Selasa, 06 Oktober 2009

Catatan Pertemuan Forum Group Discussion (FGD) “Bandung Menuju Kota Layak Anak”

Hotel Royal Corner, Bandung, 5 Oktober 2009


Acara ini diselenggarakan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP), yang difasilitasi oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Bandung. Adapun fasilitator FGDnya sendiri adalah para fasilitator dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI).
Kegiatan dimulai dengan beberapa penjelasan tentang program Kota Layak Anak (KLA) yang telah dicanangkan oleh Menneg PP sejak 2006 yang lalu, oleh salah seorang fasilitator dari YKAI. Kemudian para peserta yang terdiri atas para wakil dari beberapa intansi yang berada di bawah Pemerintah Kota Bandung, organisasi masyarakat dan LSM yang berada di Kota Bandung. Sebenarnya, para peserta yang hadir dalam kegiatan FGD ini kurang representatif untuk membahas wacana Bandung Menuju Kota Layak Anak. Hal inilah yang sangat kami sesalkan. Namun, BPPKB sebagai panitia pelaksana kegiatan berdalih bahwa pemilihan para peserta ini telah melalui seleksi dari pihak Menneg PP.
Selanjutnya, para peserta dibagi menjadi dua kelompok, yaitu, Kelompok Dinas yang terdiri dari para wakil dari beberapa intansi di pemerintahan Kota Bandung, dan Kelompok Masyarakat yang terdiri dari wakil dari ormas dan LSM. Saya masuk kelompok masyarakat bersama rekan-rekan dari Yayasan Bahtera, Forum Karang Taruna, Forum LPM, Forum RW, dan salah seorang mantan anggota DPRD Kota Bandung periode 2004-2009.
Salah seorang fasilitator dari YKAI memandu kami dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Ia memulai dengan pertanyaan tentang sejauh mana kami mengetahui wacana Kota Layak Anak dan melalui media apa. Satu-persatu kami memberi pandangan tentang Kota Layak Anak. Setiap orang memberi pandangan yang berbeda-beda. Namun, kami sepakat dengan gagasan kota layak anak ini.
Diskusi berlanjut dengan pertanyaan, apakah Bandung sudah dapat dianggap sebagai kota layak anak? Untuk pertanyaan yang satu ini kami sepakat menganggap Bandung belum layak anak. Kondisi ini didasarkan atas beberapa fenomena yang terjadi dengan anak-anak di Kota Bandung. Salah seorang peserta menceritakan fenomena anak-anak jalanan di Kota Bandung yang terserak di mana-mana. Peserta lain menggambarkan masalah-masalah moral anak-anak Bandung. Ada juga peserta yang menyesalkan terbatasnya ruang terbuka dan lahan bermain bagi anak. Dalam diskusi ini pun mencuat pemilahan antara anak-anak yang memang tinggal di Kota Bandung dan anak-anak pendatang. Namun, saya dan seorang rekan dari Bahtera menentang pemilahan anak tersebut. Atas dasar prinsip non-diskriminasi dan pemenuhan segala yang terbaik bagi anak, setiap anak yang ada di Kota berhak dipenuhi dan dilindungi hak-haknya dengan tanpa membedakan anak Bandung dan anak pendatang.
Beberapa pertanyaan lain yang muncul adalah berkaitan dengan sejauh mana partisipasi anak dalam penyusunan suatu kebijakan di Kota Bandung. Meski ada peserta yang menarik pertanyaan ini ke arah partisipasi anak dalam keluarga, kami sepakat tidak ada kesempatan atau ruang bagi partisipasi anak dalam penyusunan suatu kebijakan di Kota Bandung.
Terkait dengan langkah-langkah apa yang harus diambil oleh Pemerintah Kota Bandung dalam pembentukkan Bandung Kota Layak Anak, masing-masing peserta mempunyai pendapat yang beragam. Ada yang menekankan proses penyusunan Perda Anak yang akan digulirkan harus lebih transparan dan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Ada juga keinginan agar seluruh jajaran Pemerintah Kota Bandung melakukan koordinasi yang rapih dalam mewujudkan Bandung Kota Layak Anak. Tak ketinggalan beberapa peserta mengharapkan disediakannya tempat-tempat bermain bagi anak. Kami dari Kalyanamandira dan Bahtera berharap agar Perda Anak yang nanti akan digulirkan tidak malah mengkebiri hak-hak anak, sehingga Perda tersebut jangan sampai bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) dan Konvensi Hak Anak (KHA).
Dari proses FGD ini, dapat digambarkan bahwa proses Bandung menuju Kota Layak Anak ini akan sangat panjang. Masalah koordinasi antar instansi dan minimnya anggaran yang khusus bagi pemenuhan hak-hak anak di Pemerintah Kota Bandung, menjadi kendala utama dalam mewujudkan gagasan Bandung Kota Layak Anak. Selain itu, kesamaan pandangan tentang anak dan hak-haknya yang harus dipenuhi dan dilindungi masih sangat bias. Hal ini akan menjadi tantangan laten yang akan selalu muncul dalam pembetukkan Kota Layak Anak. Wallahu a’lam…

Izoel.051009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komentar di sini.
No SPAM ya.