilan ‘anak nakal’ terasa tidak layak dalam perspektif positif terhadap anak dalam kondisi bagaimanapun. Tak hanya anak‐anak yang berkonflik dengan hukum, anak‐anak nakal pun seringkali dianggap bibit masalah dalam masyarakat. Ingat, bagaimana polisi, pemerintah dan masyarakat merasa kebakaran jenggot ketika geng‐geng motor yang sebagian besar anggotanya adalah anak‐anak remaja, begitu merebak di beberapa kota.

Di awal, kami merumuskan ‘Goal’ dari keseluruhan program adalah anak nakal dan anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) mempunyai kesempatan untuk bertumbuh‐kembang dan berpartisipasi. Selanjutnya, kami memilah ‘Goal’ tadi pada tiga kondisi anak yang bermasalah dengan hukum, yaitu,
(1) Program penanganan terhadap anak nakal dan anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) sebelum
proses peradilan;
(2) Program penanganan terhadap anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH)
selama proses peradilan (penyidikan, penyidangan dan penahanan);
(3) Program penanganan anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) setelah menjalani masa hukuman.

Bagi anak‐anak yang rentan berkonflik dengan hukum atau sebagian besar masyarakat kita sering menyebutnya dengan ‘anak nakal’ diharapkan adanya aturan atau mekanisme alternatif di luar proses hukum positif yang sesuai dengan tuntutan Konvensi Hak Anak (KHA) serta terbentuknya komunitas dan jaringan yang secara konsisten mengembangkan konsep Restorative Justice (keadilan yang memulihkan) bagi anak. Aturan dan mekanisme alternatif dalam penanganan anak‐anak yang rentan berkonflik dengan hukum di antaranya diwujudkan dengan tersedianya ruang ekspresi bagi semua anak yang terbuka selebar‐lebarnya serta adanya pemahaman yang sama tentang perlindungan hak anak termasuk anak nakal di dalamnya.

Sedangkan, terbentuknya komunitas dan jaringan untuk menyokong wacana
restorative justice diarahkan sampai adanya perangkat dan Standar Operasional (SOP) penanganan anak‐anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan Konvensi Hak Anak (KHA).
Sedangkan bagi anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) ada 3 harapan besar, yaitu;
(a) AKH tetap dilindungi hak‐haknya meskipun sedang menjalani proses hukum;
(b) AKH tetap mendapatkan pembelajaran tentang nilai‐nilai demi tetap berjalannya proses tumbuh‐kembang dan partisipasi mereka;
(c) AKH tetap diberi kesempatan untuk berhubungan dengan dunia luar (orang tua, saudara,
teman dan lain‐lain).

Selama menjalani proses hukum, anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) harus diperlakukan selayaknya anak‐anak lain; penahanannya terpisah dengan tahanan dewasa, tetap mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, psikologi dan bisa berkomunikasi dengan dunia luar; mendapatkan pendampingan dalam merencanakan kehidupan setelah selesai masa tahanan; dan diberi ruang atau media ekspresi.

Setelah menjalani masa tahanan, anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) seringkali sulit diterima dan diperlakukan layaknya anak‐anak yang lain. Oleh karena itu, kami merasa perlu membangun jaringan untuk mengarus utamakan penegakan hak yang sama bagi anak‐anak ‘mantan AKH’ layaknya anak‐anak yang lain. Di samping itu, kami berencana untuk membangun sentra informasi dan layanan bagi anak‐ anak, khususnya anak‐anak yang baru keluar dari tahanan. Kami sangat sadar bahwa cita‐cita kami tadi tidak bisa kami wujudkan sendiri. Sehingga pembangunan jaringan dan pengarus utamaan wacana penanganan anak nakal dan AKH ini adalah tahapan yang harus segera dijalankan, di samping pembenahan pendampingan yang selama ini telah berjalan.


Wallahu a’lam.