Minggu, 20 Juni 2010

Belajar Dalam Penjara (Bagian 1)


Pembelajaran atau pendampingan dalam penjara bisa dikategorikan sebagai Diversity Learning (keragaman pembelajaran). Boleh jadi karena kondisi yang kita dapati dalam penjara sangat berbeda baik para subjek pembelajarnya, ruang belajarnya dan juga metode pembelajarannya.
Pendampingan seperti inilah yang selama ± 5 tahun terakhir ini dilakukan oleh penulis bersama beberapa relawan dari Yayasan Kalyanamandira terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) di salah satu penjara di Kota Bandung. Dikarenakan subjek pembelajar dan kondisi yang dihadapi sangat berbeda dengan di luar penjara, maka pola pendekatan, metode dan segala hal yang terkait dengan pendampingan disesuaikan dengan kondisi anak di dalam penjara.
Perlu diketahui, istilah Anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) atau anak yang berhadapan dengan hukum merupakan ’penyebutan halus’ dari istilah Anak Nakal seperti yang telah diatur dalam UU No.3 1997 Tentang Peradilan Anak, yang menyebutkan bahwa Anak Nakal adalah : a) Anak yang melakukan tindak pidana; atau   b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Akhirnya, nasib anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini harus merasakan gelap dan pengapnya penjara seperti apa pun kasusnya. Hal ini dikarenakan ketiadaan proses penanganan terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) selain hukum positif. Tak ada pranata sosial yang dapat melindungi anak-anak yang dianggap salah dalam pandangan hukum ini.
Bagaimanakah kondisi anak-anak ini bila masuk penjara?
Penjara dengan segala macam permasalahan dan kondisinya, ternyata telah menjadi entitas sosial tersendiri di masyarakat. Penjara sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang dinilai telah melakukan tindak kejahatan di tengah masyarakat, secara laten telah menerapkan beberapa nilai tersendiri. Layaknya hukum rimba, di penjara orang-orang yang mempunyai kekuatan akan menguasai orang-orang yang lemah. Dan biasanya, semakin berat tingkat kejahatan seseorang maka ia akan semakin dihargai.
Tahanan anak sebagai salah satu kelompok yang hidup dalam belenggu tembok-tembok tinggi penjara, tak luput dari kondisi seperti di atas. Tahanan anak pun seringkali diperlakukan sama dalam penjara layaknya tahanan dewasa. Terlebih lagi ketika tahanan anak ini bersatu dengan para tahanan dewasa.
Ketika mereka harus bersatu dan berinteraksi dengan para tahanan dewasa, tahanan anak seringkali menjadi korban eksploitasi para tahanan dewasa. Meski sel tahanan anak terpisah dari sel tahanan dewasa, tetapi hal itu tidak dapat mencegah beberapa bentuk eksploitasi terhadap tahanan anak. Dari eksplotasi yang bersipat ekonomi, eksploitasi bersipat fisik, hingga eksploitasi yang bersipat psikis. Kadangkala terjadi pula eksploitasi secara seksual. Namun, eksploitasi dalam kategori terakhir ini intensitasnya sangat kecil dan agak sulit untuk diungkap.
Meski demikian, mengungkapkan eksploitasi anak di dalam penjara bak mencari jarum dalam tumpukan jerami, kita akan mengalami banyak kesulitan. Di samping sangat sulit membuktikannya secara langsung, tahanan anak pun seringkali tutup mulut tentang hal ini.
Interaksi yang sangat terbuka antara tahanan anak dengan tahanan dewasa seringkali membawa efek negatif bagi tahanan anak. Salah satunya adalah berpotensi terjadinya “siklus residivis”. Siklus residivis adalah suatu perputaran dimana anak-anak berpotensi untuk keluar-masuk penjara. Kondisi ini sangat mungkin terjadi ketika tahanan anak banyak berinteraksi dan banyak belajar dari tahanan-tahanan dewasa, termasuk tentang belajar beberapa modus kejahatan. Beberapa efek lain pun terjadi di dalam tahanan. Misalnya, perkelahian antar tahanan anak atau pemalakan yang dilakukan oleh beberapa tahanan yang menjadi kaki tangan tahanan dewasa, terhadap tahanan-tahanan anak yang lain. Kondisi terburuk lain pun terjadi meski dengan intensitas yang sangat kecil dan sulit sekali dideteksi, yaitu, pasokan narkoba dari beberapa tahanan dewasa bagi beberapa tahanan anak.
Lalu bagaimana pendidikan bagi anak-anak dalam penjara ini dilakukan?
Tentang hal ini, penulis mempunyai suatu pengalaman tentang pendampingan anak dalam penjara. Suatu ketika, salah seorang teman sesama pendamping anak konflik hukum (AKH) menyampaikan selembar surat yang ditulis oleh salah seorang anak. Anak itu mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada kami yang telah mendampinginya dan kawan-kawan senasibnya di rutan. Ia merasa pendampingan kami telah dapat memberi motivasi kepada mereka. Ia mengaku selama ditahan, ia telah banyak kehilangan motivasi dan harapan dalam hidup. Ia merasa diasingkan dari kehidupannya sehari-hari.
Itulah pengakuan dari salah seorang anak di penjara yang selama ini kami dampingi. Ia dan teman-teman senasibnya seringkali kehilangan motivasi dan semangat hidup. Mereka pun merasa kehilangan harapan dan tak bisa lagi mengejar cita-cita mereka. Tak jarang mereka merasa dijauhkan atau diasingkan dari keluarga, teman-teman dan lingkungannya, karena sangat minimnya interaksi mereka dengan dunia luar.
Kenyataan ini berpengaruh pada kondisi mereka selama berada di tahanan, termasuk ketika anak-anak ini mengikuti kegiatan kami. Dalam setiap kegiatan kami, selalu saja ada anak-anak yang murung dan kurang antusias mengikuti kegiatan. Ada juga anak-anak yang nampak kehilangan orientasi.
Dari sisi psikologis, nampak gejala-gejala agresivitas yang sering meluap-meluap pada diri anak. Agresivitas pada diri anak ini diwujudkan dalam bentuk kata-kata kasar, menyindir atau mengejek. Ada juga yang berupa perilaku yang tidak pada tempatnya hingga tindakan kasar seperti mendorong, memukul atau menendang.
Anak-anak sering mengekspresikan perasaan-perasaan mereka dalam berbagai bentuk, ada lewat tulisan, gambar, dan lain-lain. Sebagian lainnya seringkali melekatkan identitas mereka dengan kehidupan jalanan, dunia hitam atau kejahatan. Pengidentikan seperti ini nampak dari simbol-simbol yang mereka tunjukkan pada gambar yang mereka buat di media-media yang kami sediakan atau pada kaos-kaos yang mereka pakai.
Sebagian besar anak memiliki tato di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian dari mereka ada yang telah memiliki tato sejak sebelum mereka ditahan, dan sebagian lain baru membuat tato selama berada di penjara. Sebagian anak membuat alat-alat pembuat tato sendiri selama berada di penjara dengan beberapa benda yang mereka temukan, misalnya, dengan batere bekas dan beberapa benda logam. Sebagai tintanya, mereka seringkali menggunakan tinta pulpen atau spidol.
Tak hanya itu, dalam beberapa kesempatan pendampingan, kami menemukan beberapa anak yang nampak mabuk. Ternyata, dari pengakuan dan kesaksian sebagian anak, beberapa orang dari mereka kadang-kadang bermabuk-mabukan baik dengan minuman, ganja atau obat-obatan. Karena beberapa keterbatasan, sebagian anak acapkali mabuk dengan mencampur beberapa obat yang menjadi ‘resep rutin’ Klinik Rutan. Disebut ‘resep rutin’ karena seringkali tahanan yang sakit dan diobati di klinik itu mendapatkan resep yang hampir sama untuk penyakit yang beragam.
Sebuah pertanyaan mencuat, pendidikan seperti apakah yang cocok bagi anak-anak dengan kondisi seperti yang penulis telah ungkapkan di atas?
Seperti yang penulis sedikit ceritakan di atas, pendidikan atau pembelajaran yang dilakukan terhadap anak-anak di penjara ini harus memberi wahana yang cukup luas bagi anak untuk berekspresi, dapat menyediakan ruang bagi anak-anak untuk mengungkapkan unek-unek mereka, dapat memberi terapi mental dan psikologis bagi mereka, serta pembelajaran yang dapat mengasah potensi dan bakat yang mereka miliki. (bersambung)