Rabu, 09 Juni 2010

Momok Menakutkan Itu Bernama SKKB

Sebuah harapan yang senantiasa muncul dari mulut anak-anak yang sedang menjalani masa tahanan di penjara adalah kebebasan. Tentu saja, mereka sangat ingin menghirup kembali udara kebebasan kala mereka harus terpisah dari keluarga, teman dan kehidupannya sehari-hari. Beberapa di antara mereka pun harus meninggalkan pendidikan dan pekerjaan mereka. Interaksi dan ruang gerak mereka pun sangat dibatasi.
Dari pengakuan beberapa anak, mereka sangat menyesal telah melakukan tindak kejahatan. Mereka pun merasa sangat tersiksa berada di penjara, membosankan, stres, takut dan perasaan tidak nyaman lainnya.
Anak-anak ini berharap segera dibebaskan untuk meneruskan kehidupan dan kembali mengejar cita-cita mereka. Sebagian di antara mereka ada yang akan meneruskan sekolah mereka yang sempat terhenti. Dan sebagian lainnya berencana mencari pekerjaan atau bekerja di tempat kerjanya semula. Ada juga anak-anak yang hanya berniat membantu kedua orang tuanya.
Ternyata, setelah mereka bebas permasalahan tak semudah yang dibayangkan. Mereka masih harus dihadapkan dengan stigma buruk dari masyarakat di sekitarnya. Stigma ini pun diformalkan dalam bentuk Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB). Dan bagi mereka yang pernah mengenyam sel tahanan, surat keterangan ini tidak mungkin mereka dapatkan, kecuali mereka pernah mengajukan rehabilitasi yang prosesnya sangat rumit.
Bagi anak-anak yang pernah mendekam di penjara, keharusan untuk memiliki SKKB ini telah menghalangi mereka untuk mengenyam pendidikan formal, karena banyak sekolah yang menolak menerima anak-anak yang diketahui pernah masuk penjara terlebih ketika mereka tidak bisa menunjukkan SKKB. Hal ini dibuktikan oleh beberapa anak dampingan kami yang ditolak masuk kembali di sekolah asalnya ketika mereka bebas dan adanya beberapa sekolah yang mempersyaratkan adanya SKKB. Hingga sebagian dari mereka memutuskan untuk masuk beberapa program kesetaraan atau malah tidak sekolah lagi.
Semula saya hanya menduga hal ini merupakan ketakutan beberapa pihak sekolah semata atas dasar menjaga citra baik sekolah. Namun, dari kabar terakhir yang saya dapatkan ternyata persyaratan SKKB ketika salah seorang anak masuk sekolah ini telah diatur oleh satu Peraturan Walikota (Perwal) mengenai prosedur Penerimaan Siswa Baru (PSB) di Kota Bandung.
Bisa dibayangkan, bila untuk bersekolah saja anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini sangat dipersulit, apalagi untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak. Sehingga, sebagian anak mengambil pekerjaan-pekerjaan yang tidak sesuai dengan usia mereka. Dan tak jarang di antara mereka mengambil jalan pintas dan kembali melakukan tindak kejahatan. Jadi, siapa yang harus dipersalahkan, bila anak-anak ini kembali masuk dalam lingkaran kejahatan?

Senin, 24 Mei 2010

Mendulang Permata Dalam Lumpur


Permata adalah suatu barang yang tak terkira harganya. Sehingga, banyak orang yang dapat hidup karena benda berharga ini, dan banyak pula yang harus mempertaruhkan nyawanya karena barang ini, seperti yang banyak terjadi di beberapa Negara miskin Afrika, seperti yang digambarkan dalam film “Blood Diamond”.
Mahalnya permata tak sekedar karena rupanya yang elok semata, tetapi juga karena sangatlah sulit dan sukarnya mendapat barang yang sangat berharga itu. Kita harus mendulang dengan tekun dalam Lumpur-lumpur sungai di antara bebatuan yang terserak. Tak berhenti di sana, batu-batu mulia itu pun harus diuji dengan teliti terlebih dahulu keasliannya.
Mungkin tak berlebihan bila saya membandingkan permata  dengan nilai-nilai positif yang ada pada diri anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH), terlebih ketika mereka harus mendekam di penjara. Dalam hampir setiap pendampingan AKH, kami senantiasa dihadapkan dengan kesulitan-kesulitan mengeksplorasi nilai-nilai positif pada diri anak.
Tak hanya itu, kita pun seringkali berkendala untuk memotivasi mereka untuk mau bercerita dan mengikuti kegiatan pendampingan secara penuh. Selalu saja ada beberapa orang anak yang nampak murung, kurang antusias dan enggan mengikuti kegiatan pendampingan. Hal inilah yang sering dikeluhkan para pendamping, terlebih para pendamping baru.
Acapkali kesulitan dan hambatan ini muncul karena kondisi mental dan psikologis anak-anak yang tertekan dan tidak stabil. Dalam pengamatan kami, mereka cenderung melakukan sikap apa yang kami menyebutnya sebagai Defense Mechanism (mekanisme pertahanan diri). Sikap ini diwujudkan dalam bentuk diam, menghindar, dan berbohong atau menutup-nutupi keaslian cerita sebenarnya. Perilaku anak seperti ini dilakukan sebagai wujud melindungi diri mereka dari beberapa tekanan selama anak-anak berada dalam penjara.
Namun dengan berbagai usaha yang kami lakukan, lambat-laun hambatan-hambatan seperti ini mulai berkurang. Tak jarang beberapa orang anak pun sengaja menghampiri saya dan teman-teman pendamping untuk bercerita banyak tentang diri mereka.
Kami mengibaratkan cerita anak-anak di penjara ini sebagai permata, karena cerita-cerita itu tak sekedar membuat kami terharu tetapi juga telah banyak memberi inspirasi dan menjadikan kami semakin sadar realitas lain dalam kehidupan masyarakat kita, khususnya kehidupan anak-anak. Tentu saja hal ini harus menggunakan cara pandang yang sangat terbuka dan jauh dari penilaian buruk terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini. Dan sedikit lebih sabar dan teliti mendengarkan cerita anak-anak.
Seperti dalam pendampingan hari ini, saya sedikit mendapatkan cerita dari dua orang anak, sebut saja Diki (17 tahun) dan Dandi (17 tahun). Meski hari ini topic pembelajaran kami adalah melukis kaos, tidak sedikit pun Diki tertarik mengikutinya. Ketika saya menanyakan kepadanya tentang kekurang tertarikannya untuk menggambar atau melukis, Diki beralasan bahwa ia sejak kecil sangat lemah atau tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk menggambar. Bahkan dengan sedikit agak bercanda ia berkata kepada saya,”Ah saya nyerah A kalau disuruh menggambar mah.” Meski demikian, ia mempunyai bakat besar di bidang lain, yaitu olahraga, khususnya sepak bola. Sebelum masuk tahanan, Diki terdaftar sebagai siswa di Sekolah Sepak Bola (SSB) di bawah Persib. Sehingga, Diki mempunyai cita-cita selepas keluar dari penjara nanti akan mengikuti seleksi pemain Persib U-19. Untuk kepentingan ini, selama di penjara Diki senantiasa menjaga kondisi fisiknya, termasuk tidak tergoda untuk membuat sebuah tato pun di tubuhnya seperti sebagian anak-anak yang lain.
Berbeda dengan Diki, Dandi sedikit punya bakat menggambar. Sayang, ia tidak punya cukup kesempatan untuk mengembangkan bakatnya tersebut. Maklum ketika masih berada di luar tahanan, sebagian waktunya ia habiskan di pasar untuk membantu kedua orang tuanya berjualan. Menurut pengakuan Diki, ia termasuk anak yang cukup mendapatkan kasih sayang. Hal ini dibuktikan dengan terpenuhinya segala keinginannya oleh orang tuanya. Sayang karena salah pergaulan dan pengaruh minuman keras, ia bertengkar dengan ayahnya dan kabur dari rumah. Celakanya, ia malah tergoda untuk mencuri 1 unit sepeda motor. Diki pun harus meringkuk di dalam tahanan.
Kedua orang anak ini sama-sama menyesali segala perbuatannya. Keduanya pun bertekad untuk melakukan segala yang terbaik bagi keluarganya, terlebih lagi keluarga mereka masih sangat menyayangi dan memerhatikan mereka meski sekarang keduanya berada di dalam penjara.
Memang, keluarga masih sangat banyak memberi pengaruh dalam perkembangan mental dan psikologis anak. Sayang, dari penuturan beberapa anak-anak yang saya dampingi di dalam penjara, banyak di antara mereka yang terkesan telah jauh atau menghindar dari keluarganya. Sehingga seringkali mereka mengaku tidak mempunyai tempat kembali selain ke dalam lingkungan keras yang telah mendorong mereka berbuat kejahatan.
Demikianlah, permata tentu saja tidak akan pernah mempunyai harga yang tinggi ketika masih tertanam dan dipenuhi Lumpur. Permata itu pun harus tekun kita bersihkan. Dan hanya orang-orang yang sangat paham terhadap kadar permata yang dapat menilai keaslian dan bisa menghargai permata tersebut. Wallahu a’lam…

Senin, 12 April 2010

Potret Kecil Anak Berkonflik Dengan Hukum (ABH)


I

stilah Anak Berhadapan dengan Hukum merupakan istilah lain dari Anak yang berkonflik dengan Hukum (AKH). Sebenarnya, dua istilah tadi merupakan ’penyebutan halus’ dari istilah Anak Nakal seperti yang telah diatur dalam UU No.3 1997 Tentang Peradilan Anak, yang menyebutkan bahwa Anak Nakal adalah : a) Anak yang melakukan tindak pidana; atau b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sejauh ini penanganan ABH masih sangat jauh dari pemenuhan hak-hak anak seperti yang termaktub dalam Konvensi Hak Anak (KHA) PBB dan beberapa regulasi tentang anak yang berlaku di Indonesia. Beberapa hal yang hak anak yang diabaikan dari ABH adalah pemenuhan hak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan yang layak, bebas dari diskriminasi dan lain-lain.
Pengabaian terhadap hak ABH dimulai dari proses awal penyidikan. Proses penangkapan, interogasi hingga penahanan seringkali mengabaikan kondisi psikologis anak. Sebagian besar ABH, terlebih yang berasal dari keluarga miskin dan tidak bersekolah, sangat sulit mendapatkan penangguhan penanganan. ABH pun dalam proses persidangan seringkali tidak didampingi oleh seorang pengacara, karena sangat jarang lembaga yang menyediakan pengacara gratis bagi para ABH ini.
Pengabaian hak ABH ini pun berlanjut ketika mereka mesti masuk penjara. Pemenjaraan ini pun telah banyak merengut hak-hak ABH. Dan seringkali ABH tidak mendapatkan layanan yang layak, terutama layanan pendidikan dan kesehatan.
Tidak cukup berhenti di sana. Para ABH di penjara pun seringkali mengalami tindak kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan yang terjadi bisa berbentuk verbal hingga kekerasan secara fisik.
Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi kondisi mental dan psikologis anak. Dalam beberapa pendampingan ABH, seringkali ditemukan anak-anak yang murung, sulit berkonsentrasi, agresif dan sebagainya. Lambat-laun tekanan-tekanan yang terjadi di penjara membawa trauma bagi anak.
Tak hanya sekedar trauma, kondisi yang terjadi di penjara secara jauh berdampak pada apa yang kami sebut sebagai ”Siklus Residivis”. Siklus Residivis adalah sebuah kondisi yang menggambarkan banyak ABH yang sempat bebas melakukan tindak kriminal lagi dan kembali masuk penjara. Dalam beberapa kasus, ABH yang menjadi residivis ini melakukan tindak kriminal yang lebih berat dari kasus sebelumnya.
Beberapa pengabaian hak ABH ini merupakan kejahatan besar dan perilaku zalim bagi sebagian anak-anak kita yang dipaksa kondisi untuk melakukan tindak kriminal. Kondisi seperti ini harus segera dibenahi dengan perspektif yang terbuka dan senantiasa memperhatikan hak-hak anak. Beberapa hal yang harus dilakukan adalah :
1. Menghidupkan nilai-nilai lokal untuk menangani perilaku nakal anak. Langkah ini harus dilakukan karena tidak semua perilaku nakal anak harus dipidanakan.
2. Sistem peradilan anak dari awal penyidikan, penyidangan harus senantiasa memperhatikan kondisi mental, psikologis dan hak-hak anak secara umum.
3. Harus dirumuskan sebuah alternatif lain bagi peradilan anak selain pemenjaraan. Pemenjaraan anak telah merengut banyak hak anak dan sangat mengganggu proses tumbuh-kembang mereka.
Sudah saatnya kita peduli dan memberi kontribusi bagi kebaikan dan masa depan anak siapapun, kapanpun dan di manapun serta dalam kondisi bagaimanapun. (izoel)

Kamis, 08 April 2010

Cuplikan Diskusi Antara Kalyanamandira Dengan Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung


A

cara ini dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB, bertempat di Aula Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, Jl. Ibrahim Adjie , Kiaracondong, Bandung. Acara ini diikuti oleh para pegawai di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, khususnya para pegawai di Biro Pelayanan Klien Anak.
Obrolan awal berkisar pada proses pendampingan yang dilakukan pendamping Kemasyarakatan (PK) Bapas saat proses penyidikan. PK bekerja sebagai mediator dan fasilitaor bagi ABH dan keluarganya serta membuat Penelitian Masyarakat (Litmas). Bagi Bapas, pemenjaraan adalah alternatif terakhir yang diambil. Dalam prakteknya Bapas mengajukan pertimbangan penanganan perkara melengkapi permohonan penangguhan penahanan dari keluarga ABH. Hal yang menjadi dasar pertimbangan penanganan perkara, PK Bapas senantiasa memasukkan kegiatan-kegiatan positif yang sedang dijalalani ABH, biasanya adalah kegiatan pendidikan formal. Namun, ABH yang masih bersekolah seringkali dikeluarkan atau tidak diterima kembali di sekolahnya. Hal ini mempersulit dalam pengajuan pertimbangan penanganan perkara ABH, khususnya dalam pengajuan penangguhan penahanan. Padahal prasyarat utama ABH mendapat penangguhan penahanan adalah ABH mempunyai kegiatan positif selama menjalani proses penangguhan penahanan, disamping ABH dilarang menghilangkan bukti dan melarikan diri. Kondisi seperti ini pun masih sangat tergantung dengan siapa penyidik dan hakimnya.
Sementara itu, di waktu yang lalu Kalyanamandira (KM) bersama beberapa jejaring/mitra, selain melakukan pendampingan ABH di dalam Rutan, juga melakukan pendekatan dengan keluarga ABH. Sayang, program ini karena beberapa hal tidak diteruskan. Kali ini, KM sedang mengembangkan jejaring untuk melebarkan fungsi/program dalam pembinaan ABH, baik pra, sedang menjalani dan pasca peradilan. Oleh karena itu, perlu dibangun mekanisme penanganan ABH, khususnya untuk memenuhi pendidikan mereka.
Menurut pengakuan salah seorang PK, ABH yang masih belajar di sekolah negeri seringkali tidak diterima kembali atau dikeluarkan oleh pihak sekolah. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan Dinas Pendidikan yang tidak bisa menerima anak ABH. Ia berharap agar LSM-LSM dapat mendorong Dinas Pendidikan agar menghapus kebijakan tadi, atau LSM menyediakan PKBM sebagai tempat belajar ABH selama proses peradilan. Dalam kaitan ini, seringkali praduga tak bersalah tidak diperhatikan.
Kalyanamandira (KM) sejauh ini bersama jejaring lain telah melakukan advokasi pendidikan, namun harus diakui belum secara khusus belum mempunyai rumusan mekanisme pendidikan bagi ABH. Tentang sekolah atau PKBM bagi ABH, KM sedang membangun jejaring dengan komunitas/LSM yang punya PKBM. Sejauh pengalaman KM, beberapa lembaga agak sulit menerima ABH. Ada beberapa di antaranya mau bekerjasama, namun kemudian mereka merasa kerepotan memfasilitasi ABH. KM sendiri seringkali kehilangan kontak dengan ABH yang telah bebas.
Kemudian batas maksimal penyusunan LITMAS adalah 30 hari. Selanjutnya berkas Litmas dilimpahkan ke kejaksaan, lalu ke pengadilan. Secara formal pendampingan anak dan penyusunan Litmas hanya berlangsung selama 30 hari – sejak awal penyidikkan hingga pengadilan - , tetapi lebih dari itu Bapas dapat memberikan saran terkait perkembangan baru ABH atas dasar prinsip “Segala yang terbaik bagi anak”. Setelah keluar vonis (pengadilan), peran PK tergantung keputusan pengadilan atau permohonan keluarga ABH.
Dalam perkembangan lain, KM dan jejaringnya telah sering melakukan advokasi pendidikan secara umum. Sayang terkait ABH, KM belum memiliki gambaran yang komplit, sehingga belum ada mekanisme layanannya. Oleh karena itu, diharapkan BAPAS dapat memberikan argumentasi dan gambaran tentang ABH ini. Sehingga dapat dirumuskan mekanisme layanan bagi ABH, khususnya di bidang pendidikan.
Tentang layanan pendidikan bagi ABH ini, BAPAS menilai bahwa belum ada layanan ”On – Off” di beberapa dinas terkait. Hal ini menyulitkan proses pendampingan dan pemberian layanan bagi ABH.
Ada harapan dari beberapa PK BAPAS, semoga ke depan KM dapat menjadi salah satu lembaga rujukan yang dapat memberikan layanan bagi ABH, khususnya di Biro pendidikan.
KM menyadari banyak orang/pihak yang peduli dengan ABH dan berkeinginan untuk memberikan kontribusi. Namun, sejauh ini karena keterbatasan informasi dan kesulitan untuk mengakses ABH, kepedulian/kontribusi itu agak kurang mendapat tempat.
ABH yang telah bebas seringkali tidak mempunyai kegiatan yang jelas, salah satunya ketidak jelasan pendidikannya. Masalah sering muncul apabila ABH divonis kembali kepada keluarga, dan ia tidak memiliki kegiatan positif (khususnya sekolah formal) yang jelas. Adapun, ABH yang diputus hakim untuk mengikuti pendidikan dan latihan kerja, seharusnya telah memiliki rujukan tempat bagi anak untuk belajar dan latihan. Namun, sejauh ini belum banyak lembaga yang bersedia menjadi tempat rujukan ini.
Sebuah masukan dari Kepala Bapas menyatakan bahwa, layanan pendidikan bagi ABH tidak hanya pendidikan formal saja. Seperti pengalamannya ketika bertugas di Malang, ABH disalurkan sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakatnya.
Di akhir diskusi, BAPAS dan KM sepakat untuk membangun mekanisme saluran informasi dua arah yang jelas, sehingga dapat dipetakan dan dirumuskan langkah-langkah strategis yang bisa diambil kedua pihak dalam menangani anak nakal dan ABH.

Rabu, 07 April 2010

Jangan Jatuhkan Pidana kepada Anak

Anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya tidak dijatuhi pidana seperti halnya orang dewasa, tetapi dengan tindakan yang bersifat pembinaan. Jika terpaksa dijatuhi pidana karena terlibat kasus berat, seharusnya anak diberi hukuman yang bersifat mendidik.
Demikian dikemukakan saksi ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Surastini, dalam sidang lanjutan uji materi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/4) di Jakarta.
Pada akhir Desember 2009, KPAI mengajukan uji materi kepada MK untuk menghapuskan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dinilai mengkriminalisasi anak. Pasal-pasal dalam UU itu dinilai memberikan legitimasi dan memudahkan menjatuhkan pidana pada anak, yakni pada Pasal 1 tentang definisi anak, Pasal 4 tentang usia pertanggungjawaban hukum, Pasal 5 tentang penyidikan, Pasal 22 dan 23 tentang pemidanaan, serta Pasal 31 tentang pemenjaraan.
Pengajuan uji materi ini dipicu meningkatnya kasus anak berhadapan dengan hukum, terutama ketika 10 anak berusia 10-12 tahun di Tangerang yang divonis bersalah karena berjudi di Bandara Soekarno-Hatta. Selain itu, juga ada kasus Raju di Sumatera Utara yang menganiaya temannya. Berdasarkan catatan KPAI, setiap tahunnya terdapat sekitar 6.000 kasus anak yang diproses hukum, 3.800 di antaranya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP), tahanan kantor polisi, bahkan, dicampur di LP bersama orang dewasa.
Korban lingkungan
Menambahkan keterangan Surastini, saksi ahli Fentiny Nugroho dari Ilmu Kesejahteraan FISIP-UI, mengingatkan, anak yang berhadapan dengan hukum justru korban dari lingkungan sekitarnya dan tidak dapat dipersalahkan. Perilaku anak tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, penanganan anak itu pun tidak bisa dengan pidana.
”Ada pengaruh keluarga atau lingkungan dalam perilaku anak. Ada konteks sosialnya sehingga pendekatannya seharusnya dengan keadilan restoratif dengan mengembalikan anak ke orangtua, diwajibkan melakukan pekerjaan sosial, atau dipaksa masuk ke institusi pendidikan,” ujar Fentiny.
Dalam sesi dengar kesaksian para saksi ahli kasus kriminal anak itu, anggota majelis hakim, M Akil Mochtar, menyinggung batasan anak nakal atau anak yang dikategorikan nakal. Sementara anggota majelis hakim, Muhammad Alim, menyinggung efektivitas tindakan pidana bagi anak. ”Apakah pidana untuk anak itu perlu ada karena justru akan mengganggu tumbuh kembang anak,” kata Alim.
Seusai sidang, kuasa hukum dari KPAI, Muhammad Joni, menekankan perlunya memprioritaskan penerapan keadilan restoratif dengan tindakan dan bukan dengan pidana terhadap anak. (LUK)


Sumber : 
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/08/03522123/
http://www.qbheadlines.com/img/uploaded/thumbs/8723penjara-lead200.jpg