Senin, 12 April 2010
Potret Kecil Anak Berkonflik Dengan Hukum (ABH)
I
stilah Anak Berhadapan dengan Hukum merupakan istilah lain dari Anak yang berkonflik dengan Hukum (AKH). Sebenarnya, dua istilah tadi merupakan ’penyebutan halus’ dari istilah Anak Nakal seperti yang telah diatur dalam UU No.3 1997 Tentang Peradilan Anak, yang menyebutkan bahwa Anak Nakal adalah : a) Anak yang melakukan tindak pidana; atau b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sejauh ini penanganan ABH masih sangat jauh dari pemenuhan hak-hak anak seperti yang termaktub dalam Konvensi Hak Anak (KHA) PBB dan beberapa regulasi tentang anak yang berlaku di Indonesia. Beberapa hal yang hak anak yang diabaikan dari ABH adalah pemenuhan hak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan yang layak, bebas dari diskriminasi dan lain-lain.
Pengabaian terhadap hak ABH dimulai dari proses awal penyidikan. Proses penangkapan, interogasi hingga penahanan seringkali mengabaikan kondisi psikologis anak. Sebagian besar ABH, terlebih yang berasal dari keluarga miskin dan tidak bersekolah, sangat sulit mendapatkan penangguhan penanganan. ABH pun dalam proses persidangan seringkali tidak didampingi oleh seorang pengacara, karena sangat jarang lembaga yang menyediakan pengacara gratis bagi para ABH ini.
Pengabaian hak ABH ini pun berlanjut ketika mereka mesti masuk penjara. Pemenjaraan ini pun telah banyak merengut hak-hak ABH. Dan seringkali ABH tidak mendapatkan layanan yang layak, terutama layanan pendidikan dan kesehatan.
Tidak cukup berhenti di sana. Para ABH di penjara pun seringkali mengalami tindak kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan yang terjadi bisa berbentuk verbal hingga kekerasan secara fisik.
Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi kondisi mental dan psikologis anak. Dalam beberapa pendampingan ABH, seringkali ditemukan anak-anak yang murung, sulit berkonsentrasi, agresif dan sebagainya. Lambat-laun tekanan-tekanan yang terjadi di penjara membawa trauma bagi anak.
Tak hanya sekedar trauma, kondisi yang terjadi di penjara secara jauh berdampak pada apa yang kami sebut sebagai ”Siklus Residivis”. Siklus Residivis adalah sebuah kondisi yang menggambarkan banyak ABH yang sempat bebas melakukan tindak kriminal lagi dan kembali masuk penjara. Dalam beberapa kasus, ABH yang menjadi residivis ini melakukan tindak kriminal yang lebih berat dari kasus sebelumnya.
Beberapa pengabaian hak ABH ini merupakan kejahatan besar dan perilaku zalim bagi sebagian anak-anak kita yang dipaksa kondisi untuk melakukan tindak kriminal. Kondisi seperti ini harus segera dibenahi dengan perspektif yang terbuka dan senantiasa memperhatikan hak-hak anak. Beberapa hal yang harus dilakukan adalah :
1. Menghidupkan nilai-nilai lokal untuk menangani perilaku nakal anak. Langkah ini harus dilakukan karena tidak semua perilaku nakal anak harus dipidanakan.
2. Sistem peradilan anak dari awal penyidikan, penyidangan harus senantiasa memperhatikan kondisi mental, psikologis dan hak-hak anak secara umum.
3. Harus dirumuskan sebuah alternatif lain bagi peradilan anak selain pemenjaraan. Pemenjaraan anak telah merengut banyak hak anak dan sangat mengganggu proses tumbuh-kembang mereka.
Sudah saatnya kita peduli dan memberi kontribusi bagi kebaikan dan masa depan anak siapapun, kapanpun dan di manapun serta dalam kondisi bagaimanapun. (izoel)
Labels:
advokasi,
anak,
hak anak,
hukum,
indonesia,
kekerasan,
pendidikan,
penjara,
perlindungan
Kamis, 08 April 2010
Cuplikan Diskusi Antara Kalyanamandira Dengan Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung
A
cara ini dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB, bertempat di Aula Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, Jl. Ibrahim Adjie , Kiaracondong, Bandung. Acara ini diikuti oleh para pegawai di Balai Pemasyarakatan Klas I Bandung, khususnya para pegawai di Biro Pelayanan Klien Anak.
Obrolan awal berkisar pada proses pendampingan yang dilakukan pendamping Kemasyarakatan (PK) Bapas saat proses penyidikan. PK bekerja sebagai mediator dan fasilitaor bagi ABH dan keluarganya serta membuat Penelitian Masyarakat (Litmas). Bagi Bapas, pemenjaraan adalah alternatif terakhir yang diambil. Dalam prakteknya Bapas mengajukan pertimbangan penanganan perkara melengkapi permohonan penangguhan penahanan dari keluarga ABH. Hal yang menjadi dasar pertimbangan penanganan perkara, PK Bapas senantiasa memasukkan kegiatan-kegiatan positif yang sedang dijalalani ABH, biasanya adalah kegiatan pendidikan formal. Namun, ABH yang masih bersekolah seringkali dikeluarkan atau tidak diterima kembali di sekolahnya. Hal ini mempersulit dalam pengajuan pertimbangan penanganan perkara ABH, khususnya dalam pengajuan penangguhan penahanan. Padahal prasyarat utama ABH mendapat penangguhan penahanan adalah ABH mempunyai kegiatan positif selama menjalani proses penangguhan penahanan, disamping ABH dilarang menghilangkan bukti dan melarikan diri. Kondisi seperti ini pun masih sangat tergantung dengan siapa penyidik dan hakimnya.
Sementara itu, di waktu yang lalu Kalyanamandira (KM) bersama beberapa jejaring/mitra, selain melakukan pendampingan ABH di dalam Rutan, juga melakukan pendekatan dengan keluarga ABH. Sayang, program ini karena beberapa hal tidak diteruskan. Kali ini, KM sedang mengembangkan jejaring untuk melebarkan fungsi/program dalam pembinaan ABH, baik pra, sedang menjalani dan pasca peradilan. Oleh karena itu, perlu dibangun mekanisme penanganan ABH, khususnya untuk memenuhi pendidikan mereka.
Menurut pengakuan salah seorang PK, ABH yang masih belajar di sekolah negeri seringkali tidak diterima kembali atau dikeluarkan oleh pihak sekolah. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan Dinas Pendidikan yang tidak bisa menerima anak ABH. Ia berharap agar LSM-LSM dapat mendorong Dinas Pendidikan agar menghapus kebijakan tadi, atau LSM menyediakan PKBM sebagai tempat belajar ABH selama proses peradilan. Dalam kaitan ini, seringkali praduga tak bersalah tidak diperhatikan.
Kalyanamandira (KM) sejauh ini bersama jejaring lain telah melakukan advokasi pendidikan, namun harus diakui belum secara khusus belum mempunyai rumusan mekanisme pendidikan bagi ABH. Tentang sekolah atau PKBM bagi ABH, KM sedang membangun jejaring dengan komunitas/LSM yang punya PKBM. Sejauh pengalaman KM, beberapa lembaga agak sulit menerima ABH. Ada beberapa di antaranya mau bekerjasama, namun kemudian mereka merasa kerepotan memfasilitasi ABH. KM sendiri seringkali kehilangan kontak dengan ABH yang telah bebas.
Kemudian batas maksimal penyusunan LITMAS adalah 30 hari. Selanjutnya berkas Litmas dilimpahkan ke kejaksaan, lalu ke pengadilan. Secara formal pendampingan anak dan penyusunan Litmas hanya berlangsung selama 30 hari – sejak awal penyidikkan hingga pengadilan - , tetapi lebih dari itu Bapas dapat memberikan saran terkait perkembangan baru ABH atas dasar prinsip “Segala yang terbaik bagi anak”. Setelah keluar vonis (pengadilan), peran PK tergantung keputusan pengadilan atau permohonan keluarga ABH.
Dalam perkembangan lain, KM dan jejaringnya telah sering melakukan advokasi pendidikan secara umum. Sayang terkait ABH, KM belum memiliki gambaran yang komplit, sehingga belum ada mekanisme layanannya. Oleh karena itu, diharapkan BAPAS dapat memberikan argumentasi dan gambaran tentang ABH ini. Sehingga dapat dirumuskan mekanisme layanan bagi ABH, khususnya di bidang pendidikan.
Tentang layanan pendidikan bagi ABH ini, BAPAS menilai bahwa belum ada layanan ”On – Off” di beberapa dinas terkait. Hal ini menyulitkan proses pendampingan dan pemberian layanan bagi ABH.
Ada harapan dari beberapa PK BAPAS, semoga ke depan KM dapat menjadi salah satu lembaga rujukan yang dapat memberikan layanan bagi ABH, khususnya di Biro pendidikan.
KM menyadari banyak orang/pihak yang peduli dengan ABH dan berkeinginan untuk memberikan kontribusi. Namun, sejauh ini karena keterbatasan informasi dan kesulitan untuk mengakses ABH, kepedulian/kontribusi itu agak kurang mendapat tempat.
ABH yang telah bebas seringkali tidak mempunyai kegiatan yang jelas, salah satunya ketidak jelasan pendidikannya. Masalah sering muncul apabila ABH divonis kembali kepada keluarga, dan ia tidak memiliki kegiatan positif (khususnya sekolah formal) yang jelas. Adapun, ABH yang diputus hakim untuk mengikuti pendidikan dan latihan kerja, seharusnya telah memiliki rujukan tempat bagi anak untuk belajar dan latihan. Namun, sejauh ini belum banyak lembaga yang bersedia menjadi tempat rujukan ini.
Sebuah masukan dari Kepala Bapas menyatakan bahwa, layanan pendidikan bagi ABH tidak hanya pendidikan formal saja. Seperti pengalamannya ketika bertugas di Malang, ABH disalurkan sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakatnya.
Di akhir diskusi, BAPAS dan KM sepakat untuk membangun mekanisme saluran informasi dua arah yang jelas, sehingga dapat dipetakan dan dirumuskan langkah-langkah strategis yang bisa diambil kedua pihak dalam menangani anak nakal dan ABH.
Labels:
advokasi,
anak,
hak anak,
hukum,
indonesia,
kekerasan,
pendidikan,
penjara,
perlindungan
Rabu, 07 April 2010
Jangan Jatuhkan Pidana kepada Anak
Anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya tidak dijatuhi pidana seperti halnya orang dewasa, tetapi dengan tindakan yang bersifat pembinaan. Jika terpaksa dijatuhi pidana karena terlibat kasus berat, seharusnya anak diberi hukuman yang bersifat mendidik.
Demikian dikemukakan saksi ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Surastini, dalam sidang lanjutan uji materi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/4) di Jakarta.Pada akhir Desember 2009, KPAI mengajukan uji materi kepada MK untuk menghapuskan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dinilai mengkriminalisasi anak. Pasal-pasal dalam UU itu dinilai memberikan legitimasi dan memudahkan menjatuhkan pidana pada anak, yakni pada Pasal 1 tentang definisi anak, Pasal 4 tentang usia pertanggungjawaban hukum, Pasal 5 tentang penyidikan, Pasal 22 dan 23 tentang pemidanaan, serta Pasal 31 tentang pemenjaraan.
Pengajuan uji materi ini dipicu meningkatnya kasus anak berhadapan dengan hukum, terutama ketika 10 anak berusia 10-12 tahun di Tangerang yang divonis bersalah karena berjudi di Bandara Soekarno-Hatta. Selain itu, juga ada kasus Raju di Sumatera Utara yang menganiaya temannya. Berdasarkan catatan KPAI, setiap tahunnya terdapat sekitar 6.000 kasus anak yang diproses hukum, 3.800 di antaranya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP), tahanan kantor polisi, bahkan, dicampur di LP bersama orang dewasa.
Menambahkan keterangan Surastini, saksi ahli Fentiny Nugroho dari Ilmu Kesejahteraan FISIP-UI, mengingatkan, anak yang berhadapan dengan hukum justru korban dari lingkungan sekitarnya dan tidak dapat dipersalahkan. Perilaku anak tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, penanganan anak itu pun tidak bisa dengan pidana.
”Ada pengaruh keluarga atau lingkungan dalam perilaku anak. Ada konteks sosialnya sehingga pendekatannya seharusnya dengan keadilan restoratif dengan mengembalikan anak ke orangtua, diwajibkan melakukan pekerjaan sosial, atau dipaksa masuk ke institusi pendidikan,” ujar Fentiny.
Dalam sesi dengar kesaksian para saksi ahli kasus kriminal anak itu, anggota majelis hakim, M Akil Mochtar, menyinggung batasan anak nakal atau anak yang dikategorikan nakal. Sementara anggota majelis hakim, Muhammad Alim, menyinggung efektivitas tindakan pidana bagi anak. ”Apakah pidana untuk anak itu perlu ada karena justru akan mengganggu tumbuh kembang anak,” kata Alim.
Seusai sidang, kuasa hukum dari KPAI, Muhammad Joni, menekankan perlunya memprioritaskan penerapan keadilan restoratif dengan tindakan dan bukan dengan pidana terhadap anak.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/08/03522123/
http://www.qbheadlines.com/img/uploaded/thumbs/8723penjara-lead200.jpg
Labels:
advokasi,
anak,
hak anak,
hukum,
indonesia,
pendidikan,
penjara,
perlindungan
Kamis, 18 Februari 2010
Crowded
(Catatan pendampingan anak di Rumah Tahanan Kebonwaru, 11 Februari 2010)
Dalam beberapa tulisan saya terdahulu, saya pernah gambarkan bagaimana kecil dan sempitnya Ruang Pendidikan yang biasa kami gunakan untuk berkegiatan bersama anak-anak di Rumah Tahanan Kebonwaru. Ukurannya tidak lebih besar dari setengahnya lpangan futsal. Padahal seyogyanya ruangan ini dapat member ruang yang cukup bagi kami dan anak-anak yang jumlah sempat melebihi angka 100 orang. Selain itu, ruangan ini pun menempel dan hanya dibatasi deretan lemari dengan Ruang Seksi Bantuan Hukum (Bankum). Sehingga, seringkali kami agak kurang leluasa dalam berkegiatan.
Masalah pun tak hanya berhenti pada keterbatasan ruang dalam proses pendampingan, kami pun masih berkutat pada masalah minimnya relawan yang dapat bersama kami melakukan pendampingan. Sejauh ini hanya ada 5 – 6 orang saja yang dapat secara rutin melakukan pendampingan. Padahal, kami harus memandu anak sekira 60 – 80 orang. Beberapa waktu yang lalu, anak-anak sempat berjumlah di atas 100 orang, dan semuanya masuk ruangan. Ruangan pun penuh sesak dan kami merasa tidak optimal dalam berkegiatan.
Kejadian yang hampir serupa terjadi sekarang. Namun, kali ini justeru pendamping/relawan yang banyak. Sehingga, Ruang Pendidikan yang sempit ini harus menampung hampir dua kali lipat jumlah orang dari biasanya.
Dua hari yang lalu, Kang Dan sempat mengabari saya tentang kedatangan para mahasiswa dari Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) Universitas Padjadjaran (Unpad). Saat itu saya berpikir jumlah mereka berkisar 5 – 6 orang, seperti beberapa orang mahasiswa yang pernah melakukan hal yang hampir serupa di Rutan. Namun, ternyata jumlah mereka mencapai 50 orang banyaknya. Bayangkan bagaimana sesaknya, ketika semua mahasiswa itu bersama kami dan anak-anak memasuki Ruang Pendidikan.
Di awal kegiatan, saya berucap salam sekaligus memperkenalkan diri dan menjelaskan proses pendampingan yang selama ini Yayasan Kalyanamandira telah lakukan. Kemudian saya menjelaskan proses pendampingan yang akan kami lakukan bersama anak-anak pada hari ini.
Semula kami akan melakukan aktivitas yang kami sebut dengan “Musik Tubuh”. Namun, dengan beberapa pertimbangan kegiatan tersebut kami batalkan. Dan kami hanya melakukan sebuah game sederhana, lalu anak-anak dibagi ke dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 6 – 7 orang.
Dalam kelompok-kelompok ini, anak-anak dipandu para pendamping dan para mahasiswa FIK Unpad mencoba merefleksikan apa yang bisa mereka lakukan dengan anggota tubuh mereka. Sebenarnya, proses ini agak berbeda dari skenario yang telah kami siapkan sebelumnya. Sehingga, harus kami katakan bahwa prosesnya kurang bisa mencapai target yang diharapkan. Namun, kami harus lebih bersyukur, bahwa dalam beberapa waktu terakhir ini banyak pihak dari luar Rutan yang sengaja datang mengunjungi anak-anak. Hal ini dapat mendorong nilai positif pada diri anak, setidaknya mereka dapat menghilangkan perasaan bahwa diri mereka ‘terbuang’ dari masyaraat, toh masih ada sekelompok kecil masyarakat yang peduli kepada mereka.
Kegiatan hari ini pun ditutup dengan relaksasi dan perenungan yang dihantarkan oleh Bram.
Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, dengan kondisi ruangan yang sangat sempit dan terlalu penuh sesak telah membuat proses pendampingan kurang berjalan sesuai harapan. Namun, saya sudah sangat senang melihat binar-binar berseri wajah anak-anak ketika mereka bertemu kembali. Semoga tetap berseri ketika mereka kembali kepada keluarga mereka dan masyarakat.
izoel.11022010
Labels:
advokasi,
anak,
hak anak,
hukum,
indonesia,
kekerasan,
pendidikan,
penjara,
perlindungan
Kamis, 11 Februari 2010
THE PROFESSION
Akhirnya, setelah dua minggu kami tidak mendapatkan waktu yang cukup lapang dalam mendampingi anak-anak di Rumah Tahanan Kebonwaru, Kamis 4 Februari 2010 ini kami kembali dapat mendampingi anak-anak sesuai dengan rencana sebelumnya. Dalam dua Kamis sebelumnya, program kami agak terganggu dengan situasi di dalam Rutan, seperti adanya razia dan pergantian jabatan.
Hari ini, dibantu lagi beberapa teman dari UNISBA yang dalam beberapa bulan yang turut juga dalam pendampingan. Mereka adalah, Yulia, Dewi dan Mayene. Ketiganya bersama Anita dan saya memandu anak-anak untuk mengeksplorasi cita-cita mereka melalui sebuah game kolosal yang diberi nama “The Profession”.
Dalam kegiatan ini, Yulia menjadi pemandu utama keseluruhan proses. Ia membuka kegiatan dengan salam pembuka dan sebuah game yang dinamai “Bola Granat”, dimana anak-anak saling melempar dan menangkap bola dengan tidak diperkenankan bola itu terjatuh atau lepas. Bila salah seorang anak tidak dapat menangkap bola hingga terjatuh, maka ia akan mendapat hukuman.
Selanjutnya, anak-anak dikelompokkan dengan nama-nama grup band yang terkenal. Caranya, setiap anak memegang satu potongan gambar dari beberapa puzzle foto-foto grup band. Anak-anak berkumpul dan berkelompok sesuai dengan gambar-gambar grup band yang mereka dapatkan.
Setelah anak-anak berkelompok, mereka diminta menempelkan beberapa gambar yang menunjukkan beberapa profesi/pekerjaan di selembar karton. Kemudian, anak-anak dipersilahkan untuk mewarnai gambar-gambar profesi tersebut.
Di setiap karton yang dipegang oleh setiap kelompok, terdapat 9 profesi dengan beberapa perangkat kerja yang berbeda-beda. Nah pada tahapan ini, anak-anak dalam kelompoknya masing-masing dipandu untuk menempelkan gambar-gambar alat/perangkat yang sesuai dengan beberapa gambar profesi yang telah ditempelkan. Anak-anak diminta menempelkan gambar-gambar perangkat tersebut minimal 5 gambar untuk setiap profesi.
Dalam tahapan game selanjutnya, setiap kelompok diminta untuk menunjuk 2 orang wakil kelompok untuk mengambil beberapa pernyataan yang ada di tangan Yulia. Pernyataan-pernyataan tersebut berisi sikap atau karakter yang dapat mendukung atau diperlukan profesi-profesi yang telah ditempelkan.
Pada tahapan akhir game “The Profession”, anak-anak di setiap kelompok dipandu oleh para pendamping saling memberikan pandangan akhir atau refleksi dari keseluruhan proses permainan yang telah dilakukan.
Keseluruhan proses pendampingan hari ini, sebenarnya diarahkan untuk mengeksplorasi sebanyak-banyaknya cita-cita dari setiap anak. Kemudian, anak-anak pun dipandu untuk memahami segala hal yang dibutuhkan dalam pencapaian cita-cita masing-masing anak, baik yang bersifat materil maupun imateril. Sehingga, anak-anak didorong untuk senantiasa berpikir positif dan menyiapkan segala hal agar cita-cita mereka dapat tercapai. Wallahu a’lam….
Izoel.04022010
Hari ini, dibantu lagi beberapa teman dari UNISBA yang dalam beberapa bulan yang turut juga dalam pendampingan. Mereka adalah, Yulia, Dewi dan Mayene. Ketiganya bersama Anita dan saya memandu anak-anak untuk mengeksplorasi cita-cita mereka melalui sebuah game kolosal yang diberi nama “The Profession”.
Dalam kegiatan ini, Yulia menjadi pemandu utama keseluruhan proses. Ia membuka kegiatan dengan salam pembuka dan sebuah game yang dinamai “Bola Granat”, dimana anak-anak saling melempar dan menangkap bola dengan tidak diperkenankan bola itu terjatuh atau lepas. Bila salah seorang anak tidak dapat menangkap bola hingga terjatuh, maka ia akan mendapat hukuman.
Selanjutnya, anak-anak dikelompokkan dengan nama-nama grup band yang terkenal. Caranya, setiap anak memegang satu potongan gambar dari beberapa puzzle foto-foto grup band. Anak-anak berkumpul dan berkelompok sesuai dengan gambar-gambar grup band yang mereka dapatkan.
Setelah anak-anak berkelompok, mereka diminta menempelkan beberapa gambar yang menunjukkan beberapa profesi/pekerjaan di selembar karton. Kemudian, anak-anak dipersilahkan untuk mewarnai gambar-gambar profesi tersebut.
Di setiap karton yang dipegang oleh setiap kelompok, terdapat 9 profesi dengan beberapa perangkat kerja yang berbeda-beda. Nah pada tahapan ini, anak-anak dalam kelompoknya masing-masing dipandu untuk menempelkan gambar-gambar alat/perangkat yang sesuai dengan beberapa gambar profesi yang telah ditempelkan. Anak-anak diminta menempelkan gambar-gambar perangkat tersebut minimal 5 gambar untuk setiap profesi.
Dalam tahapan game selanjutnya, setiap kelompok diminta untuk menunjuk 2 orang wakil kelompok untuk mengambil beberapa pernyataan yang ada di tangan Yulia. Pernyataan-pernyataan tersebut berisi sikap atau karakter yang dapat mendukung atau diperlukan profesi-profesi yang telah ditempelkan.
Pada tahapan akhir game “The Profession”, anak-anak di setiap kelompok dipandu oleh para pendamping saling memberikan pandangan akhir atau refleksi dari keseluruhan proses permainan yang telah dilakukan.
Keseluruhan proses pendampingan hari ini, sebenarnya diarahkan untuk mengeksplorasi sebanyak-banyaknya cita-cita dari setiap anak. Kemudian, anak-anak pun dipandu untuk memahami segala hal yang dibutuhkan dalam pencapaian cita-cita masing-masing anak, baik yang bersifat materil maupun imateril. Sehingga, anak-anak didorong untuk senantiasa berpikir positif dan menyiapkan segala hal agar cita-cita mereka dapat tercapai. Wallahu a’lam….
Izoel.04022010
Labels:
advokasi,
anak,
hak anak,
hukum,
indonesia,
kekerasan,
pendidikan,
penjara,
perlindungan
Langganan:
Postingan (Atom)