Selasa, 21 April 2009
Kebon Waru, 2 April 2009
Gilang memandu anak membaca cerpen dan meminta mereka meneruskan ceritanya. Di sela-sela kegiatan anak, Gilang menyapa anak-anak dan menjelaskan kembali beberapa unsure yang ada dalam sebuah cerita.
Di kelompok Drama, Yosti, kawan saya yang selalu tersenyum, membimbing anak-anak untuk membaca naskah drama karya mereka sendiri yang berjudul “Cerita Kabangsatan” dan membagi peran kepada setiap anak. Anak-anak pun bersepakat untuk menambah dialog dalam naskah tersebut.
Di kelompok Musik, Bram dan Niki memandu anak-anak membuat aransemen bagi lirik karya anak. Setelah dalam pertemuan sebelumnya dapat membuat satu aransemen untuk sebuah lirik, hari ini tinggal menyelesaikan satu aransemen lagi.
Di kelompok Kriya, anak-anak berkutat dengan mozaik dan layout majalah dinding (mading) ditemani Zamzam dan Asti.
Sementara itu, Anita menemani 10 orang anak baru dan memulai perkenalan lewat sebuah simulasi. Anak-anak diminta untuk menceritakan orang-orang yang mereka cintai.
Hari ini saya bercerita dengan beberapa anak. Agak berat dan sangat mengejutkan mendengar beberapa cerita anak-anak. Saya menyapa Ah (17 tahun), ia mengeluh soal penahanannya yang ia anggap sebagai fitnah. Perlu diketahui, sekarang ini Ah ditahan untuk kedua kalinya dan ia mengaku tidak melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Ia dan beberapa temannya didampingi beberapa orang pengacara tengah mengajukan banding dalam proses peradilan kasusnya.
Setelah itu, saya menyapa D (17 tahun). Sebenarnya, hamper di setiap kegiatan pendampingan saya sering menyapa dan bercerita bersama D. Tapi hari ini, D agak bercerita panjang lebar tentang kasusnya. Ia ditahan karena kasus pelecehan seksual bersama lima orang temannya. Yang membuat saya agak tercengang adalah tempat kejadian perkara (TKP) bukan di satu tempat, melainkan di beberapa tempat. Ternyata, semula D bersama teman-temannya termasuk gadis yang dikatakan menjadi korban ini, sedang berpesta narkoba. Dalam keadaan mabuk inilah, aksi kejahatan ini terjadi. Seorang gadis yang juga sama-sama mabuk ‘digarap’ oleh enam orang pemuda secara bergantian di tempat yang berbeda.
Keterkejutan saya masih bertambah ketika saya bertemu dan bercerita dengan seorang anak yang bernama W (17 tahun). Sebenarnya, saya tidak sengaja bercerita dengan W andai saja ia tidak menghampiri saya untuk menitipkan surat untuk kedua orang tuanya. Agak ragu-ragu W mendekati saya dan mulailah ia bercerita. Ia mengirimkan surat kepada orang tuanya, karena kemungkinan besar ia akan dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang. Hal ini dikarenakan beratnya vonis yang harus ia jalani. Semula saya ragu untuk mengetahui lebih jauh kasus yang telah ia lakukan. Namun akhirnya, W mau menceritakannya kepada saya. W dikenai beberapa pasal KUHP karena tiga tindak kriminal berat sekaligus, yaitu, pembunuhan, perkosaan dan pencurian. Ternyata, ketiga tindak kejahatan ini terjadi karena W sangat mencintai seorang gadis, teman satu sekolahnya. Kejadiannya terjadi ketika ia merasa sakit hati karena pernyataan cinta kepada Si Gadis ditolak mentah-mentah. Akhirnya, W mencegat Si Gadis yang sedang berjalan berdua dengan pacarnya. W bertarung dengan pacar Si Gadis hingga, pemuda itu tewas. Selanjutnya, W yang khilaf ini memperkosa Si Gadis dan merampas uang dari keduanya. Hmm....
Agak berat saya mendampingi hari ini, terlebih ketika saya harus mendengarkan cerita-cerita yang sangat mengejutkan. Namun, beban itu mulai beringsut menghilang ketika petikan gitar Bram mengiringi suara-suara sumbang kami di penghujung kegiatan.
Rabu, 15 April 2009
Penjara Anak Mesti Dibuat Lebih Ramah
Menurut Koordinator Lembaga Advokasi Pendidikan Dan Satriana, Selasa (14/4) di Bandung, kecenderungan masyarakat menggunakan institusi hukum formal (penjara) sebagai penyelesaian kasus kenakalan remaja, seperti pencurian, perkelahian, dan penyalahgunaan narkoba, justru bisa menjadi bumerang bagi anak.
"Suasana penjara yang tak ramah, konsep pemisahan, akan menyebabkan anak merasa mempersalahkan diri dan inferioritas, tak layak kembali ke masyarakat, dan menciptakan lingkaran residivis," ujar salah seorang penulis buku Cerita Anak dari Penjara ini. Kecenderungan anak berbuat kriminal, menurut dia, kebanyakan disebabkan kondisi eksternal, bukan dorongan kesadaran diri. "Maka, perlu ada pendampingan khusus agar mereka bisa kembali meniti hidup setelah keluar," ucapnya.
Pendampingan bisa mengisi kegiatan pendidikan nonformal yang biasanya ditinggalkan tahanan anak. Sebab, narapidana anak tidak mau melanjutkan ke sekolahnya. Lapas anak
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Jabar Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Dedi Sutardi mengatakan, pemerintah tahun ini akan membangun lapas khusus anak di Jabar di kompleks Lapas Sukamiskin. "Di dalamnya ada sekolah, pembinaan, dan kegiatan olahraga. Bangunan dibuat tidak menyerupai penjara agar anak-anak tidak takut," ujar mantan Kepala Lapas Cipinang ini. Lapas ini berkapasitas 500 orang. Pembangunannya diperkirakan tiga tahun. Di Jabar terdapat 400 napi dan tahanan anak. (JON)
Ku langkahkan kakiku yang tak pasti
Kemana arah yang kutuju entah kemana
Ku berjalan dengan hati yang luka
Ku menanti hati ini kembali
Ku menangis dalam hatiku ini
Kau lukai hatiku yang ini
Reff :
Apakah aku `kan s`lalu sendiri
Meratapi hati yang luka ini
Apakah aku `kan s`lalu sendiri
Menghabiskan waktu di sini
Waktu terus berjalan
Waktu terus berganti
Siang dan malam pun berganti
Tapi yang terlihat hanyalah jeruji besi
Mungkinkah lepas jeraan ini
Andai waktu bisa membuatku berarti
Mungkin saat ini
Hidupku tak penuh dengan teka-teki
Tapi hidupku belum usai
Masih ada waktu untuk membenahi yang telah terburai
(di atas ini adalah dua puisi karya anak-anak Rutan Kebonwaru yang sudah rampung digubah menjadi lirik lagu)
Senin, 09 Maret 2009
CERITA DALAM KERIUHAN
(Catatan pendampingan anak-anak Rutan kebon waru, 5 Maret 2009)
Sudah hampir dua minggu ini saya tidak menuliskan cerita tentang pendampingan di Rutan Kebon Waru. Semoga bukan karena semangat menulis saya yang menurun, hanya minimnya kesempatan saja yang membuat saya tidak menulis catatan pendampingan. Banyak cerita yang saya lewatkan untuk saya tuliskan. Tetapi, saat ini saya hanya ingin menceritakan pendampingan pada tanggal 5 Maret 2009.
Hari itu, tim kami bertambah personil. Meski beberapa kawan relawan dari UNISBA tidak bisa ikut mendampingi karena bentrok dengan kuliah atau aktivitas lain, kami dibantu teman-teman baru dari UPI dan UNPAD.
Tepat jam 10.00 WIB kami memasuki gerbang Rutan, melewati beberapa prosedur pemeriksaan. Kami tidak bisa mendokumentasikan kegiatan hari itu, karena kamera yang dibawa salah seorang kawan tidak lolos pemeriksaan. Ketika kami akan memasuki ruang pendidikan, nampak anak-anak sedang bermain bola voli di lapangan yang ada di tengah lingkungan Rutan. Melihat kedatangan kami, anak-anak bergegas menyiapkan diri dan satu-persatu memasuki ruang pendidikan.
Saya membuka acara dengan salam dan sapaan kepada anak-anak Rutan yang selama dua minggu tidak kami dampingi. Setelah itu, Yulia memberi kami sebuah game sederhana. Sayang, saya tak sepenuhnya bisa mengikuti game tersebut, karena saya harus menyiapkan beberapa perlengkapan seperti, kertas dan beberapa alat tulis.
Selanjutnya, anak-anak dibagi dua kelompok besar, Kelompok Kriya dan kelompok gabungan dari Kelompok Sastra dan Kelompok Musik. Kelompok Sastra dan Kelompok Musik sengaja digabungkan karena kami dibantu kawan-kawan dari Sastra Indonesia UPI, berencana membuat pementasan musikalisasi sastra. Teman-teman Kelompok Kriya dipandu oleh Ira dan kawan-kawan baru dari UNPAD. Sedangkan teman-teman Musik dan Sastra dipandu Yosti dan kawan-kawan dari UPI. Anita dan Yulia mendampingi anak-anak baru, adapun saya, Ilah dan Ova menjadi sweeper dan mencatat notulensi proses pendampingan.
Ira bersama teman-teman di kelompok Kriya berencana membuat Majalah Dinding (mading). Ira mengeksplorasi pengetahuan teman-teman tentang media dan menjelaskan beberapa hal tentang media, khususnya media cetak. Selanjutnya, teman-teman Kriya merumuskan nama Mading yang akan dibuat. Kemudian, teman-teman menetapkan pembagian tugas di antara mereka dalam pembuatan mading. Dan terakhir, teman-teman Kriya mencoba membuat contoh setting lay-out mading dengan menempelkan kliping-kliping koran.
Sementara itu, teman-teman Musik dan Sastra membuat perencanaan dari keseluruhan kegiatan persiapan pentas musikalisasi sastra. Yosti memandu teman-teman dengan sebuah simulasi perkenalan dan pembagian kelompok. Teman-teman Musik dan Sastra dibagi ke dalam tiga kelompok kecil berdasarkan ketertarikan anak-anak.
Seperti pada kegiatan pendampingan yang lalu, anak-anak musik selalu membuat ruangan agak gaduh. Maklum ruang pendidikan itu sebenarnya tidak cukup menampung sekira 60 orang yang sedang berkegiatan ini. Kami sangat berharap ada ruangan lain yang lebih luas yang bisa digunakan untuk kami berkegiatan, khususnya bagi teman-teman kelompok Musik.
Tidak semua anak ikut kegiatan secara penuh, selalu saja ada anak-anak yang tidak mengikuti kegiatan. Maka, dalam tim kami ada yang melakukan tugas sebagai sweeper. Tugasnya mendekati dan mengajak bercerita anak-anak yang tidak mengikuti kegiatan dan berada di luar kelompok. Hal ini kami lakukan agar semua anak dapat kami pegang dan kami awasi perilakunya. Di samping itu, kami dapat menghimpun cerita-cerita dari mereka. Namun karena keterbatasan relawan dan sedikit sekali anak yang mau bercerita secara terbuka, seringkali aktivitas inipun kurang berjalan efektif.
Saya ikut ‘nimbrung’ bersama Ova yang sedang bercerita sambil bercanda dengan beberapa anak yang berada di luar kelompok. Beberapa orang di antara anak-anak itu tampak gembira karena tinggal dalam hitungan hari mereka dapat menghirup udara luar, alias bebas. J (15 tahun) misalnya, ia akan bebas 5 hari lagi. Ia berencana meneruskan sekolah di kelas X yang terhenti karena ia harus meringkuk di tahanan. Ia pun bertekad akan membantu kedua orang tuanya yang mempunyai warung di dekat mal Paris Van Java (PVJ), Bandung. Ia sangat antusias dan ceria menceritakan semua rencananya itu.
Demikian juga dengan Den (16 tahun) yang sumringah menyambut kebebasannya seminggu lagi. Ia yang ditahan karena kasus penjambretan ini, berencana meneruskan sekokahnya. Meski ia menyesal karena pihak sekolah lamanya tidak mau menerimanya kembali, ia akan pindah ke sekolah lain atau mengambil paket C.
Sementara itu, De (16 tahun) nampak dingin menyambut hari kebebasannya. Boleh jadi karena sipatnya yang agak pendiam. De seperti dua orang temannya tadi, akan melanjutkan sekolahnya. Saya dan Ova mencoba men-support mereka dan memberi mereka beberapa masukan. Tak lupa kami menyarankan mereka bila telah keluar dari tahanan untuk tak ragu-ragu mampir ke basecamp Kalyanamandira di Kliningan, Buah Batu. Hal ini dilakukan agar kami masih dapat berkomunikasi dengan anak-anak yang sudah bebas.
Mendengar harapan dan rencana dari ketiga orang anak tadi, saya merasa gembira karena masih mempunyai keluarga dan rencana hidup yang cukup baik. Sayang, tidak banyak anak-anak Rutan mempunyai harapan dan rencana yang jelas. Sebagian dari anak-anak ini lari atau malah ’dibuang’ dari keluarganya. Atau mereka yang berlatar keluarga miskin yang memaksa mereka untuk bekerja atau pergi dari rumah. Anak-anak seperti ini rentan untuk kembali melakukan tindak kriminal.
Dengan segala cerita dan kenyataan yang saya temui di Rutan, kadangkala saya berpikir bahwa saya tidak banyak memberikan kontribusi bagi anak-anak ini. Saya hanya bisa menatap mereka dan menemani mereka bercerita dengan ’sungkan’. Tak banyak yang berubah. Tapi, saya sadar perubahan itu tidak bisa datang seperti membalikkan telapak tangan. Perubahan itu butuh waktu. Ketika kita melakukan proses perubahan itu saja hasilnya lambat kita rasakan. Apalagi kalau kita hanya diam atau sekedar merasa cukup dengan ungkapan simpati. Perubahan butuh langkah-langkah nyata dan strategis. Dan kita tidak bisa melakukannya sendirian. Wallahu a’alam..
Selasa, 24 Februari 2009
Ups..
Di rumah tahanan Kebon Waru, saya harus sabar mendengarkan cerita anak-anak yang acapkali sangat bertentangan dengan latar di mana saya lahir. Saya mesti mendengar cerita kronologis penahanan anak, tindak kriminalitas yang telah mereka lakukan, sampai mesti mendengar mirisnya masa depan mereka karena jauh dari orang tua atau kemiskinan. Semuanya harus saya perhatikan dengan teliti dan penuh simpati. Sebuah perilaku yang sebenarnya sulit saya lakukan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu saya mulai belajar banyak hal.
Hari itu 5 Februari 2009, saya bersama dengan Zamzam, Dewi, Yulia dan Oka melangkah masuk ke pelataran aula tempat kegiatan pendampingan bagi anak-anak di Rutan Kebon Waru, biasa kami selenggarakan. Yulia mulai membuka kegiatan dengan simulasi sederhana. Dengan tawa sedikit tertahan, anak-anak dan kami mulai lebur dalam kegiatan ini.
Selanjutnya, anak-anak bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Saya memandu anak-anak kelompok Kriya untuk membuat gambar citra diri masing-masing. Agak sulit menjelaskan maksud dari citra diri itu kepada mereka. Terbukti dengan masih kelirunya mereka dalam mengerjakan tugas tersebut. Di sinilah saya diuji untuk tidak menjatuhkan mental anak-anak dengan tidak menyebut mereka salah. Sayang, hal itu suatu yang amat berat bagi saya. Ungkapan itu sekonyong-konyong muncul dari mulut saya kepada beberapa anak yang keliru dalam menggambar. Hal inipun baru saya sadari ketika Zamzam mengingatkan tentang kesalahan saya dalam menyikapi mereka. Sesaat saya sempat tertegun dengan kejadian itu. Tapi, saya kembali berdialog dengan beberapa anak dengan beberapa candaan kecil.
Ada beberapa cerita yang telah menginspirasi coretan saya ini. Banyak hal yang terjadi di luar bayangan kita sebelumnya. Hal itu terjadi pada R (17 tahun), seorang anak yang tinggal di lereng gunung Manglayang. Mungkin semula ia hanya berniat menghalau anjing-anjing pemburu yang lewat di sekitar rumahnya. Tetapi karena pemilik anjing-anjing itu marah sehingga ia berkelahi dengannya sampai si pemilik itu luka-luka, akibatnya R harus mendekam di tahanan.
Demikian juga dengan yang dialami oleh D (17 tahun). Anak yang berasal dari Ciwastra ini, harus ditahan karena ia bersama temannya tertangkap basah menjambret tas milik seorang pengunjuang Metro Trade Centre (MTC). Sayang, D melakukan perbuatan ini dalam pengaruh narkoba yang sering ia dan teman-temannya konsumsi.
Boleh jadi cerita E (17 tahun) ini lebih beralasan hingga ia harus mendekam ditahanan. Mungkin kasusnya sederhana karena ia tertangkap bersama teman-temannya dalam sebuah tawuran antar geng motor. Tetapi, ada hal yang agak berat yang sering ia lakukan, yaitu, menjadi pemakai sekaligus pengedar narkoba di antara teman-temannya di sekolah.
Banyak cerita yang saya himpun dalam pendampingan ini. Dan sebagian besar terjadi di luar perkiraan kita, bahkan si pelakunya sendiri. Bilakah kesalahan itu terjadi pada anak atau keluarga kita sendiri, adakah ruang pengampunan dan pemafhuman bagi si pelaku? Sayang, acapkali anak-anak ini lebih banyak mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Jangankan mendapat perlakuan yang adil, sebutan ‘anak nakal’ atau ‘anak jahat’ telah mendiskreditkan mereka. Masih terbentang permasalahan yang mesti dihadapi anak-anak yang berkonflik dengan hukum, dan mereka tidak bisa menghadapinya sendirian. Wallahu a’alam…