Sebuah ketidak adilan membiarkan anak yang berkonflik dengan hukum dimintakan pertanggungjawaban hukum yang melebihi kemampuan personal anak. Kematangan moral dan psikologis anak akan tidak berkembang secara wajar apabila dia berhadapan dengan realitas penjara dan proses peradilan anak yang hingga kini masih mengandung unsur kekerasan, isolasi keluarga, tidak dipisahkan dengan tahanan/terpidana dewasa, dan sejumlah daftar tindakan kontra hak anak dari aparatur penegak hukum.
Seringkali perbuatan yang dilakukan anak hanya kenakalan saja bukan kejahatan (kriminal). Menurut kamus hukum, kenakalan anak atau Juvenile Delinquency hanyalah suatu ”Antisocial behaviour by a minor; esp..., behaviour that would be criminally punishable if the actor were an adult, but instead is usu. Punished by special laws pertaining only to minor”.
Terdapat dua kategori perilaku anak yang membuatnya berhadapan dengan hukum yakni status offender dan juvenile delinquency. Status offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan. Contohnya tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah. Sedangkan juvenile delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan.
Mengacu pada UU No 39/ 1999 tentang HAM dan UU No 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak serta secara konkrit diwujudkan dalam UU No 3/1997 tentang Peradilan Anak, semestinya proses hukum bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum masuk dalam sistem peradilan pidana terpadu yang mengutamakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Persidangan anak dilakukan tertutup dengan hakim tunggal. Hakim, jaksa, dan penasihat hukum tidak menggunakan pakaian dinas atau toga. Pidana yang dapat dijatuhkan bagi mereka paling lama separuh dari ancaman maksimal pidana penjara orang dewasa. Anak juga mendapatkan perlindungan pemberitaan atas identitas mereka.
Namun pada kenyataannya, sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum masih sedikit yang mendapatkan bantuan hukum sejak awal proses hukum. Kasus-kasus anak pun masih ditangani oleh penyidik umum, di luar unit Perlindungan Perempuan Anak (PPA). Oleh karenanya, perlu dihindari penghukuman tidak manusiawi yang menjatuhkan martabat anak dan penjara sebagai upaya terakhir (Pasal 16 UU Perlindungan Anak).
Pada perkembangan lain, lahirlah model penghukuman yang bersifat restoratif (restorative justice). Kelompok Kerja Peradilan Anak PBB mendefinisikan restorative justice system sebagai suatu proses di mana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat di masa yang akan datang.
Restorative justice pada dasarnya dapat dilakukan dengan diskresi dan diversi. Diskresi merupakan kewenangan kepolisian secara legal untuk meneruskan atau menghentikan suatu perkara. Sedangkan Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana. Tujuan memberlakukan diversi adalah menghindarkan proses penahanan terhadap anak dan pelabelan anak sebagai penjahat. Anak didorong untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.
Penerapan restorative justice menekankan pada kemauan murni dari pelaku untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya sebagai bentuk rasa tanggung jawab. Perbaikan kerugian harus proporsional dengan memperhatikan hak dan kebutuhan korban. Untuk menghasilkan kesepakatan para pihak tersebut, perlu dilakukan dialog-dialog informal seperti mediasi dan musyawarah. Keterlibatan anggota komunitas yang relevan dan berminat secara aktif sangat penting dalam bagian ini sebagai upaya penerimaan kembali si anak dalam masyarakat.
Restorative justice memang masih kurang terdengar gaungnya di masyarakat. Masih jarang metode ini diterapkan pada penyelesaian kasus-kasus pidana yang mendudukan anak-anak sebagai pelaku. Selama ini anak yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan secara pidana pula, yakni dengan pemenjaraan. Padahal, metode pemenjaraan sejauh ini tidak selalu berhasil memberi efek jera pada diri anak-anak. Di samping itu, pemenjaraan telah memasung sebagian besar hak anak.
Pada intinya, fokus restorative justice adalah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan masyarakat, serta mengembalikan pelaku kepada masyarakat. Upaya ini membutuhkan kerja sama semua stakeholders dan aparat penegak hukum dalam rangka perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.
Izoel.261209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar di sini.
No SPAM ya.