Kamis, 08 April 2010
Cuplikan Diskusi Antara Kalyanamandira Dengan Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung
A
cara ini dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB, bertempat di Aula Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, Jl. Ibrahim Adjie , Kiaracondong, Bandung. Acara ini diikuti oleh para pegawai di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, khususnya para pegawai di Biro Pelayanan Klien Anak.
Obrolan awal berkisar pada proses pendampingan yang dilakukan pendamping Kemasyarakatan (PK) Bapas saat proses penyidikan. PK bekerja sebagai mediator dan fasilitaor bagi ABH dan keluarganya serta membuat Penelitian Masyarakat (Litmas). Bagi Bapas, pemenjaraan adalah alternatif terakhir yang diambil. Dalam prakteknya Bapas mengajukan pertimbangan penanganan perkara melengkapi permohonan penangguhan penahanan dari keluarga ABH. Hal yang menjadi dasar pertimbangan penanganan perkara, PK Bapas senantiasa memasukkan kegiatan-kegiatan positif yang sedang dijalalani ABH, biasanya adalah kegiatan pendidikan formal. Namun, ABH yang masih bersekolah seringkali dikeluarkan atau tidak diterima kembali di sekolahnya. Hal ini mempersulit dalam pengajuan pertimbangan penanganan perkara ABH, khususnya dalam pengajuan penangguhan penahanan. Padahal prasyarat utama ABH mendapat penangguhan penahanan adalah ABH mempunyai kegiatan positif selama menjalani proses penangguhan penahanan, disamping ABH dilarang menghilangkan bukti dan melarikan diri. Kondisi seperti ini pun masih sangat tergantung dengan siapa penyidik dan hakimnya.
Sementara itu, di waktu yang lalu Kalyanamandira (KM) bersama beberapa jejaring/mitra, selain melakukan pendampingan ABH di dalam Rutan, juga melakukan pendekatan dengan keluarga ABH. Sayang, program ini karena beberapa hal tidak diteruskan. Kali ini, KM sedang mengembangkan jejaring untuk melebarkan fungsi/program dalam pembinaan ABH, baik pra, sedang menjalani dan pasca peradilan. Oleh karena itu, perlu dibangun mekanisme penanganan ABH, khususnya untuk memenuhi pendidikan mereka.
Menurut pengakuan salah seorang PK, ABH yang masih belajar di sekolah negeri seringkali tidak diterima kembali atau dikeluarkan oleh pihak sekolah. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan Dinas Pendidikan yang tidak bisa menerima anak ABH. Ia berharap agar LSM-LSM dapat mendorong Dinas Pendidikan agar menghapus kebijakan tadi, atau LSM menyediakan PKBM sebagai tempat belajar ABH selama proses peradilan. Dalam kaitan ini, seringkali praduga tak bersalah tidak diperhatikan.
Kalyanamandira (KM) sejauh ini bersama jejaring lain telah melakukan advokasi pendidikan, namun harus diakui belum secara khusus belum mempunyai rumusan mekanisme pendidikan bagi ABH. Tentang sekolah atau PKBM bagi ABH, KM sedang membangun jejaring dengan komunitas/LSM yang punya PKBM. Sejauh pengalaman KM, beberapa lembaga agak sulit menerima ABH. Ada beberapa di antaranya mau bekerjasama, namun kemudian mereka merasa kerepotan memfasilitasi ABH. KM sendiri seringkali kehilangan kontak dengan ABH yang telah bebas.
Kemudian batas maksimal penyusunan LITMAS adalah 30 hari. Selanjutnya berkas Litmas dilimpahkan ke kejaksaan, lalu ke pengadilan. Secara formal pendampingan anak dan penyusunan Litmas hanya berlangsung selama 30 hari – sejak awal penyidikkan hingga pengadilan - , tetapi lebih dari itu Bapas dapat memberikan saran terkait perkembangan baru ABH atas dasar prinsip “Segala yang terbaik bagi anak”. Setelah keluar vonis (pengadilan), peran PK tergantung keputusan pengadilan atau permohonan keluarga ABH.
Dalam perkembangan lain, KM dan jejaringnya telah sering melakukan advokasi pendidikan secara umum. Sayang terkait ABH, KM belum memiliki gambaran yang komplit, sehingga belum ada mekanisme layanannya. Oleh karena itu, diharapkan BAPAS dapat memberikan argumentasi dan gambaran tentang ABH ini. Sehingga dapat dirumuskan mekanisme layanan bagi ABH, khususnya di bidang pendidikan.
Tentang layanan pendidikan bagi ABH ini, BAPAS menilai bahwa belum ada layanan ”On – Off” di beberapa dinas terkait. Hal ini menyulitkan proses pendampingan dan pemberian layanan bagi ABH.
Ada harapan dari beberapa PK BAPAS, semoga ke depan KM dapat menjadi salah satu lembaga rujukan yang dapat memberikan layanan bagi ABH, khususnya di Biro pendidikan.
KM menyadari banyak orang/pihak yang peduli dengan ABH dan berkeinginan untuk memberikan kontribusi. Namun, sejauh ini karena keterbatasan informasi dan kesulitan untuk mengakses ABH, kepedulian/kontribusi itu agak kurang mendapat tempat.
ABH yang telah bebas seringkali tidak mempunyai kegiatan yang jelas, salah satunya ketidak jelasan pendidikannya. Masalah sering muncul apabila ABH divonis kembali kepada keluarga, dan ia tidak memiliki kegiatan positif (khususnya sekolah formal) yang jelas. Adapun, ABH yang diputus hakim untuk mengikuti pendidikan dan latihan kerja, seharusnya telah memiliki rujukan tempat bagi anak untuk belajar dan latihan. Namun, sejauh ini belum banyak lembaga yang bersedia menjadi tempat rujukan ini.
Sebuah masukan dari Kepala Bapas menyatakan bahwa, layanan pendidikan bagi ABH tidak hanya pendidikan formal saja. Seperti pengalamannya ketika bertugas di Malang, ABH disalurkan sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakatnya.
Di akhir diskusi, BAPAS dan KM sepakat untuk membangun mekanisme saluran informasi dua arah yang jelas, sehingga dapat dipetakan dan dirumuskan langkah-langkah strategis yang bisa diambil kedua pihak dalam menangani anak nakal dan ABH.
Labels:
advokasi,
anak,
hak anak,
hukum,
indonesia,
kekerasan,
pendidikan,
penjara,
perlindungan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar di sini.
No SPAM ya.