Jumat, 23 Oktober 2009
Menyoal Hak Anak
Pertanyaan besar tentang hak anak, khususnya yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang diakui oleh hampi seluruh negara di dunia, mencuat dalam sebuah obrolan kecil pada suatu sore di Sekretariat Kalyanamandira, 22 Oktober lalu. Pertanyaan ini muncul ketika seringkali KHA ini berseberangan dengan nilai-nilai dan realitas lokal.
Beberapa prinsip yang terdapat dalam KHA di antaranya adalah hak anak untuk tumbuh-kembang, non-diskriminatif, hak mendapatkan perlindungan dari orang-orang dewasa, hak berpartisipasi, hak mendapatkan pengakuan dari negara, tidak mendapat kekerasan dan segala yang terbaik dari anak. Namun, dalam kenyataannya prinsip-prinsip ini tidak selaras atau diabaikan oleh sebagian besar warga dunia, khususnya di Indonesia.
Di lingkungan kita sering terjadi pengabaian beberapa prinsip yang terjadi pada KHA, misalnya, mempekerjakan anak-anak, minimnya tingkat partisipasi anak baik di ruang publik maupun di ruang keluarga, pilihan beragama dan lain-lain.
Pada suatu ketika ada salah seorang anak berumur 7 tahun berdiri di atas tembok dengan tenangnya. Bila menilik beberapa prinsip KHA di atas, seyogyanya kita – orang-orang dewasa – membiarkannya toh itu adalah hak asasinya. Namun, kita akan terdorong untuk mengintervensi dan menarik anak itu dari atas tembok karena berbahaya tanpa berdialog dulu dengannya.
Atau suatu ketika, dua orang anak bertengkar dan saling menghina satu sama lain. Dalam budaya saling hina itu adalah suatu hal yang tercela, sehingga kita akan langsung melerai mereka. Padahal, bila kita menilik KHA, anak-anak itu berhak untuk menentukan segala perilaku mereka termasuk hal-hal yang negatif di hadapan publik.
Soal pilihan beragama, tentu saja bagi sebagian besar orang tua dalam kebudayaan kita menganggap anak-anak harus mengikuti agama orang tuanya. Dan sikap seperti ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip KHA. Namun, apakah KHA yang telah diakui oleh banyak negara ini harus menelanjangi nilai-nilai lokal yang telah lama tumbuh?
Kita sangat prihatin ketika melihat anak-anak yang harus bekerja di jalanan atau beberapa home industry dengan penghasilan yang seadanya. Namun, apakah salah ketika mereka turut bekerja untuk menyambung hidup dan membantu keluarganya yang berkesusahan. Toh, negara (pemerintah) tidak menjamin penghidupan mereka dan keluarganya. Jadi siapa yang harus dipersalahkan?
KHA sendiri dirumuskan oleh utusan pemerintah dari beberapa negara. Dan ketika KHA telah terbentuk, hampir setiap pemerintahan mengakui dan membuat kodifikasi. Sehingga, tanggung jawab menjalankan KHA ini sepenuhnya berada di pundak pemerintah, khususnya kepala negara. Sehingga, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap KHA ini adalah tanggung jawab pemerintah. Namun, bagaimana kita bisa menuntut tanggung jawab pemerintah akan hal ini? Toh pemerintah selalu berkelit dengan berbagai alasan dan mencari kambing hitam.
Pemerataan dan mahalnya pendidikan, kasus-kasus kekerasan terhadap anak, kasus perdagangan anak, anak-anak yang terlantar dan seabrek pelanggaran terhadap hak anak merupakan tanggung jawab pemerintah. Kita sebagai masyarakat harus menuntut pertanggung jawaban pemerintah terhadap nasib anak-anak kita generasi penerus bangsa. Atau kita rela negara menzalimi anak-anak kita sendiri?
Izoel.221009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri komentar di sini.
No SPAM ya.