Minggu, 01 Februari 2009

MEMULAI CERITA BARU

(Catatan pendampingan anak Rutan Kebon Waru, 29 Januari 2009)

Mungkin benar kata orang, memulai sesuatu yang baru itu selalu terasa berat. Itu juga yang aku rasakan ketika mulai kembali mendampingi anak-anak di Rutan Kebon Waru, setelah sebulan lebih aku tidak mendampingi mereka. Hari ini, aku merasa berat sekali untuk menyiapkan diri untuk pergi mendampingi anak-anak. Sampai jarum jam menunjuk angka 09.30 aku belum beranjak dari depan monitor komputer. Barulah aku mandi ketika Zamzam keluar dari kamar mandi sekira pukul 09.35.

Jam 09.50 aku berangkat ke Rutan Kebon Waru dibonceng Zamzam yang sudah hampir 3 minggu ini mempunyai motor baru. Sesampainya di depan Rutan, belum satu orang pun pendamping yang datang. Sementara Zamzam kembali lagi ke Kliningan untuk menjemput Oka yang tadi masih nampak terlelap dalam mimpi. Aku coba telepon beberapa orang pendamping. Hanya Mayene yang menerima teleponku, tapi ia menyatakan tidak bisa datang karena harus menemani kakaknya yang baru saja melahirkan. Jawaban ketidak hadiran beberapa pendamping baru aku dapatkan dari Wilda yang datang bersama seorang temannya – Asti, mahasiswi Teknik Lingkungan ITB – beberapa menit kemudian. Sebelumnya, Ira datang dengan senyum khasnya. Baru setelah itu, Zamzam dan Oka melengkapi tim kami. Sebenarnya, kami masih menunggu Dewi yang mengabari akan datang telat. Tapi, jarum jam sudah mendekati pukul 10.00, kami harus segera masuk.

Tepat pukul 10.00 kami memasuki gerbang Rutan. Setelah melewati beberapa pemeriksaan, akhirnya kami sampai di Ruang Pendidikan Rutan Kelas 1 Kebon Waru Bandung. Di sana, anak-anak telah menunggu kami. Aku mulai menikmati aura kedekatan bersama mereka. Sayang, kami tidak bisa mengabadikan kegiatan pendampingan hari ini, kamera Wilda yang dalam beberapa minggu ini sering digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan, tidak diperbolehkan untuk kami bawa masuk.

Zamzam mulai membuka kegiatan dengan salam pembuka dan sebuah simulasi sederhana. Selanjutnya, anak-anak berkumpul dalam kelompok Kriya, Sastra dan Musik. Aku dan Ira mendampingi anak-anak Kelompok Kriya. Zamzam dan Oka memandu anak-anak Kelompok Musik. Wilda dan Asti menemani anak-anak Kelompok Sastra. Sedangkan, Dewi yang datang terlambat, menjadi sweeper dan mengumpulkan surat-surat anak yang akan dikirim ke keluarga mereka.

Di Kelompok Kriya, Ira mulai menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan hari ini. Anak-anak Kriya akan membuat gambar citra diri. Anak-anak diminta untuk menggambar diri mereka dan menjelaskan fungsi dari seluruh anggota badan satu-persatu. Aku bagikan kertas, pensil dan pensil warna, anak-anak pun mulai menggambar.

Di Kelompok Sastra yang sekarang sekaligus meng-handle anak-anak baru, para pendamping meminta anak-anak untuk menuliskan cerita atau kenangan terindah mereka. Kegiatan ini memang sering dilakukan di masa awal anak masuk Rutan agar anak-anak bisa diarahkan pada hal-hal yang positif.

Adapun di Kelompok Musik yang telah banyak ditinggalkan anak-anak lama, kembali melakukan perencanaan kegiatan. Seperti biasanya, Kelompok Musik selalu lebih gaduh dibandingkan dua kelompok lainnya. Dengan kondisi ruangan yang sangat terbatas, acapkali kegaduhan ini mengganggu anak-anak di kelompok lain. Andai saja tiap kelompok anak ini diberi ruang dan fasilitas masing-masing..

Meski sudah hampir setahun aku ikut mendampingi anak-anak di Rutan Kebon Waru, tetap saja aku harus kembali beradaptasi dengan kondisi hari ini. Boleh jadi karena aku seorang pelupa dan kurang lancar dalam berkomunikasi, sehingga seringkali aku bengong dan terbata-bata dalam pergaulan. Hari ini, aku agak kebingungan untuk memulai dari mana dalam mendampingi. Aku mulai merasa ’mencair’ ketika anak-anak mulai menggambar dan aku coba mengobrol dengan beberapa orang di antara mereka.

Sebelumnya, aku meminta seorang anak kelompok Kriya bernama To untuk mencatat teman-temannya yang hadir. Aku pun menanyakan keadaan To. Ia beruntung karena sering dibesuk oleh keluarganya, termasuk pada hari ini. Sehingga To tidak bisa mengikuti kegiatan secara penuh karena ia mendapat kunjungan dari keluarganya. Sayang, dibalik keberuntungannya ini, menurut cerita yang didapat oleh Dewi temanku, To seringkali menjadi korban pelecehan seksual beberapa tahanan lain. Sebuah cerita yang cukup membuat dadaku sesak.

Aku pun sedikit bercakap-cakap dengan Ju salah seorang anak Kriya. Sebelum masuk tahanan, Ju bekerja di sebuah toko mas milik kerabatnya di kawasan Kosambi Bandung. Ketika pulang liburan jelang Lebaran 1429 H, kakaknya mengajaknya mengambil kayu Rasamala di hutan lindung dekat kampungnya di daerah Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat. Tak banyak yang Ju dan saudaranya tebang, hanya satu batang pohon saja. Tapi sayang, mereka tertangkap basah oleh para polisi hutan. Akhirnya, Ju harus ikut meringkuk di tahanan bersama kakaknya. Masa tahanan Ju tinggal 2 bulan lagi. Dan ia berencana kembali bekerja di toko mas kerabatnya kembali. Dalam hati, aku merasa lega kalau anak-anak Rutan yang lain mempunyai rencana hidup selepas bebas seperti Ju. Namun, lebih banyak anak yang tidak jelas arah kehidupannya. Banyak di antara mereka tidak mempunyai keluarga sehingga harus kembali ke jalan, bahkan melakukan kejahatan.

Kenyataan tadi ternyata dialami oleh De, anak yang baru saja masuk mengikuti kegiatan kami. Sebenarnya, De adalah anak yang 2-3 bulan lalu pernah masuk Rutan dan telah bebas. Sayang, ia kembali mencuri aki mobil dan tertangkap. Aku sempat merasa sangat sedih ketika dahulu De bersama dua orang temannya pertama kali masuk Rutan. Tiga orang anak asal Nagreg, Kabupaten Bandung yang bertampang lugu ini, awalnya bekerja mengangkut tanah liat untuk bahan bata merah. Namun, karena mereka hanya dibayar Rp. 7500,- saja sehari dengan beban kerja yang sangat berat, mereka berganti profesi. Sayang, pilihan profesi mereka yang baru itu adalah mencuri besi. Alhasil ketiganya ditangkap dan mesti mendekam di tahanan selama hampir empat bulan. Dan sekarang, De untuk kedua kalinya mesti masuk tahanan dengan kasus yang sama. Sebuah kenyataan yang semakin membuat hatiku miris. Ternyata negara hanya bisa menghukum anak-anak miskin dan tidak bisa menjamin kehidupan mereka.

Tiga cerita anak di atas agaknya cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa masih banyak yang harus masyarakat lakukan bagi anak-anak, termasuk anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Tahun 2009 ini sepertinya tak akan memberi banyak cerita baru yang dapat memberi kita harapan. Umbar janji para politisi dari mulai pamflet hingga iklan di televisi dengan anggaran milyaran rupiah, nyaris tidak pernah menyinggung bagaimana anak-anak kita harus terjamin segala haknya. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak-anak kita juga yang memiliki hak yang sama seperti anak-anak yang lain. Alih-alih mendapat perhatian dan penanganan yang baik, ternyata anak-anak hanya menjadi komoditas politik. Dan Rutan pun menjadi salah satu ajang pertarungan para politisi meski memang terkesan diam-diam. Wallahu a’lam.