Selasa, 12 Januari 2010

Pemerintah Siapkan SOP Hukuman Anak Yang Restoratif



Pemerintah menyiapkan prosedur operasional standar untuk penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum guna mendukung penerapan model penghukuman yang bersifat restoratif.

"Akan segera disusun SOP-nya, kemudian disosialisasikan," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari usai memimpin rapat koordinasi penanganan anak berhadapan dengan hukum di Jakarta, Senin (11/1).

Asisten Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bidang Perlindungan Anak Sutarti Sudewo menjelaskan, penyusunan prosedur standar itu merupakan tindak lanjut dari penerbitan surat keputusan bersama tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.

Surat keputusan bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Sosial serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu ditetapkan pada 22 Desember 2009.

"Tiap-tiap lembaga saat ini mungkin sudah punya prosedur penanganan, tapi masing-masing berdiri sendiri, sehingga kadang tidak nyambung satu sama lain. Karena itu dibikin SOP terpadu bersama-sama," kata Sutarti.

Standar prosedur terpadu itu, ia menjelaskan, selanjutnya akan menjadi panduan bersama seluruh instansi dalam menangani anak-anak yang berhadapan dengan hukum dengan model penghukuman restoratif.

Pemerintah, kata dia, juga akan menyelenggarakan pelatihan bagi aparat penegak hukum dan petugas dari instansi terkait yang bertugas melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang bermasalah dengan hukum.

"Intinya tahun ini lembaga terkait disiapkan untuk menjalankan fungsinya, Departemen Sosial misalnya, harus menyiapkan fasilitas rehabilitasi dan pendamping. Tapi sementara persiapan, hal-hal yang sudah bisa diterapkan dilaksanakan," katanya.

Ia menambahkan selama ini model penghukuman yang bersifat restoratif sudah diterapkan pada beberapa kasus hukum yang melibatkan anak. "Beberapa kasus di Pengadilan Negeri Jakarta Barat sudah diselesaikan dengan model itu," katanya.

Pemerintah berusaha menerapkan model penghukuman yang bersifat restotarif (restorative justice) untuk menangani anak-anak yang berhadapan dengan hukum, khususnya untuk kasus-kasus hukum ringan. "Supaya untuk kasus-kasus hukum ringan, anak-anak tidak harus dikenai hukuman penjara lagi," kata Sutarti.

Model penyelesaian perkara pidana anak tertentu dengan melibatkan pelaku, korban, orang tua, penegak hukum dan tokoh masyarakat itu ditujukan untuk menyelesaikan masalah hukum anak dengan mengindahkan pemenuhan hak-hak anak.

Pendekatan itu diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan korban dan memberi mereka kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan rasa hormat dari masyarakat.

Jumlah anak yang harus berhadapan dengan hukum cukup banyak, menurut data sementara Markas Besar Kepolisian RI, selama tahun 2008 ada 811 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena beberapa masalah diantaranya penganiayaan, pencurian, pemerasan, pencabulan, perkosaan, dan pelecehan seksual.

Sementara menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah anak yang harus menjalani hukuman di rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan untuk anak meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2004, penghuni rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan anak sebanyak 3.653 anak dan meningkat menjadi 4.301 anak pada 2007.


sumber :
http://www.krjogja.com/krjogja/news/detail/15001/Pemerintah.Siapkan.SOP.Hukuman.Anak.Yang.Restoratif.html

Patrialis: Anak-Anak Terlibat Hukum Tidak Akan Dipenjara



5 Departemen dan Kepolisian membuat gebrakan baru. Bagi anak-anak yang terlibat kasus hukum kini tidak akan dijebloskan ke penjara. Anak-anak itu akan diarahkan ke panti sosial.

"Nantinya anak-anak yang melakukan atau terlibat hukum tidak masuk penjara. Tetapi kita arahkan ke panti sosial. Karena anak masuk penjara begitu keluar malah tidak bagus, melainkan malah menjadi tidak baik," kata Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar.

Hal ini disampaikan dia usai acara penandatanganan MoU Kesepakatan 6 Departemen/Polri tentang perlindungan dan rehabilitasi sosial anak yang berhadapan dengan hukum di Departemen Sosial, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Selasa (15/12/2009).

Dikatakan dia, Depkum HAM bersama Departemen Sosial, Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan Kepolisian akan membuat panti sosial bagi anak yang melakukan tindak pidana.

"Tetapi untuk anak yang melakukan tindak pidana kategori berat akan tetap dididik di lembaga pemasyarakatan," ujar dia.

Menurut dia, jumlah anak yang terlibat hukum ada sekitar 5.000 anak. "Dan nantinya, kita akan sediakan sarana pendidikan bagi anak-anak di Lapas," kata politisi PAN ini.

Selain itu, advokasi buat anak penting. "Nanti jika anak terlibat masalah hukum harus didampingi Balai Pemasyarakatan Anak dan dari LBH," kata Patrialis.

Acara ini juga dihadiri Mensos Salim Segaf Al Jufri, Menag Suryadharma Ali, perwakilan dari Depkes, Depdiknas dan Kepolisian.


sumber :
http://www.detiknews.com/read/2009/12/15/141430/1260474/10/patrialis-anak-anak-terlibat-hukum-tidak-akan-dipenjara

Rabu, 30 Desember 2009

Restorative Justice Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (AKH)

Sebuah ketidak adilan membiarkan anak yang berkonflik dengan hukum dimintakan pertanggungjawaban hukum yang melebihi kemampuan personal anak. Kematangan moral dan psikologis anak akan tidak berkembang secara wajar apabila dia berhadapan dengan realitas penjara dan proses peradilan anak yang hingga kini masih mengandung unsur kekerasan, isolasi keluarga, tidak dipisahkan dengan tahanan/terpidana dewasa, dan sejumlah daftar tindakan kontra hak anak dari aparatur penegak hukum.
Seringkali perbuatan yang dilakukan anak hanya kenakalan saja bukan kejahatan (kriminal). Menurut kamus hukum, kenakalan anak atau Juvenile Delinquency hanyalah suatu ”Antisocial behaviour by a minor; esp..., behaviour that would be criminally punishable if the actor were an adult, but instead is usu. Punished by special laws pertaining only to minor”.
Terdapat dua kategori perilaku anak yang membuatnya berhadapan dengan hukum yakni status offender dan juvenile delinquency. Status offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan. Contohnya tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah. Sedangkan juvenile delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan.
Mengacu pada UU No 39/ 1999 tentang HAM dan UU No 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak serta secara konkrit diwujudkan dalam UU No 3/1997 tentang Peradilan Anak, semestinya proses hukum bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum masuk dalam sistem peradilan pidana terpadu yang mengutamakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Persidangan anak dilakukan tertutup dengan hakim tunggal. Hakim, jaksa, dan penasihat hukum tidak menggunakan pakaian dinas atau toga. Pidana yang dapat dijatuhkan bagi mereka paling lama separuh dari ancaman maksimal pidana penjara orang dewasa. Anak juga mendapatkan perlindungan pemberitaan atas identitas mereka.
Namun pada kenyataannya, sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum masih sedikit yang mendapatkan bantuan hukum sejak awal proses hukum. Kasus-kasus anak pun masih ditangani oleh penyidik umum, di luar unit Perlindungan Perempuan Anak (PPA). Oleh karenanya, perlu dihindari penghukuman tidak manusiawi yang menjatuhkan martabat anak dan penjara sebagai upaya terakhir (Pasal 16 UU Perlindungan Anak).
Pada perkembangan lain, lahirlah model penghukuman yang bersifat restoratif (restorative justice). Kelompok Kerja Peradilan Anak PBB mendefinisikan restorative justice system sebagai suatu proses di mana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang.
Restorative justice pada dasarnya dapat dilakukan dengan diskresi dan diversi. Diskresi merupakan kewenangan kepolisian secara legal untuk meneruskan atau menghentikan suatu perkara. Sedangkan Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana. Tujuan memberlakukan diversi adalah menghindarkan proses penahanan terhadap anak dan pelabelan anak sebagai penjahat. Anak didorong untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.
Penerapan restorative justice menekankan pada kemauan murni dari pelaku untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya sebagai bentuk rasa tanggung jawab. Perbaikan kerugian harus proporsional dengan memperhatikan hak dan kebutuhan korban. Untuk menghasilkan kesepakatan para pihak tersebut, perlu dilakukan dialog-dialog informal seperti mediasi dan musyawarah. Keterlibatan anggota komunitas yang relevan dan berminat secara aktif sangat penting dalam bagian ini sebagai upaya penerimaan kembali si anak dalam masyarakat.
Restorative justice memang masih kurang terdengar gaungnya di masyarakat. Masih jarang metode ini diterapkan pada penyelesaian kasus-kasus pidana yang mendudukan anak-anak sebagai pelaku. Selama ini anak yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan secara pidana pula, yakni dengan pemenjaraan. Padahal, metode pemenjaraan sejauh ini tidak selalu berhasil memberi efek jera pada diri anak-anak. Di samping itu, pemenjaraan telah memasung sebagian besar hak anak.
Pada intinya, fokus restorative justice adalah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan masyarakat, serta mengembalikan pelaku kepada masyarakat. Upaya ini membutuhkan kerja sama semua stakeholders dan aparat penegak hukum dalam rangka perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.


Izoel.261209

Minggu, 27 Desember 2009

Ini Penjara, Bung! (Bagian 2)

Dua hari yang lalu, Anita menyampaikan selembar surat yang ditulis oleh salah seorang anak yang berada di Rumah Tahanan Kebonwaru Bandung. Anak itu mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada kami yang telah mendampinginya dan kawan-kawan senasibnya di Rutan. Ia merasa pendampingan kami telah dapat memberi motivasi kepada mereka. Ia mengaku selama ditahan, ia telah banyak kehilangan motivasi dan harapan dalam hidup. Ia merasa diasingkan dari kehidupannya sehari-hari.
Itulah pengakuan dari salah seorang anak di Rutan Kebonwaru yang selama ini kami dampingi. Kami tidak bermaksud menceritakan sejauh mana manfaat pendampingan kami terhadap anak di Rutan. Namun, kami ingin mengajak pembaca sekalian untuk memperhatikan segala hal yang dirasakan oleh anak-anak ini selama berada dalam tahanan.
Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang anak dalam surat tadi, mereka seringkali kehilangan motivasi dan semangat hidup. Mereka pun merasa kehilangan harapan dan tak bisa lagi mengejar cita-cita mereka. Tak jarang mereka merasa dijauhkan atau diasingkan dari keluarga, teman-teman dan lingkungannya, karena sangat minimnya interaksi mereka dengan dunia luar.
Kenyataan ini berpengaruh pada kondisi mereka selama berada di tahanan, termasuk ketika anak-anak ini mengikuti kegiatan kami. Dalam setiap kegiatan kami, selalu saja ada anak-anak yang murung dan kurang antusias mengikuti kegiatan. Ada juga anak-anak yang nampak kehilangan orientasi.
Selain itu, nampak pula pada diri anak selama proses pendampingan gejala-gejala agresivitas yang kadang-kadang meluap-meluap. Agresivitas pada diri anak ini diwujudkan dalam bentuk kata-kata kasar, menyindir atau mengejek. Ada juga yang berupa perilaku yang tidak pada tempatnya hingga tindakan kasar seperti mendorong, memukul atau menendang.
Anak-anak sering mengekspresikan perasaan-perasaan mereka dalam berbagai bentuk, ada lewat tulisan, gambar, dan lain-lain. Sebagian seringkali mengidentikan mereka lekat dengan jalanan, dunia hitam atau kejahatan. Pengidentikan seperti ini nampak pada simbol-simbol yang mereka tunjukkan pada gambar yang mereka buat di media-media yang kami sediakan atau pada kaos-kaos yang mereka pakai.
Sebagian anak di Rutan Kebonwaru mempunyai tato di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian dari mereka ada yang telah memiliki tato sejak sebelum mereka ditahan, dan sebagian lain baru membuat tato selama berada di penjara. Sebagian anak membuat alat-alat pembuat tato sendiri selama berada di penjara dengan beberapa benda yang mereka temukan, misalnya, dengan batere bekas dan beberapa benda logam. Sebagai tintanya, mereka seringkali menggunakan tinta pulpen atau spidol.
Tak hanya itu, dalam beberapa kesempatan pendampingan, kami menemukan beberapa anak yang nampak mabuk. Ternyata, dari pengakuan dan kesaksian sebagian anak, beberapa orang dari mereka kadang-kadang bermabuk-mabukan baik dengan minuman, ganja atau obat-obatan. Karena beberapa keterbatasan, sebagian anak acapkali mabuk dengan mencampur beberapa obat yang menjadi ‘resep rutin’ Klinik Rutan. Disebut ‘resep rutin’ karena seringkali tahanan yang sakit dan diobati di klinik itu mendapatkan resep yang hampir sama untuk penyakit yang beragam.
Sebuah kenyataan yang cukup tragis dan harus diterima sebagian anak-anak kita. Kondisi di atas masih harus ditambah dengan interaksi tahanan anak-anak ini dengan para tahanan dewasa, karena mereka berada dalam satu kompleks penjara. Dan Rutan Kebonwaru hampir tidak jauh berbeda kondisinya dengan penjara-penjara lainnya yang tidak amak bagi anak. Ini penjara, Bung. Bukan tempat yang layak bagi anak!

Senin, 21 Desember 2009

PENANGANAN KASUS KRIMINAL ANAK


Sebuah data yang dilansir oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan , bahwa pelaku kriminal dari kalangan remaja dan anak-anak meningkat pesat. Berdasarkan data yang ada, terhitung sejak Januari hingga Oktober 2009, meningkat 35% dibandingkan tahun sebelumnya. Pelakunya rata-rata berusia 13 hingga 17 tahun. Data ini menyebutkan, mulai Januari hingga Oktober jumlah kasus kriminal yang dilakukan anak-anak dan remaja tercatat 1.150, sementara pada 2008 hanya 713 kasus. Ini berarti ada peningkatan 437 kasus. Adapun jenis kasus kejahatan itu antara lain pencurian, narkoba, pembunuhan dan pemerkosaan.
Meski demikian, walau ada peningkatan kasus kriminal oleh anak dan remaja, kasus kekerasan terhadap anak dan remaja cenderung menurun. Pada 2008, kasus seksual yang menimpa anak-anak tercatat 6.999 kasus. Pada Januari-Oktober 2009 hanya 488 kasus. Sementara kasus kekerasan fisik terhadap anak pada 2008 tercatat 4.818, pada 2009 ini turun menjadi 394 kasus.
Kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan remaja pada 2008 mengakibatkan 208 anak mengalami cedera ringan cedera berat 493 orang, dan meninggal 101 orang. Pada 2009, yang cedera ringan 123 orang, cedera berat 52 orang, dan meninggal 210 orang.
Peningkatan kasus kriminal yang dilakukan anak dan remaja ini disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain, kurangnya kasih sayang dan perhatian dari keluarga serta kurangnya pembinaan dari orangtua. Selain itu, masalah kemiskinan dan pergaulan juga menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak kriminal anak.
Meski peningkatan kasus kriminal anak sangat tinggi, hingga kini pemerintah belum memiliki rumah pembinaan khusus bagi anak-anak yang bermasalah. Sejauh ini, pemerintah hanya memasukkan anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) ke dalam sel-sel Rumah Tahanan (Rutan) atau Lembaga Pemasyarakatan (LP). Padahal, Rutan bahkan LP Anak sekalipun tidak mampu memenuhi hak-hak anak, khususnya hak kebebasan dan hak tumbuh-kembang anak. Hal ini pun masih harus ditambah dengan sebagian besar anak-anak yang ditahan harus berbaur dengan para tahanan dewasa.
Semestinya penanganan hukum terhadap anak harus tetap memperhatikan beberapa hal, seperti aspek psikologis, mengedepankan sosialisasi hukum, pendampingan psikologis, pemisahan tempat penahanan hingga pendampingan pengacara. Beberapa hal tadi harus dilakukan karena penanganan tanpa diimbangi program terpadu terkait pendidikan, kesehatan, bimbingan psikologis, dan keterlibatan komunitas akan mendorong kecenderungan anak untuk mengulangi perbuatan yang melanggar hukum.     
Untuk menjalankan beberapa langkah di atas, pemerintah perlu melakukan koordinasi lintas dinas khususnya dinas pendidikan, dinas sosial, dan dinas kesehatan yang bekerja sama dengan aparat kepolisian. Di samping itu, harus juga melibatkan seluruh stakeholder terkait dan masyarakat.
Namun, segala hal yang kita lakukan akan percuma bila kita tidak secara terbuka untuk memahami anak dan hak-hak mereka. Maka, pemahaman yang terbuka didasari kasih sayang terhadap anak-anak kita dan hak-hak mereka akan memunculkan sikap, perlakuan dan kebijakan yang lebih komperehensif terhadap anak, termasuk di dalamnya anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Kita pun harus menghindari labelisasi ‘anak nakal’ atau ‘anak jahat’, meskipun mereka telah melakukan suatu kesalahan. Hal ini dapat mendorong nilai-nilai positif pada diri anak, bukan sebaliknya. Wallahu a’lam....

Izoel.2212009