Sabtu, 11 Juli 2009

Membangun Sinergi Dalam Menangani Perempuan dan Anak Korban Kekerasan



(Catatan Rapat Koordinasi Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung)

Pada hari Senin, 6 Juli 2009, saya mewakili Kalyanamandira mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung, yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Bandung. Kegiatan ini sendiri dilaksanakan di UPT P2TP2A, yang merupakan pusat layanan bagi perempuan atau anak korban kekerasan di Kota Bandung. UPT P2TP2A didirikan pada tahun 2002 berdasar kajian dari perguruan-perguruan tinggi dan rekomendasi dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
Semula lembaga ini berbentuk lembaga swadaya masyarakat, kemudian berubah menjadi unit pelayanan terpadu daerah (UPTD) di bawah Pemerintah Kota Bandung. UPT P2TP2A melayani perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentuk konseling, mediasi, pendampingan di pengadilan, pemberdayaan ekonomi keluarga dan trauma healing.
Kegiatan ini bertujuan untuk membangun sinergi dan kemitraan antara UPT P2TP2A dengan instansi dan institusi lain yang terkait, seperti, Kepolisian, Dinas Kesehatan, Departemen Agama, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lain-lain. Sebagai instansi baru di Pemerintahan Kota Bandung, UPT P2TP2A perlu membangun kemitraan dengan instansi dan institusi lain, terlebih lagi UPT P2TP2A terus-menerus malakukan pembenahan. Salah satu yang harus dibenahi adalah keberadaan Rumah Aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Sejauh ini UPT P2TP2A belum memiliki Rumah Aman. padahal sebagai salah satu unit layanan pemerintah yang berada di kota besar dengan segala permasalahannya yang kompleks, seyogyanya UPT P2TP2A memiliki sebuah Rumah Aman.
Di samping melakukan perkenalan UPT P2TP2A, kegiatan ini pun memberi kesempatan kepada setiap elemen yang hadir untuk memaparkan hal-hal yang telah mereka lakukan terkait dengan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tentu saja sesuai dengan bidangnya. Dari pihak kepolisian yang pada pertemuan ini diwakili oleh seorang polisi wanita yang bekerja di RS Sartika Asih, menjelaskan tentang proses visum yang dilakukan pada korban-korban kekerasan, baik bagi korban kekerasan biasa maupun korban kekerasan seksual. Seringkali dikeluhkan proses visum ini yang sangat ngejelimet. Penjelasan soal ini ditambahkan oleh seorang bapak perwakilan dari RS Hasan Sadikin Bandung. Menurutnya, proses visum ini sangat mudah dilakukan dan gratis. Tentu saja penjelasan ini penting karena seringkali korban kekerasan enggan untuk melapor dan membuktikan karena sangat mahal biayanya, khususnya dalam proses visum ini.
Tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung perceraian, seorang perwakilan Departemen Agama Kota Bandung turut berbagi cerita. Menurutnya, sejauh ini pada proses perceraian di pengadilan agama, Departemen Agama dalam kaitan ini Pengadilan Agama selalu menjadi mediator bagi pasangan suami-isteri dan seringkali menganjurkan kepada setiap pasangan untuk berdamai.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat turut hadir dan berbagi cerita. Salah satunya adalah Jaringan Relawan Independen (JARI). JARI yang memiliki beberapa orang staf ahli dalam bidang hokum, kesehatan dan psikologi, seringkali menerima klien yang menjadi korban kekerasan. Para klien ini diwawancara dan didampingi dalam menghadapi permasalahannya. JARI pun menyiapkan beberapa data melalui pemeriksaan kesehatan dan tes psikologi. Para klien pun didampingi dalam proses hukumnya.
Salah seorang kawan dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) pun berbagi cerita soal penanganan korban-korban perdagangan perempuan (women trafficking). Dalam penanganan women trafficking ini ada dua hal yang mesti dilakukan, yaitu, pencegahan penyaluran para pekerja perempuan dari daerah-daerah tertentu, dan pemulangan para korban trafficking. Dari pengalamannya mendampingi para korban trafficking di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, katanya, seringkali para TKW illegal ini tidak langsung pulang ke kampungnya. Biasanya mereka mencoba masuk kembali ke Malaysia melalui beberapa ‘jalan tikus’. Hal ini terjadi bukan hanya karena banyak jalan dan cara yang dapat mereka lalui saja, melainkan karena proses keimigrasian kita yang kurang optimal. Karena para pekerja perempuan ini seringkali tidak langsung pulang ke daerahnya masing-masing bahkan acapkali mereka mengadu nasib di kota-kota besar, ia menilai kota-kota besar seperti Bandung akan banyak mendapat imbas dari keberadaan para pekerja perempuan ini. Secara langsung dan tidak langsung perempuan korban trafficking ini akan berkumpul dan menambah permasalahan yang ada di kota-kota besar. Maka, seyogyanya di kota-kota besar itu disiapkan shelter atau ‘Rumah Aman’ bagi para korban kekerasan perempuan, khususnya bagi korban trafficking.
Karena UPT P2TP2A ini masih memiliki beberapa kekurangan, sehingga layak didukung oleh semua elemen yang terkait. Hal ini diamini oleh beberapa orang perwakilan dari perguruan tinggi yang hadir, seperti, dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati. Mereka dapat memfasilitasi beberapa hal seperti kajian, penelitian dan hal-hal lain sesuai kapasitas mereka.
Sampailah di penghujung acara, tetapi saya merasa belum terumuskan mekanisme atau teknis sinergitas yang diharapkan antar instansi dan institusi terkait. Para peserta Rakor ini tampak asyik menceritakan hal-hal yang telah mereka lakukan. Namun bagaimana kapasitas masing-masing isntitusi ini dapat bersinergi belum terumuskan. Bukan hanya itu, seringkali kita lupa untuk mendefinisikan permasalahan apa yang akan dihadapi bersama. Semua paham tentang permasalahan kekerasan perempuan, tetapi apakah semu pihal memiliki cara pandang yang sama terhadap permasalahan tersebut? Sinergi tidak mungkin terwujud bila perspektif tentang permasalahannya saja belum seragam. Walla a’lam.. (izoel)

Jumat, 10 Juli 2009

RENCANA DARURAT



( Catatan Pendampingan Anak-anak Rutan Kebon Waru, 9 Juli 2009)

Pagi ini sudah berkali-kali saya meng-sms Zamzam dan Bram menanyakan kesiapan mereka untuk mendampingi ke rutan. Namun, mereka berdua tak juga memberi jawaban. Hingga akhirnya, hanya saya dan Oka saja yang bisa mendampingi anak-anak di Rutan Kebonwaru karena kawan-kawan pendamping yang lain berhalangan.
Jujur, saya sempat kebingungan dan pagi ini saya mesti menyiapkan rencana darurat, yaitu dengan membuat satuan acara pembelajaran (SAP) yang baru dan berbeda dengan SAP kelompok minat. Dalam SAP ini, anak-anak disatukan dan dibagi kelompok berdasar kebutuhan persiapan kegiatan peringatan Hari Anak Nasional 2009 dan HUT RI Ke-64.
Sekira jam 10 pagi, saya dan Oka memasuki gerbang rutan menuju ruang pendidikan setelah melewati beberapa pemeriksaan rutin dari para petugas. Sambil menghilangkan sedikit nervous, kami menunggu anak-anak di ruang pendidikan. Satu-persatu anak memasuki ruangan. Dan saya mulai membuka kegiatan.
Saya berucap salam dan menyampaikan beberapa penjelasan tentang kegiatan yang akan dilakukan pada kesempatan kali ini. Suatu permainan angka pun saya mainkan bersama anak-anak. Saya menentukan beberapa harga berbeda untuk sekumpulan anak dengan kategori yang berbeda. Anak-anak yang menggunakan celana pendek dihargai 250. Sedangkan anak-anak yang bercelana panjang, saya hargakan 750. Kemudian, saya menetapkan sebuah angka, misalnya, 2500. Maka anak-anak akan saling menggabungkan diri hingga jumlah mereka sesuai dengan angka yang saya inginkan.
Setelah permainan angka di atas, anak dibagi ke dalam empat kelompok pentas, pameran, lomba dan perlengkapan. Setiap kelompok diminta untuk mendiskusikan hal apa saja yang mesti disiapkan menjelang acara peringatan Hari Anak Nasional 2009 dan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-64. Kelompok Pentas membicarakan acara apa saja yang akan ditampilkan dalam dua even besar tadi. Kelompok Pameran membicarakan karya-karya yang akan dipamerkan. Kelompok Lomba mendiskusikan jenis-jenis lomba yang akan digelar. Sedangkan Kelompok Perlengkapan menginventarisir barang-barang yang dibutuhkan dalam dua gelaran tadi.
Sementara empat kelompok di atas mendiskusikan beberapa persiapan jelang Hari Anak dan HUT RI, saya mendampingi 11 orang anak-anak baru. Saya meminta mereka menuliskan nama dan alamat mereka. Kemudian, saya meminta mereka menuliskan cerita tentang kenangan terindah mereka sebelum masuk rutan.
Dn (16 tahun) yang tinggal di daerah Cililin, Kabupaten Bandung Barat, bercerita tentang perjalanannnya bersama kedua orang tuanya berbelanja ke sebuah pusat perbelanjaan. Ketika mereka pulang dengan diiringi riuh lagu-lagu yang mereka nyanyikan, Dn bertemu dengan seorang gadis yang seterusnya menjadi pacarnya. Dn sangat merasa bahagia, terlebih beberapa saat setelah itu ia mendapat hadiah satu unit sepeda motor dari kedua orang tuanya. Dn sangat menyayangi ibunya, dan ia sangat merindukan masakan buatan ibunya tersebut.
Ds (16 tahun) yang tinggal di Pangalengan, Kabupaten Bandung, bercerita tentang acara pikniknya bersama keluarga ke pantai Ranca Buaya. Ia merasa sangat bahagia ketika ia berenang bersama bapak dan adiknya. Ds pun bercerita tentang pengalaman lima tahun yang lalu, ketika ia pertama kali mengamen ke Pangandaran bersama kakaknya. Ds sangat menyayangi neneknya yang begitu baik kepadanya.
M (17 tahun) yang dua tahun pernah tinggal di Bali bersama ibunya, turut berbagi cerita. Sebelum ia tinggal di Bali, ia mempunyai seorang sahabat yang sangat dekat. Kedekatan ini pun bertambah ketika orang-orang di sekitarnya menganggap mereka mirip. Keduanya pernah bermain ke daerah pegunungang di Bandung selatan. M pun bercerita tentang pekerjaannya ketika tinggal di Bali. Di Bali, ia bekerja membuat sandal dan sepatu. Dari hasil kerjanya, ia bisa membantu kebutuhan orang tuanya. Ia pun sangat senang dengan tempat-tempat wisata yang ada di Bali.
Sebenarnya, masih ada beberapa cerita lain, mungkin di lain waktu saya sambung kembali. Ternyata, kondisi darurat tidak mengurangi kedalaman makna yang kita dapatkan. Meski sebagian anak tidak dapat kami pegang, mereka dapat secara mandiri melakukan diskusi tentang persiapan Hari Anak Nasional dan HUT RI. Perlu diingat, meskipun hari ini anak-anak hanya merumuskan persiapan Hari Anak dan HUT RI, tetapi kami masih terus mengacu pada kesepakatan awal tentang kegiatan-kegiatan yang akan kami laksanakan selama 3-4 bulan ini. Di samping itu, kami masih mengacu pada beberapa capaian yang telah ditentukan, khususnya tentang pemaknaan positif. (izoel)

Senin, 29 Juni 2009

Amazing


“Cinta adalah ketika ia bersemi dalam hati
Terkembang dalam kata…”

Sepenggal kata-kata tersebut saya terima dari seorang Holid. Kertas putih kosong yang baru saja saya berikan kepadanya beberapa menit yang lalu, telah terisi rangkaian kata-kata puitis. “AMAZING”, hebat, dahsyat, saya terpukau, saya terharu, sungguh. Orang seperti Holid yang notabene mesti hidup di hotel prodeo, bersemangat dan mampu merangkai kata-kata sepuitis itu.
Yang ditulis Holid bukan hanya sebuah puisi, ia juga menulis puisi-puisi lain di atas selembar kertas yang ia mintai kepada saya ketika puisi pertamanya rampung. “Wahai ukhti, engkaulah lapaz-lapaz hati….”, sampai di sini saya tak mampu bercakap lagi.
Keamazingan bukan hanya ditunjukkan Holid, tapi semua, seluruh siswa kelas musik Rumah Tahanan (Rutan) Anak Kebon Waru. Mereka semua sangat bersemangat ketika saya persilakan mereka memerkenalkan diri tanpa bersuara. Mereka berekspresi, menelurkan langkah yang merupakan presentasi dari sebuah ide yang cemerlang. Ada Toni yang memerkenalkan namanya lewat sebuah sobekan kertas yang ia tulisi “TONI”, ada Angga yang menggerakkan jemari tangannya menggambarkan rangkaian huruf yang menjadi pondasi nama besar yang disandangnya sedari kecil, dan ada pula Agus yang dengan manyun-manyun menggerakkan mulutnya, berusaha dengan susah payah untuk memberitahukan namanya pada kami. Cerdas.
Apa yang saya lihat dan rasakan saat baru beberapa menit berkomunikasi langsung dengan mereka, kontan memupus apa yang saya bayangkan sebelumnya. Dalam pikiran saya yang masih hampa, beberapa minggu bahkan di depan pintu rutan hari Kamis itu, yang saya bayangkan mereka adalah anak-anak yang nakal, menyebalkan, sulit diatur, dan menyeramkan karena badannya dipenuhi tatoo bak Tora Sudiro. Ya, meskipun ada beberapa orang dari mereka bertato, tapi hati mereka, sikap mereka, sangat ramah. Hati mereka tak seperti apa yang saya bayangkan, mereka remaja yang bisa bertutur lembut, baik bertutur lisan maupun tulisan. Buktinya, Holid, Agus, Aditya, Kiki, Heri, Oky, Agus, dan Santana, adalah anak-anak yang mau belajar merangkaikan kata-kata halus, menguraikan apa yang mereka pikirkan.
Ini Amazing, sungguh di luar apa yang saya pikirkan. Saya berterimakasih kepada mereka. Anak-anak yang walaupun berwajah kusam dan kumal, mau dan semangat untuk belajar menulis.
Sebelum kelas usai, kami membentuk lingkaran tak beraturan, menyanyi bersama, dari lagu pop jaman jadul, hingga dangdut masa kini. Agus yang terbilang paling cucok di antara mereka, lihai memainkan si alat petik. Semua pun bernyanyi.
Pukul 12 siang, kelas usai, seorang Holid mendekati saya,
“Teh, boleh minta kertas nggak?”
“ Buat apa?”, jawab saya
“Pengen nulis puisi, tapi buat di sel, entar hari Kamis, aku kasih ke Teteh puisinya”.
Ahh… rupanya mereka telah banyak belajar tentang kehidupan. Di balik segala keterbatasan, mereka masih mau berusaha untuk menulis, untuk belajar. Berbeda dengan saya yang masih menulis karena dikejar deadline.
Sungguh, mereka, amazing. (Dhika)

Kebonwaru, 25 Juni 2009


Pagi sebelum pendampingan hari ini, sempat terbersit kekhawatiran akan proses pembelajaran nanti. Kekhawatiran ini muncul dikarenakan sangat sedikitnya relawan yang bisa mendampingi. Sebagian besar relawan tengah disibukkan dengan agendanya masing-masing. Namun, kekhawatiran ini sirna saat kami berenam mulai kumpul dan berbincang-bincang diselingi canda di halaman Rumah Tahanan Kelas 1 Kebonwaru – Bandung.
Sekira jam sepuluh pagi, saya bersama Kang Dan, Zamzam, Ira, Oka, dan Anita telah memasuki ruang pendidikan. Anak-anak belum tampak satu orang pun. Setelah beberapa menit kami menunggu, barulah anak-anak berdatangan dan memasuki ruang pendidikan. Dan Zamzam mulai membuka kegiatan.
Selanjutnya, Anita memandu anak-anak dengan game ”Tupai dan Pohon”. Anak diminta berhitung 1, 2 dan 3. Anak-anak yang mendapat angka 1 dan 3 menjadi pohon. Mereka saling berhadap-hadapan dan saling berpegangan tangan. Sedangkan anak-anak yang mendapat angka 2 menjadi tupainya. Anita menyebut 3 kondisi yaitu, hujan, kebakaran dan ada pemburu. Bila Anita menyebut ”Hujan”, kelompok Tupai dan Pohon diam di tempat. Adapun bila Anita menyebut ”Kebakaran”, maka kelompok Pohon harus berpindah tempat. Sementara bila Anita menyebut ”Ada Pemburu”, maka kelopok tupai harus pindah tempat. Ruang pendidikan menjadi riuh dengan tawa dan celoteh anak dan para pendamping. Ternyata, game ”Tupai dan Pohon” telah dapat mencairkan suasana dan dapat memicu konsentrasi anak-anak.
Setelah game selesai, anak-anak kembali bergabung dengan kelompok minatnya masing-masing. Kelompok Musik ditemani Oka. Kelompok Kriya dipandu Ira. Kelompok Drama dibimbing Zamzam. Dan saya mesti menggantikan Maria dan Gilang menemani Kelompok Sastra. Sedangkan Anita, seperti biasa menginisiasi anak-anak yang baru masuk.
Di Kelompok Sastra, saya mencoba mengajak Ad (17 tahun), As (16 tahun), Cp (18 tahun) dan Jo (16 tahun) yang baru hari ini bergabung di kelompok Sastra, meneruskan secuil cerita yang saya sampaikan. Pertama-tama saya sampaikan sepenggal cerita. Lalu saya minta anak-anak untuk melanjutkan cerita tadi. Awalnya saya minta mereka menuliskan cerita minimal 1000 kata. Tetapi, dengan beberapa alasan saya turunkan menjadi 500 kata saja. Ternyata, sampai akhir kegiatan anak-anak agak kesulitan menulis cerita hingga 500 kata. Namun, saya sangat menghargai usaha mereka. Cerita mereka pun mulai beragam.
Sementara itu di sisi lain ruang pendidikan, Ira memandu anak-anak Kriya membuat rangka Wayang Karton. Setelah seminggu sebelumnya, Kelompok Kriya membuat desain wayang, sekarang mereka sedang membuat rangka wayang. Karton-karton yang telah digambar, digunting sesuai desain yang diinginkan. Tentu saja, gambar itu sudah termasuk gambar kaki, tangan dan lekuk-lekuk tubuhnya. Setelah digunting, karton-karton itu dilubangi sisi-sisinya. Barulah tubuh utama wayang dihubungkan dengan tangan dan kakinya menggunakan benang kasur. Sayang, kami tidak sempat menyediakan bambu-bambu kecil, yang semestinya diperuntukkan untuk rangka utama dan penguat pegangan wayang. Namun, hasil gambar dan polesan warna anak-anak Kriya ini sempat membuat saya terkesima. Keren...
Keriuhan lain terjadi pada kelompok Musik. Meski mereka belum menemukan harmonisasi, sehingga acapkali dianggap membuat bising semata. Tetapi, usaha mereka untuk terus berkarya perlu kita acungi jempol.
Sebenarnya ada beberapa cerita yang saya dengar dari beberapa anak. Tapi, maaf saya sedang agak malas untuk mengungkapkannya di sini. Terlebih ketika saya merasa terusik pada saat evaluasi setelah kami berada kembali di halaman Rutan Kebonwaru. Seringkali kami asyik berkutat dengan hard skill (keterampilan psikomotor) dan lupa dengan soft skill (nilai-nilai dan mental) yang semestinya harus lebih ditanamkan pada diri anak. Padahal kami sadar bahwa skill yang selama ini kami berikan hanyalah media untuk mengembangkan nilai-nilai positif dan mental yang baik.
Dalam pandangan saya, karena nilai dan mental itu sesuatu yang sulit kita ukur sehingga dalam proses pembelajaran dua aspek ini agak sulit mengukur tingkat keberhasilannya. Sejauh ini, kami baru bisa mengeksplorasi nilai-nilai yang ada pada diri anak dan mendialogkannya bersama mereka. Namun, hal ini tidak membuat kami patah arang. Sebenarnya, perkembangan nilai dan mental anak ini diikuti dengan beberapa treatment psikologi dan kontrol yang optimal. Sayang, karena keterbatasan sumber daya manusia, kami agak sulit melakukan dua hal tadi. Wallahu a’lam.. (izoel)

Kamis, 18 Juni 2009

Kebonwaru, 18 Juni 2009

Hari ini kami memulai pendampingan dengan kurikulum atau rencana kegiatan pertiga bulan yang baru. Tentu saja ada beberapa hal baru yang akan kami dan anak-anak lakukan. Sayang, seringkali kami nervous di minggu pertama. Seperti yang terjadi pada saya hari ini, semestinya saya telah menyiapkan Satuan Acara Pembelajaran (SAP) bagi kelompok Kriya. Namun, sampai saat saya dan kawan-kawan melakukan pendampingan, SAP Kriya belum saya rampungkan. Boleh jadi dalihnya karena saya sibuk. Tapi, sebenarnya saya nervous memasuki triwulan baru dan terlalu jauh membayangkan apa yang akan kami capai nantinya.
Untung, nervousnya saya sepertinya tak nampak di kawan-kawan pendamping lain. Mereka kelihatan lebih siap untuk menghadapi triwulan baru ini. Meski memang masih ada banyak hal yang terus kami evaluasi dan perbaiki.
Saya sampai lebih dulu ke rutan dibanding kawan-kawan pendamping lain. Kemudian secara berurutan Ira, Dewi, Anita, Oka, Ilah, Bram, dan Zamzam berdatangan. Sementara Maria masih terhambat di jalanan dan menyarankan kami untuk masuk lebih dahulu.
Kurang beberapa menit dari jam sepuluh, kami telah melewati gerbang rutan dan langsung menuju ke ruang pendidikan tempat kami dan anak-anak melakukan kegiatan pembelajaran. Setelah semua anak kumpul, Bram dan Oka membuka kegiatan dengan sebuah permainan. Dan semua yang hadir di ruang pendidikan lebur dalam sebuah keriuhan.
Selanjutnya, anak-anak masuk di kelompok minat didampingi para pendamping. Kelompok Musik berlatih bersama Bram dan Oka. Kelompok Drama bermeditasi bersama Zamzam. Kelompok Literasi/Cerpen membaca dan menulis ditemani Ilah. Sedangkan saya menemani Kelompok Kriya membuat desain wayang kardus/karton. Tak ketinggalan Anita dan Dewi menginisiasi anak-anak baru.
Di Kriya saya dan Ira memandu anak-anak membuat desain wayang, sebelum nantinya dibentuk menjadi wayang kardus/karton. Harus diingat, yang kami maksudkan wayang tentu saja bukan wayang-wayang yang sering kita lihat selama ini. Namun, karakter-karakter yang anak-anak buat berdasar imajinasi mereka. Anak-anak membuat desain pada selembar kertas plano. Mula-mula mereka menggambar sketsa wayang dengan pensil. Lalu sketsa pun diwarnai dengan crayon atau pensil warna. Kemudian saya minta anak-anak untuk memberi identitas bagi wayang itu. Identitas yang dimaksud adalah nama, pekerjaan dan sifat utama dari karakter wayang yang dibuat.
Sementara Kelompok Kriya asyik membuat desain wayang, Kelompok Musik di samping kami sedang ’berisik’ latihan vokal. Bram membimbing anak-anak mengenal dan mempraktekkan tangga-tangga nada dengan suara mulut.
Di sisi laing ruang pendidikan, Kelompok Literasi yang sekarang telah ditemani Maria yang baru datang, memberi ruang bagi anak-anak mencari inspirasi untuk menulis dari tulisan-tulisan yang terdapat pada majalah atau korang yang Maria bawa. Setelah itu, anak-anak sedikit demi sedikit mulai menulis cerita.
Kelompok Drama yang tidak didampingi Yosti yang berhalangan hadir, bersama Zamzam mengeskplorasi ide cerita dengan segala yang ada di ruangan itu. Meski nampak aktivitasnya tidak jelas, Zamzam dapat memberi refleksi di akhir kegiatan kelompok drama.
Bagi anak-anak baru, mereka berkesempatan berkenalan dan berbincang-bincang dengan Anita dan Dewi ditemani Ira yang menjadi sweeper hari ini. Mereka diajak menggambar citra diri mereka dan memperkenalkan identitas mereka melalui suatu narasi. Ternyata, yang ingin bercerita dan ’curhat’ dengan Anita atau Dewi bukan hanya anak-anak baru. Beberapa anak yang telah cukup lama tinggal di tahanan pun berusaha mendekat.
Menilik kegiatan hari ini, saya merasa cukup yakin kita dapat melakukan langkah-langkah yang lebih baik di triwulan yang baru ini. Meskipun demikian, kami jangan sampai lupa diri dan melupakan beberapa kekurangan yang harus secepatnya dibenahi. Terlebih di triwulan ini ke depan, kami berharap dapat mempublikasikan aktivitas kami ini melalui berbagai media, beberapa di antaranya melalui buku dan CD interaktif. Anda tertarik membantu kami?