Jumat, 04 Desember 2009

Mengeksplorasi Kelebihan Anak


(Catatan Pendampingan Anak di Rumah Tahanan Kebonwaru, 3 Desember 2009)
Bila anda tanyakan apa yang telah anda hasilkan dari kegiatan pendampingan di rumah tahanan. Saya hanya bisa katakan bahwa kami senantiasa mencoba agar anak-anak yang ditahan itu tetap nyaman bercerita dan bebas berekspresi. Kami tidak mengajar anak-anak itu membaca atau menghitung. Kami pun tak cukup mempunyai kapasitas lebih untuk membimbing anak-anak agar mempunyai keahlian pada beberapa jenis keterampilan tertentu. Kegiatan-kegiatan keterampilan yang kami lakukan di penjara merupakan wahana ekspresi dan boleh jadi hanya menjadi alat bagi pelampiasan emosi dan perasaan mereka. Namun, itulah yang sering kita lupakan, pendidikan anak hanya diartikan belajar membaca, menghitung, menghapal, membuat sebuah karya atau menciptakan prestasi tertentu. Acapkali kita mengesampingkan mental, emosi, atau kondisi kejiwaan anak. Kondisi yang menyedihkan, ketika seringkali pendidikan Indonesia hanya dimaknai dengan pencapaian angka-angka tertentu yang seringkali tidak menggambarkan realitas pendidikan dan anak itu sendiri.
Hari ini, 3 Desember 2009, kami mengajak anak-anak di rumah tahanan Kebonwaru melakukan beberapa game dan simulasi. Tentu saja aktivitas ini bukan sekedar dimaksudkan untuk mengajak anak-anak bermain, tetapi ada beberapa nilai yang akan kami sampaikan. Nilai utama yang akan kami sampaikan melalui game-game ini adalah mengeksplorasi kelebihan atau potensi anak, sehingga di kemudian hari mereka dapat mengembangkan kelebihan atau potensi itu demi kehidupan yang lebih baik.
Rangkaian game/simulasi itu terdiri dari: ’My Ballons’, ’Celebrate’, ’Fire in The hole’, ’No Name’, dan ’Mission Possible’. ’My Ballons’ adalah game yang dimainkan dengan balon-balon empat warna yang dipegang oleh setiap anak. Anak-anak membentuk lingkaran mengelilingi fasilitator game. Setiap anak diminta untuk meniup sebesar-besarnya balon yang mereka pegang, lalu melambung-lambungkannya setinggi-tingginya dan anak harus terus mengejarnya. Mereka nampak sangat antusias.
Di sesi ’Celebrate’, anak-anak harus segera menangkap balonnya masing-masing. Kemudian mereka berkumpul dengan teman-temannya yang memiliki balon dengan warna yang sama. Ketika ada perintah ’Fire in The Hole’, mereka harus segera memecahkan balonnya masing-masing. Cara memecahkan balon yaitu, setiap pasang anak saling membelakangi dan balon disimpan di antara punggung-punggung mereka. Lalu mereka saling mendekatkan punggung, dan balon pun pecah. Sontak anak-anak pun berteriak.
Selanjutnya, anak-anak membuat yel-yel kelompok. Yel-yel itu dikompetisikan dengan kelompok lainnya. Simulasi ini diarahkan untuk menumbuhkan kepercayaan diri anak sebagai bagian dari kelompok.
Kemudian, anak-anak memainkan game ’No Name’. Dalam kelompok-kelompok tadi, anak-anak saling berbagi peran menjadi ’si Buta’, ’si Bisu’ dan ’si Tuli’ yang secara berantai menyampaikan beberapa pesan. ’Si Buta’ tidak dapat melihat, karenanya matanya harus ditutup dengan sehelai kain. ’Si Bisu’ tidak dapat berbicara, sehingga hanya boleh menggunakan bahasa isyarat. ’Si Tuli’ tidak bisa mendengar, sehingga ia diperbolehkan bicara. Game ini berlangsung sangat riuh dan agak kacau, dan beberapa anak nampak bingung dengan beberapa aturan mainnya. Namun, kami tetap merasa sangat gembira dengan ekspresi anak-anak yang keluar. Game ini sendiri dimaksudkan untuk menstimulasi dan memunculkan kelebihan atau potensi setiap anak.
Kami pun sampai pada sesi ’Mission Possible’. Setiap anak diminta untuk mengisi lembaran yang terdiri dari kolom ’Terlahir’, kolom ’Memiliki’, kolom ’Melakukan’ dan kolom ’Menjadi’. Pada kolom ’Terlahir’, setiap anak diminta menuliskan pandangan mereka tentang diri mereka sendiri sejak lahir. Sedangkan, di kolom ’Memiliki’, anak-anak diminta menyebutkan beberapa kelebihan yang mereka miliki. Kolom ’Melakukan’ berisi pengalaman-pengalaman terbaik anak selama mereka hidup. Dan kolom ’Menjadi’ berisi cita-cita atau harapan anak-anak. Sesi ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi kelebihan, kemampuan dan potensi anak, sehingga mereka dapat berpikir positif dan mempunyai harapan selepas keluar tahanan nanti.
Terakhir, Anita mengajak anak-anak untuk sedikit melakukan relaksasi dan menyampaikan beberapa refleksi dari kegiatan-kegiatan yang telah kami lakukan. Dan kegiatan berakhir dengan senyum lepas dan ekspresi bebas anak-anak.
Tak banyak yang kami berikan bagi anak-anak yang berada di tahanan tadi. Namun, kami tetap merasa bangga dapat senantiasa menatap tawa dan canda mereka. Dan kami selalu berusaha meyakinkan mereka, masih ada kehidupan dan harapan yang lebih baik selepas mereka bebas nanti. Wallahu a’lam...

Izoel.031209

Minggu, 29 November 2009

Penjara Bukan Tempat Aman Bagi Anak


(Catatan pendampingan anak Rutan Kebonwaru, 26 November 2009)
Hari ini, 26 November 2009, saya, Anita, Jaka, Oka, Rahmi dan Bayu, kembali mendampingi anak-anak di Rumah Tahanan Kebonwaru. Dengan pembukaan yang sangat sederhana, kami mulai melakukan beberapa kegiatan.
Di kelompok Kriya, Jaka memandu anak-anak untuk membuat patung dari tanah liat. Sementara di Kelompok Musik, anak-anak asyik memainkan beberapa lagu dengan alat-alat yang sederhana. Saya pun menemani E (17 tahun), bernyanyi dan merekam satu lagu baru ciptaannya.
Sementara itu, Anita mendampingi 2 orang anak yang baru beberapa hari masuk tahanan. Salah satunya adalah seorang anak berusia 11 tahun, sebut saja namanya D. Ia terpaksa masuk tahanan karena dianggap telah melakukan kekerasan fisik terhadap ibu tirinya. Menurut penuturan D, ayahnya mempunyai dua orang isteri. Pada satu ketika, kedua orang isterinya ini terlibat suatu percekcokan. D yang baru saja pulang sekolah, terdorong untuk membantu ibunya. Entah kejadiannya seperti apa, tiba-tiba D mencekik leher ibu tirinya hingga terluka parah. D sangat kecewa dengan ayahnya yang tidak menengahi percekcokan dua orang isterinya itu, padahal ia sedang berada di rumah dan mengetahui kejadian tersebut. Justeru ayahnyalah yang melaporkan kejadian itu kepada polisi, sehingga D mesti ditahan bersama ibunya di tempat berbeda.
Di pojok lain ruang pendidikan yang biasa kami gunakan ini, Rahmi dan Bayu berbincang-bincang dengan beberapa anak. Rahmi banyak mendapat informasi dari beberapa orang anak tentang kondisi yang terjadi di dalam Rumah tahanan Kebonwaru. Meski banyak informasi masih harus kami klarifikasi, tapi tak salah kiranya bila beberapa di antaranya saya ceritakan di sini.
Menurut seorang anak, interaksi yang sangat terbuka antara tahanan anak dengan tahanan dewasa seringkali membawa efek negatif bagi tahanan anak. Salah satunya adalah berpotensi terjadinya “siklus residivis”. Siklus residivis adalah suatu perputaran dimana anak-anak berpotensi untuk keluar-masuk penjara. Kondisi ini sangat mungkin terjadi ketika tahanan anak banyak berinteraksi dan banyak belajar dari tahanan-tahanan dewasa, termasuk tentang belajar beberapa modus kejahatan. Beberapa efek lain pun terjadi di dalam tahanan. Misalnya, perkelahian antar tahanan anak atau pemalakan yang dilakukan oleh beberapa tahanan yang menjadi kaki tangan tahanan dewasa, terhadap tahanan-tahanan anak yang lain. Kondisi terburuk lain pun terjadi meski dengan intensitas yang sangat kecil dan sulit sekali dideteksi, yaitu, pasokan narkoba dari beberapa tahanan dewasa bagi beberapa tahanan anak.
Dari penuturan beberapa orang anak ini, semakin memperkuat keyakinan kami bahwa penjara sangat tidak layak dan tidak aman bagi anak. Ketika kondisi penjara masih seperti ini, masih tegakah kita untuk memeja hijaukan dan memenjarakan anak-anak kita hanya karena beberapa kasus yang sebenarnya masih bisa diselesaikan dengan cara-cara kekeluargaan. Dalam cerita di atas, sangatlah ironi seorang bapak tega memenjarakan anaknya, hanya karena isteri mudanya disakiti.
Dengan memenjarakan anak, kita telah menghilangkan beberapa hak yang semestinya anak-anak dapatkan, seperti, hak kebebasan, hak berekpresi, hak tumbuh-kembang dan sebagainya. Meski anak-anak itu telah melakukan kesalahan, dalam sebagian kasus yang kami temukan, sanksi dan kondisi yang mereka harus terima di tahanan acapkali tidak sepadan dengan kesalahan yang mereka lakukan.
Tentu saja kita tidak cukup hanya mengusap dada dan menyesali nasib beberapa anak kita yang mesti berhadapan dengan hukum dan mendekam di tahanan. Atau bahkan bersikap tak peduli karena kejadian di atas tidak terjadi dengan anak, adik atau keponakan kita sendiri. Kita harus bergerak dan mendorong agar ada perlakuan adil bagi anak-anak di sekitar kita, termasuk anak-anak yang harus berkonflik dengan hukum. Wallahu a’lam....
zoel.261109