Rabu, 07 April 2010

Jangan Jatuhkan Pidana kepada Anak

Anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya tidak dijatuhi pidana seperti halnya orang dewasa, tetapi dengan tindakan yang bersifat pembinaan. Jika terpaksa dijatuhi pidana karena terlibat kasus berat, seharusnya anak diberi hukuman yang bersifat mendidik.
Demikian dikemukakan saksi ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Surastini, dalam sidang lanjutan uji materi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/4) di Jakarta.
Pada akhir Desember 2009, KPAI mengajukan uji materi kepada MK untuk menghapuskan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dinilai mengkriminalisasi anak. Pasal-pasal dalam UU itu dinilai memberikan legitimasi dan memudahkan menjatuhkan pidana pada anak, yakni pada Pasal 1 tentang definisi anak, Pasal 4 tentang usia pertanggungjawaban hukum, Pasal 5 tentang penyidikan, Pasal 22 dan 23 tentang pemidanaan, serta Pasal 31 tentang pemenjaraan.
Pengajuan uji materi ini dipicu meningkatnya kasus anak berhadapan dengan hukum, terutama ketika 10 anak berusia 10-12 tahun di Tangerang yang divonis bersalah karena berjudi di Bandara Soekarno-Hatta. Selain itu, juga ada kasus Raju di Sumatera Utara yang menganiaya temannya. Berdasarkan catatan KPAI, setiap tahunnya terdapat sekitar 6.000 kasus anak yang diproses hukum, 3.800 di antaranya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP), tahanan kantor polisi, bahkan, dicampur di LP bersama orang dewasa.
Korban lingkungan
Menambahkan keterangan Surastini, saksi ahli Fentiny Nugroho dari Ilmu Kesejahteraan FISIP-UI, mengingatkan, anak yang berhadapan dengan hukum justru korban dari lingkungan sekitarnya dan tidak dapat dipersalahkan. Perilaku anak tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, penanganan anak itu pun tidak bisa dengan pidana.
”Ada pengaruh keluarga atau lingkungan dalam perilaku anak. Ada konteks sosialnya sehingga pendekatannya seharusnya dengan keadilan restoratif dengan mengembalikan anak ke orangtua, diwajibkan melakukan pekerjaan sosial, atau dipaksa masuk ke institusi pendidikan,” ujar Fentiny.
Dalam sesi dengar kesaksian para saksi ahli kasus kriminal anak itu, anggota majelis hakim, M Akil Mochtar, menyinggung batasan anak nakal atau anak yang dikategorikan nakal. Sementara anggota majelis hakim, Muhammad Alim, menyinggung efektivitas tindakan pidana bagi anak. ”Apakah pidana untuk anak itu perlu ada karena justru akan mengganggu tumbuh kembang anak,” kata Alim.
Seusai sidang, kuasa hukum dari KPAI, Muhammad Joni, menekankan perlunya memprioritaskan penerapan keadilan restoratif dengan tindakan dan bukan dengan pidana terhadap anak. (LUK)


Sumber : 
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/08/03522123/
http://www.qbheadlines.com/img/uploaded/thumbs/8723penjara-lead200.jpg

2 komentar:

  1. Cari akar permasalahan.. ketika anak sebagai pelaku sebenarnya dia adalah korban dari keadaan sosial, ekonomi, budaya, politik... lindungilah mereka generasi bangsa...

    BalasHapus
  2. Terima kasih responnya.. Kami mohon dukungannya untuk tetap bergerak demi perlindungan hak anak-anak yang berhadapan dengan hukum ...

    BalasHapus

Silahkan beri komentar di sini.
No SPAM ya.