Selasa, 24 Februari 2009
Ups..
Di rumah tahanan Kebon Waru, saya harus sabar mendengarkan cerita anak-anak yang acapkali sangat bertentangan dengan latar di mana saya lahir. Saya mesti mendengar cerita kronologis penahanan anak, tindak kriminalitas yang telah mereka lakukan, sampai mesti mendengar mirisnya masa depan mereka karena jauh dari orang tua atau kemiskinan. Semuanya harus saya perhatikan dengan teliti dan penuh simpati. Sebuah perilaku yang sebenarnya sulit saya lakukan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu saya mulai belajar banyak hal.
Hari itu 5 Februari 2009, saya bersama dengan Zamzam, Dewi, Yulia dan Oka melangkah masuk ke pelataran aula tempat kegiatan pendampingan bagi anak-anak di Rutan Kebon Waru, biasa kami selenggarakan. Yulia mulai membuka kegiatan dengan simulasi sederhana. Dengan tawa sedikit tertahan, anak-anak dan kami mulai lebur dalam kegiatan ini.
Selanjutnya, anak-anak bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Saya memandu anak-anak kelompok Kriya untuk membuat gambar citra diri masing-masing. Agak sulit menjelaskan maksud dari citra diri itu kepada mereka. Terbukti dengan masih kelirunya mereka dalam mengerjakan tugas tersebut. Di sinilah saya diuji untuk tidak menjatuhkan mental anak-anak dengan tidak menyebut mereka salah. Sayang, hal itu suatu yang amat berat bagi saya. Ungkapan itu sekonyong-konyong muncul dari mulut saya kepada beberapa anak yang keliru dalam menggambar. Hal inipun baru saya sadari ketika Zamzam mengingatkan tentang kesalahan saya dalam menyikapi mereka. Sesaat saya sempat tertegun dengan kejadian itu. Tapi, saya kembali berdialog dengan beberapa anak dengan beberapa candaan kecil.
Ada beberapa cerita yang telah menginspirasi coretan saya ini. Banyak hal yang terjadi di luar bayangan kita sebelumnya. Hal itu terjadi pada R (17 tahun), seorang anak yang tinggal di lereng gunung Manglayang. Mungkin semula ia hanya berniat menghalau anjing-anjing pemburu yang lewat di sekitar rumahnya. Tetapi karena pemilik anjing-anjing itu marah sehingga ia berkelahi dengannya sampai si pemilik itu luka-luka, akibatnya R harus mendekam di tahanan.
Demikian juga dengan yang dialami oleh D (17 tahun). Anak yang berasal dari Ciwastra ini, harus ditahan karena ia bersama temannya tertangkap basah menjambret tas milik seorang pengunjuang Metro Trade Centre (MTC). Sayang, D melakukan perbuatan ini dalam pengaruh narkoba yang sering ia dan teman-temannya konsumsi.
Boleh jadi cerita E (17 tahun) ini lebih beralasan hingga ia harus mendekam ditahanan. Mungkin kasusnya sederhana karena ia tertangkap bersama teman-temannya dalam sebuah tawuran antar geng motor. Tetapi, ada hal yang agak berat yang sering ia lakukan, yaitu, menjadi pemakai sekaligus pengedar narkoba di antara teman-temannya di sekolah.
Banyak cerita yang saya himpun dalam pendampingan ini. Dan sebagian besar terjadi di luar perkiraan kita, bahkan si pelakunya sendiri. Bilakah kesalahan itu terjadi pada anak atau keluarga kita sendiri, adakah ruang pengampunan dan pemafhuman bagi si pelaku? Sayang, acapkali anak-anak ini lebih banyak mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Jangankan mendapat perlakuan yang adil, sebutan ‘anak nakal’ atau ‘anak jahat’ telah mendiskreditkan mereka. Masih terbentang permasalahan yang mesti dihadapi anak-anak yang berkonflik dengan hukum, dan mereka tidak bisa menghadapinya sendirian. Wallahu a’alam…
Minggu, 01 Februari 2009
MEMULAI CERITA BARU
Mungkin benar kata orang, memulai sesuatu yang baru itu selalu terasa berat. Itu juga yang aku rasakan ketika mulai kembali mendampingi anak-anak di Rutan Kebon Waru, setelah sebulan lebih aku tidak mendampingi mereka. Hari ini, aku merasa berat sekali untuk menyiapkan diri untuk pergi mendampingi anak-anak. Sampai jarum jam menunjuk angka 09.30 aku belum beranjak dari depan monitor komputer. Barulah aku mandi ketika Zamzam keluar dari kamar mandi sekira pukul 09.35.
Jam 09.50 aku berangkat ke Rutan Kebon Waru dibonceng Zamzam yang sudah hampir 3 minggu ini mempunyai motor baru. Sesampainya di depan Rutan, belum satu orang pun pendamping yang datang. Sementara Zamzam kembali lagi ke Kliningan untuk menjemput Oka yang tadi masih nampak terlelap dalam mimpi. Aku coba telepon beberapa orang pendamping. Hanya Mayene yang menerima teleponku, tapi ia menyatakan tidak bisa datang karena harus menemani kakaknya yang baru saja melahirkan. Jawaban ketidak hadiran beberapa pendamping baru aku dapatkan dari Wilda yang datang bersama seorang temannya – Asti, mahasiswi Teknik Lingkungan ITB – beberapa menit kemudian. Sebelumnya, Ira datang dengan senyum khasnya. Baru setelah itu, Zamzam dan Oka melengkapi tim kami. Sebenarnya, kami masih menunggu Dewi yang mengabari akan datang telat. Tapi, jarum jam sudah mendekati pukul 10.00, kami harus segera masuk.
Tepat pukul 10.00 kami memasuki gerbang Rutan. Setelah melewati beberapa pemeriksaan, akhirnya kami sampai di Ruang Pendidikan Rutan Kelas 1 Kebon Waru Bandung. Di sana, anak-anak telah menunggu kami. Aku mulai menikmati aura kedekatan bersama mereka. Sayang, kami tidak bisa mengabadikan kegiatan pendampingan hari ini, kamera Wilda yang dalam beberapa minggu ini sering digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan, tidak diperbolehkan untuk kami bawa masuk.
Zamzam mulai membuka kegiatan dengan salam pembuka dan sebuah simulasi sederhana. Selanjutnya, anak-anak berkumpul dalam kelompok Kriya, Sastra dan Musik. Aku dan Ira mendampingi anak-anak Kelompok Kriya. Zamzam dan Oka memandu anak-anak Kelompok Musik. Wilda dan Asti menemani anak-anak Kelompok Sastra. Sedangkan, Dewi yang datang terlambat, menjadi sweeper dan mengumpulkan surat-surat anak yang akan dikirim ke keluarga mereka.
Di Kelompok Kriya, Ira mulai menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan hari ini. Anak-anak Kriya akan membuat gambar citra diri. Anak-anak diminta untuk menggambar diri mereka dan menjelaskan fungsi dari seluruh anggota badan satu-persatu. Aku bagikan kertas, pensil dan pensil warna, anak-anak pun mulai menggambar.
Di Kelompok Sastra yang sekarang sekaligus meng-handle anak-anak baru, para pendamping meminta anak-anak untuk menuliskan cerita atau kenangan terindah mereka. Kegiatan ini memang sering dilakukan di masa awal anak masuk Rutan agar anak-anak bisa diarahkan pada hal-hal yang positif.
Adapun di Kelompok Musik yang telah banyak ditinggalkan anak-anak lama, kembali melakukan perencanaan kegiatan. Seperti biasanya, Kelompok Musik selalu lebih gaduh dibandingkan dua kelompok lainnya. Dengan kondisi ruangan yang sangat terbatas, acapkali kegaduhan ini mengganggu anak-anak di kelompok lain. Andai saja tiap kelompok anak ini diberi ruang dan fasilitas masing-masing..
Meski sudah hampir setahun aku ikut mendampingi anak-anak di Rutan Kebon Waru, tetap saja aku harus kembali beradaptasi dengan kondisi hari ini. Boleh jadi karena aku seorang pelupa dan kurang lancar dalam berkomunikasi, sehingga seringkali aku bengong dan terbata-bata dalam pergaulan. Hari ini, aku agak kebingungan untuk memulai dari mana dalam mendampingi. Aku mulai merasa ’mencair’ ketika anak-anak mulai menggambar dan aku coba mengobrol dengan beberapa orang di antara mereka.
Sebelumnya, aku meminta seorang anak kelompok Kriya bernama To untuk mencatat teman-temannya yang hadir. Aku pun menanyakan keadaan To. Ia beruntung karena sering dibesuk oleh keluarganya, termasuk pada hari ini. Sehingga To tidak bisa mengikuti kegiatan secara penuh karena ia mendapat kunjungan dari keluarganya. Sayang, dibalik keberuntungannya ini, menurut cerita yang didapat oleh Dewi temanku, To seringkali menjadi korban pelecehan seksual beberapa tahanan lain. Sebuah cerita yang cukup membuat dadaku sesak.
Aku pun sedikit bercakap-cakap dengan Ju salah seorang anak Kriya. Sebelum masuk tahanan, Ju bekerja di sebuah toko mas milik kerabatnya di kawasan Kosambi Bandung. Ketika pulang liburan jelang Lebaran 1429 H, kakaknya mengajaknya mengambil kayu Rasamala di hutan lindung dekat kampungnya di daerah Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat. Tak banyak yang Ju dan saudaranya tebang, hanya satu batang pohon saja. Tapi sayang, mereka tertangkap basah oleh para polisi hutan. Akhirnya, Ju harus ikut meringkuk di tahanan bersama kakaknya. Masa tahanan Ju tinggal 2 bulan lagi. Dan ia berencana kembali bekerja di toko mas kerabatnya kembali. Dalam hati, aku merasa lega kalau anak-anak Rutan yang lain mempunyai rencana hidup selepas bebas seperti Ju. Namun, lebih banyak anak yang tidak jelas arah kehidupannya. Banyak di antara mereka tidak mempunyai keluarga sehingga harus kembali ke jalan, bahkan melakukan kejahatan.
Kenyataan tadi ternyata dialami oleh De, anak yang baru saja masuk mengikuti kegiatan kami. Sebenarnya, De adalah anak yang 2-3 bulan lalu pernah masuk Rutan dan telah bebas. Sayang, ia kembali mencuri aki mobil dan tertangkap. Aku sempat merasa sangat sedih ketika dahulu De bersama dua orang temannya pertama kali masuk Rutan. Tiga orang anak asal Nagreg, Kabupaten Bandung yang bertampang lugu ini, awalnya bekerja mengangkut tanah liat untuk bahan bata merah. Namun, karena mereka hanya dibayar Rp. 7500,- saja sehari dengan beban kerja yang sangat berat, mereka berganti profesi. Sayang, pilihan profesi mereka yang baru itu adalah mencuri besi. Alhasil ketiganya ditangkap dan mesti mendekam di tahanan selama hampir empat bulan. Dan sekarang, De untuk kedua kalinya mesti masuk tahanan dengan kasus yang sama. Sebuah kenyataan yang semakin membuat hatiku miris. Ternyata negara hanya bisa menghukum anak-anak miskin dan tidak bisa menjamin kehidupan mereka.
Tiga cerita anak di atas agaknya cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa masih banyak yang harus masyarakat lakukan bagi anak-anak, termasuk anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Tahun 2009 ini sepertinya tak akan memberi banyak cerita baru yang dapat memberi kita harapan. Umbar janji para politisi dari mulai pamflet hingga iklan di televisi dengan anggaran milyaran rupiah, nyaris tidak pernah menyinggung bagaimana anak-anak kita harus terjamin segala haknya. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak-anak kita juga yang memiliki hak yang sama seperti anak-anak yang lain. Alih-alih mendapat perhatian dan penanganan yang baik, ternyata anak-anak hanya menjadi komoditas politik. Dan Rutan pun menjadi salah satu ajang pertarungan para politisi meski memang terkesan diam-diam. Wallahu a’lam.
Jumat, 30 Januari 2009
kami, dan tenaga kami.
Ruangan sudah dipenuhi anak-anak saat kami masuk. Mereka masih saja duduk duduk seperti biasa, sambil sesekali Ka Ira dan Kang Rizal mengajak mereka bercanda atau sekedar menyapa mereka. Kemudian, pendampingan ini pun dibuka oleh Kang Zamzam, dengan Icebreaking games berupa "asem-asem" dan senam ringan. Disaat suasana sudah mulai cair, seperti biasa kami membagi anak ke dalam kelompok-kelompok kecil.
Kelompok musik kini didampingi oleh Kang Zamzam dan juga Oka, kelompok musik tidak dibagi lebih kecil lagi seperti sebelumnya. Target kami untuk mendampingi 5-6 orang bagi setiap pendamping rupanya belum bisa tercapai. Rangkaian lagu-lagu terdengar riuh rendah di ruangan ini.
Begitu pula dengan kelompok kriya, yang kegiatannya kali ini membuat gambar "citra diri" beserta fungsi-fungsi organ tubuh manusia. Oleh Ka Ira dan Kang Rizal, anak diajarkan lebih open minded akan rupa-rupa fungsi organ tubuh dirinya. Selanjutnya gambar tersebut diwarnai sesuka mereka.
Lain lagi dengan kelompok tulis menulis, yang kini lebih banyak anggotanya. Maklum, anak yang baru masuk kali ini dipersilahkan ikut kegiatan tulis menulis dulu, dengan harapan mereka bisa menapaki kegiatan ini dengan terlebih dahulu membuka diri. Wilda yang ditemani Nasti mendampingi anak bergantian, suasana terasa lebih kondusif, terlebih anak-anak ini kooperatif terhadap pendamping.
Di sela-sela kegiatan ini, kami mempersilahkan bagi anak-anak yang mau menitipkan surat untuk keluarganya atau menitipkan sms agar ditulis dan diberikan pada kami untuk kemudian akan kami kirimkan. Beberapa anak yang baru tau akan hal ini antusias sekali, ada yang segera minta kertas dan alat tulis kemudian cepat-cepat menulis, ada pula yang ingin menulis namun tidak tau alamatnya.. ah, seandainya saja hal itu pun bisa terbantu..
Selesai, kegiatan pendampingan ini selesai dengan terdengarnya adzan dan lonceng rutan yang seakan sudah siap menjemput anak-anak menuju kegiatan dan rutinitas mereka selanjutnya.
Kami, para pendamping hanya memiliki sepersekian waktu dari jenuhnya kegiatan mereka selama seminggu ini. Semoga saja tenaga yang kami keluarkan ini tidak percuma dan bermanfaat bagi mereka kelak..
Minggu, 18 Januari 2009
TIDAK SEKEDAR MEMBERI
Aku menyadari ada kerinduan yang besar dari teman-teman untuk kembali mendampingi anakanak. Anita punbercerita tentang kerinduan yang sama dari anakanak di Rutan, setelah ia berkunjung ke Rutan sehari sebelumnya. Di samping itu, mulai ada kejenuhan dengan rapat atau diskusi yang maraton kami lakukan tanpa terjun langsung mendampingi anak. Namun, kami semua sadar harus terus membenahi pola pendampingan yang telah kami lakukan.
Sebenarnya, sebelum pertemuan terakhir, saya sempat merasa khawatir antusiasme teman-teman untuk menghadiri pertemuan akan berkurang. Tetapi, kekhawatiran itu lambat laun memudar ketika hampir semua teman hadir dalam pertemuan, kecuali Dewi yang sedang ujian.
Obrolan kami pun bertambah ramai ketika beberapa teman Psikologi UNISBA ikut bergabung. Kekhawatiran ini bukan hanya dirasakan olehku, Kang Dan Satriana pun menangkap perasaan yang sama. Hingga sebelum pertemuan terakhir itu, beliau berpesan kepadaku untuk bisa memotivasi temanteman lain. Beliau memberi beberapa perumpamaan. Seandainya rumah kita berada di pinggir jalan raya dan setiap hari terjadi kecelakaan, apa yang akan kita lakukan? Atau, bila kita tinggal di pinggir sungai dan sering ditemukan bayi yang dibuang orang tuanya, apa yang akan kita lakukan? Atau, haruskah kita memberi uang kepada pengamen anak-anak di jalanan? Segala hal itu tidak cukup diselesaikan dengan caracara instan. Tak cukup dengan membawa korban kecelakaan ke rumah sakit. Tak cukup dengan mengentaskan bayi dari sungai. Tak cukup dengan memberi uang recehan kepada pengamen anak. Kita harus mengetahui latar belakang permasalahannya. Dengan kata lain, kita tak bisa hanya mencegat masalah di hilir saja, kita harus menyusurinya sampai hulu.
Cerita-cerita Kang Dan tadi menjadi pembuka dari obrolan kami di sebuah kafe di sekitar Tamansari. Meski aku tak cukup fasih dan mampu memotivasi temanteman, dengan dukungan dari Ilah semangat teman-teman pun terangkat lagi. Obrolan pun mulai mencair. Tak banyak yang kami bicarakan, hanya berkutat pada kontrak komitmen teman-teman sebagai relawan untuk beberapa job. Ternyata niat baik kita untuk membantu sesama tidak bisa diberikan dengan sekedarnya, harus ada mekanisme dan strateginya agar tepat guna. Sekali lagi, tak cukup kita menyelesaikan masalah di hilir, kita harus menyusuri dan menyelesaikan masalah itu dari hulunya. Acapkali bantuan yang kurang tepat malah berujung dengan kebingungan atau ketergantungan. Tentu saja kita tak mau niat baik kita malah membawa akibat buruk nantinya.
Pendampingan bukan sekedar memberi apa-apa yang dibutuhkan anakanak, tapi juga mempersiapkan langkahlangkah strategis untuk mengantisipasi segala permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum. Adakalanya sumbangan kecil yang diberikan dengan tepat lebih bermanfaat daripada sumbangan besar yang malah berakibat ketergantungan orang yang dibantu. Wallahu a’lam..
CATATAN PENDAMPINGAN AKHIR TAHUN 2008
2009, seminggu selanjutnya, kami maraton mengadakan pertemuan untuk memperbincangkan pola pendampingan anak di 2009 ini dan hal‐hal lain yang bisa mendukung aktivitas pendampingan.
Pertemuan pertama dilaksanakan pada 30 Desember 2008, pertemuan kedua pada 6 Januari 2009 dan pertemuan ketiga pada 8 Januari 2009. Pertemuan‐pertemuan ini dilakukan pasca refleksi bersama seluruh teman yang beraktivitas di Kalyanamandira pada acara syukuran Kalyanamandira, 25 Desember 2008 lalu.
Dari refleksi itu tercetus bahwa Kalyanamandira bersama jaringan LSM lain merasa harus melakukan hal‐hal yang lebih dari sekedar pendampingan. Salah satunya mengoptimalkan jaringan yang sudah ada. Hal ini untuk menyokong seluruh program penanganan anak nakal dan anak berkonflik dengan hukum (AKH).
Pertemuan pertama 30 Desember 2008 hanya dihadiri saya, Kang Dan Satriana dan Zamzam. Kami memulai pembicaraan tentang polemik panggilan ‘anak nakal’ bagi anak‐anak yang rentan berkonflik dengan hukum. Panggilan ‘anak nakal’ terasa tidak layak dalam perspektif positif terhadap anak dalam kondisi bagaimanapun. Tak hanya anak‐anak yang berkonflik dengan hukum, anak‐anak nakal pun seringkali dianggap bibit masalah dalam masyarakat. Ingat, bagaimana polisi, pemerintah dan masyarakat merasa kebakaran jenggot ketika geng‐geng motor yang sebagian besar anggotanya adalah anak‐anak remaja, begitu merebak di beberapa kota.
Di awal, kami merumuskan ‘Goal’ dari keseluruhan program adalah anak nakal dan anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) mempunyai kesempatan untuk bertumbuh‐kembang dan berpartisipasi. Selanjutnya, kami memilah ‘Goal’ tadi pada tiga kondisi anak yang bermasalah dengan hukum, yaitu,
(1) Program penanganan terhadap anak nakal dan anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) sebelum
proses peradilan;
(2) Program penanganan terhadap anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH)
selama proses peradilan (penyidikan, penyidangan dan penahanan);
(3) Program penanganan anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) setelah menjalani masa hukuman.
Bagi anak‐anak yang rentan berkonflik dengan hukum atau sebagian besar masyarakat kita sering menyebutnya dengan ‘anak nakal’ diharapkan adanya aturan atau mekanisme alternatif di luar proses hukum positif yang sesuai dengan tuntutan Konvensi Hak Anak (KHA) serta terbentuknya komunitas dan jaringan yang secara konsisten mengembangkan konsep Restorative Justice (keadilan yang memulihkan) bagi anak. Aturan dan mekanisme alternatif dalam penanganan anak‐anak yang rentan berkonflik dengan hukum di antaranya diwujudkan dengan tersedianya ruang ekspresi bagi semua anak yang terbuka selebar‐lebarnya serta adanya pemahaman yang sama tentang perlindungan hak anak termasuk anak nakal di dalamnya.
Sedangkan, terbentuknya komunitas dan jaringan untuk menyokong wacana
restorative justice diarahkan sampai adanya perangkat dan Standar Operasional (SOP) penanganan anak‐anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan Konvensi Hak Anak (KHA).
Sedangkan bagi anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) ada 3 harapan besar, yaitu;
(a) AKH tetap dilindungi hak‐haknya meskipun sedang menjalani proses hukum;
(b) AKH tetap mendapatkan pembelajaran tentang nilai‐nilai demi tetap berjalannya proses tumbuh‐kembang dan partisipasi mereka;
(c) AKH tetap diberi kesempatan untuk berhubungan dengan dunia luar (orang tua, saudara,
teman dan lain‐lain).
Selama menjalani proses hukum, anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) harus diperlakukan selayaknya anak‐anak lain; penahanannya terpisah dengan tahanan dewasa, tetap mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, psikologi dan bisa berkomunikasi dengan dunia luar; mendapatkan pendampingan dalam merencanakan kehidupan setelah selesai masa tahanan; dan diberi ruang atau media ekspresi.
Setelah menjalani masa tahanan, anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) seringkali sulit diterima dan diperlakukan layaknya anak‐anak yang lain. Oleh karena itu, kami merasa perlu membangun jaringan untuk mengarus utamakan penegakan hak yang sama bagi anak‐anak ‘mantan AKH’ layaknya anak‐anak yang lain. Di samping itu, kami berencana untuk membangun sentra informasi dan layanan bagi anak‐ anak, khususnya anak‐anak yang baru keluar dari tahanan. Kami sangat sadar bahwa cita‐cita kami tadi tidak bisa kami wujudkan sendiri. Sehingga pembangunan jaringan dan pengarus utamaan wacana penanganan anak nakal dan AKH ini adalah tahapan yang harus segera dijalankan, di samping pembenahan pendampingan yang selama ini telah berjalan.
Wallahu a’lam.