(Catatan Pendampingan Anak di Rutan Kebonwaru, 29 Oktober 2009)
Di awal pendampingan kami hari ini, kami mendapat kabar gembira beberapa orang anak telah dibebaskan. E (18 tahun), salah seorang di antaranya telah cukup lama mendekam di rutan Kebonwaru karena kasus pelecehan seksual. Dengan wajah yang berseri-seri E menghampiri kami dan berkata,”Aku bebas, Kak”. Kami pun menyambutnya dan menyampaikan beberapa pesan kepadanya.
Memang dalam beberapa minggu terakhir banyak anak yang dibebaskan. Selain karena habis masa penahanan, sebagian anak dibebaskan karena mendapat remisi atau mendapat pembebasan bersayarat.
Bebas boleh dikatakan sebagai puncak kebahagiaan anak-anak yang ditahan ini. Jangankan bebas secara penuh keluar dari kompleks rutan, sekedar keluar sel untuk melakukan beberapa kegiatan pun mereka sudah cukup senang. Anak-anak ini sangat ingin keluar dari kungkungan teralis besi. Bayangkan saja, mereka harus bertumpuk-tumpuk sekira 30-40 orang dalam sel yang sangat kecil. Mereka tak bisa belajar. Mereka pun tak boleh bermain. Padahal, anak-anak ini sangat suka bermain, berkumpul dengan teman-temannya dan butuh belajar. Sayang hanya dengan sebuah kesalahan, segalanya terengut dari mereka, kebebasan juga perhatian dan kasih sayang orang tua mereka. Sebuah harga yang terlalu besar untuk menebus kesalahan mereka.
Sekarang ini, dari sekira 50 orang anak yang ditahan di Rutan Kebonwaru, hanya sekira 5 orang saja yang masa tahanannya cukup lama. Itu pun dalam 2-3 bulan ini anak-anak itu akan segera dibebaskan. Sisanya adalah anak-anak dengan masa tahanan pendek berkisar antara 3-4 bulan.
Dalam hati saya bersyukur ketika dari waktu ke waktu semakin sedikit anak-anak yang mempunyai kasus berat. Meski demikian, saya masih miris dengan nasib anak-anak yang harus mendekam di tahanan. Setelah bebas pun belum tentu kondisi anak-anak ini akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Trauma selama berada di sel akan senantiasa berada dalam ingatan mereka. Belum lagi labelisasi “Anak Nakal” atau “Anak Jahat” seringkali disematkan pada diri mereka.
Masalah pun tak hanya berhenti di sana. Bagi beberapa anak yang masih sekolah dan akan meneruskan pendidikannya, mereka seringkali tidak diterima kembali oleh sekolah di mana semula mereka bersekolah. Tak jarang di antara mereka merasa malu untuk bersekolah lagi, sehingga mereka memutuskan untuk mengambil program kesetaraan Paket B atau Paket C, atau memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan mereka.
Sebagian anak akan kembali kepada orang tua dan keluarganya. Namun, sebagian yang lainnya ada yang tidak kembali kepada keluarganya dengan berbagai alasan. Ada yang memang sudah ditinggalkan oleh orang tuanya, ada juga yang memutuskan untuk tidak kembali kepada keluarganya. Hal ini dikarenakan, anak-anak sudah lama berpisah dengan keluarganya untuk bekerja, atau mereka merasa tidak nyaman dengan kondisi keluarganya.
Ternyata permasalahan anak-anak ini sangatlah kompleks. Tak bijak kalau hanya menilai mereka salah dan menghukumi mereka begitu saja lalu lepas tangan. Andai saja mereka adalah anak-anak kita, apakah kita akan tetap berlepas tangan? Banyak hal yang bisa kita lakukan demi anak-anak yang berhadapan dengan hukum ini. Setidaknya, kita masih menganggap mereka anak-anak biasa tanpa embel-embel label “nakal” atau “jahat”. Lebih jauh lagi kita bisa saling bergandeng tangan melakukan perlindungan bagi anak-anak di sekitar dan melakukan segala yang terbaik bagi mereka. Anak-anak adalah generasi penerus di masa yang akan datang seperti apapun keadaan mereka. Apa jadinya masa depan kalau kita tidak menyayangi dan melindungi anak-anak kita. Wallahu a’lam...