Jumat, 30 Januari 2009

kami, dan tenaga kami.

Pendampingan kali ini dimulai dengan hari yang sepi, dimana saat itu yang datang baru Kang Rizal dan Ka Ira. Wilda dan temannya baru datang beberapa saat kemudian. Tidak lama, Kang Zamzam juga datang bersama Oka. Kami pun menanti kedatangan teman-teman yang lain, kabarnya paling tidak. Tapi beberapa diantaranya belum memberi kabar, maka kami memutuskan untuk masuk duluan.

Ruangan sudah dipenuhi anak-anak saat kami masuk. Mereka masih saja duduk duduk seperti biasa, sambil sesekali Ka Ira dan Kang Rizal mengajak mereka bercanda atau sekedar menyapa mereka. Kemudian, pendampingan ini pun dibuka oleh Kang Zamzam, dengan Icebreaking games berupa "asem-asem" dan senam ringan. Disaat suasana sudah mulai cair, seperti biasa kami membagi anak ke dalam kelompok-kelompok kecil.

Kelompok musik kini didampingi oleh Kang Zamzam dan juga Oka, kelompok musik tidak dibagi lebih kecil lagi seperti sebelumnya. Target kami untuk mendampingi 5-6 orang bagi setiap pendamping rupanya belum bisa tercapai. Rangkaian lagu-lagu terdengar riuh rendah di ruangan ini.
Begitu pula dengan kelompok kriya, yang kegiatannya kali ini membuat gambar "citra diri" beserta fungsi-fungsi organ tubuh manusia. Oleh Ka Ira dan Kang Rizal, anak diajarkan lebih open minded akan rupa-rupa fungsi organ tubuh dirinya. Selanjutnya gambar tersebut diwarnai sesuka mereka.
Lain lagi dengan kelompok tulis menulis, yang kini lebih banyak anggotanya. Maklum, anak yang baru masuk kali ini dipersilahkan ikut kegiatan tulis menulis dulu, dengan harapan mereka bisa menapaki kegiatan ini dengan terlebih dahulu membuka diri. Wilda yang ditemani Nasti mendampingi anak bergantian, suasana terasa lebih kondusif, terlebih anak-anak ini kooperatif terhadap pendamping.

Di sela-sela kegiatan ini, kami mempersilahkan bagi anak-anak yang mau menitipkan surat untuk keluarganya atau menitipkan sms agar ditulis dan diberikan pada kami untuk kemudian akan kami kirimkan. Beberapa anak yang baru tau akan hal ini antusias sekali, ada yang segera minta kertas dan alat tulis kemudian cepat-cepat menulis, ada pula yang ingin menulis namun tidak tau alamatnya.. ah, seandainya saja hal itu pun bisa terbantu..

Selesai, kegiatan pendampingan ini selesai dengan terdengarnya adzan dan lonceng rutan yang seakan sudah siap menjemput anak-anak menuju kegiatan dan rutinitas mereka selanjutnya.
Kami, para pendamping hanya memiliki sepersekian waktu dari jenuhnya kegiatan mereka selama seminggu ini. Semoga saja tenaga yang kami keluarkan ini tidak percuma dan bermanfaat bagi mereka kelak..



Minggu, 18 Januari 2009

TIDAK SEKEDAR MEMBERI

Genap sebulan kami tidak melakukan pendampingan anakanak di Rumah Tahanan Kelas 1 Kebon Waru Bandung. Kami masih terus mematangkan konsep dan perangkat pendampingan yang akan kami laksanakan ke depan. Kami melakukan pertemuan secara maraton. Pertemuan terakhir kami adakan pada 14 Januari 2009 di Taman Sari bersama teman-teman pendamping dari UNISBA.

Aku menyadari ada kerinduan yang besar dari teman-teman untuk kembali mendampingi anakanak. Anita punbercerita tentang kerinduan yang sama dari anakanak di Rutan, setelah ia berkunjung ke Rutan sehari sebelumnya. Di samping itu, mulai ada kejenuhan dengan rapat atau diskusi yang maraton kami lakukan tanpa terjun langsung mendampingi anak. Namun, kami semua sadar harus terus membenahi pola pendampingan yang telah kami lakukan.
Sebenarnya, sebelum pertemuan terakhir, saya sempat merasa khawatir antusiasme teman-teman untuk menghadiri pertemuan akan berkurang. Tetapi, kekhawatiran itu lambat laun memudar ketika hampir semua teman hadir dalam pertemuan, kecuali Dewi yang sedang ujian.

Obrolan kami pun bertambah ramai ketika beberapa teman Psikologi UNISBA ikut bergabung. Kekhawatiran ini bukan hanya dirasakan olehku, Kang Dan Satriana pun menangkap perasaan yang sama. Hingga sebelum pertemuan terakhir itu, beliau berpesan kepadaku untuk bisa memotivasi temanteman lain. Beliau memberi beberapa perumpamaan. Seandainya rumah kita berada di pinggir jalan raya dan setiap hari terjadi kecelakaan, apa yang akan kita lakukan? Atau, bila kita tinggal di pinggir sungai dan sering ditemukan bayi yang dibuang orang tuanya, apa yang akan kita lakukan? Atau, haruskah kita memberi uang kepada pengamen anak-anak di jalanan? Segala hal itu tidak cukup diselesaikan dengan caracara instan. Tak cukup dengan membawa korban kecelakaan ke rumah sakit. Tak cukup dengan mengentaskan bayi dari sungai. Tak cukup dengan memberi uang recehan kepada pengamen anak. Kita harus mengetahui latar belakang permasalahannya. Dengan kata lain, kita tak bisa hanya mencegat masalah di hilir saja, kita harus menyusurinya sampai hulu.

Cerita-cerita Kang Dan tadi menjadi pembuka dari obrolan kami di sebuah kafe di sekitar Tamansari. Meski aku tak cukup fasih dan mampu memotivasi temanteman, dengan dukungan dari Ilah semangat teman-teman pun terangkat lagi. Obrolan pun mulai mencair. Tak banyak yang kami bicarakan, hanya berkutat pada kontrak komitmen teman-teman sebagai relawan untuk beberapa job. Ternyata niat baik kita untuk membantu sesama tidak bisa diberikan dengan sekedarnya, harus ada mekanisme dan strateginya agar tepat guna. Sekali lagi, tak cukup kita menyelesaikan masalah di hilir, kita harus menyusuri dan menyelesaikan masalah itu dari hulunya. Acapkali bantuan yang kurang tepat malah berujung dengan kebingungan atau ketergantungan. Tentu saja kita tak mau niat baik kita malah membawa akibat buruk nantinya.

Pendampingan bukan sekedar memberi apa-apa yang dibutuhkan anakanak, tapi juga mempersiapkan langkahlangkah strategis untuk mengantisipasi segala permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum. Adakalanya sumbangan kecil yang diberikan dengan tepat lebih bermanfaat daripada sumbangan besar yang malah berakibat ketergantungan orang yang dibantu. Wallahu a’lam..

CATATAN PENDAMPINGAN AKHIR TAHUN 2008

Sudah tiga minggu ini kami tidak datang mendampingi anak‐anak di Rutan Kebon Waru. Pada dua minggu yang pertama karena libur bertepatan dengan Hari Natal dan Tahun Baru
2009, seminggu selanjutnya, kami maraton mengadakan pertemuan untuk memperbincangkan pola pendampingan anak di 2009 ini dan hal‐hal lain yang bisa mendukung aktivitas pendampingan.

Pertemuan pertama dilaksanakan pada 30 Desember 2008, pertemuan kedua pada 6 Januari 2009 dan pertemuan ketiga pada 8 Januari 2009. Pertemuan‐pertemuan ini dilakukan pasca refleksi bersama seluruh teman yang beraktivitas di Kalyanamandira pada acara syukuran Kalyanamandira, 25 Desember 2008 lalu.

Dari refleksi itu tercetus bahwa Kalyanamandira bersama jaringan LSM lain merasa harus melakukan hal‐hal yang lebih dari sekedar pendampingan. Salah satunya mengoptimalkan jaringan yang sudah ada. Hal ini untuk menyokong seluruh program penanganan anak nakal dan anak berkonflik dengan hukum (AKH).

Pertemuan pertama 30 Desember 2008 hanya dihadiri saya, Kang Dan Satriana dan Zamzam. Kami memulai pembicaraan tentang polemik panggilan ‘anak nakal’ bagi anak‐anak yang rentan berkonflik dengan hukum. Panggilan ‘anak nakal’ terasa tidak layak dalam perspektif positif terhadap anak dalam kondisi bagaimanapun. Tak hanya anak‐anak yang berkonflik dengan hukum, anak‐anak nakal pun seringkali dianggap bibit masalah dalam masyarakat. Ingat, bagaimana polisi, pemerintah dan masyarakat merasa kebakaran jenggot ketika geng‐geng motor yang sebagian besar anggotanya adalah anak‐anak remaja, begitu merebak di beberapa kota.

Di awal, kami merumuskan ‘Goal’ dari keseluruhan program adalah anak nakal dan anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) mempunyai kesempatan untuk bertumbuh‐kembang dan berpartisipasi. Selanjutnya, kami memilah ‘Goal’ tadi pada tiga kondisi anak yang bermasalah dengan hukum, yaitu,
(1) Program penanganan terhadap anak nakal dan anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) sebelum
proses peradilan;
(2) Program penanganan terhadap anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH)
selama proses peradilan (penyidikan, penyidangan dan penahanan);
(3) Program penanganan anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) setelah menjalani masa hukuman.

Bagi anak‐anak yang rentan berkonflik dengan hukum atau sebagian besar masyarakat kita sering menyebutnya dengan ‘anak nakal’ diharapkan adanya aturan atau mekanisme alternatif di luar proses hukum positif yang sesuai dengan tuntutan Konvensi Hak Anak (KHA) serta terbentuknya komunitas dan jaringan yang secara konsisten mengembangkan konsep Restorative Justice (keadilan yang memulihkan) bagi anak. Aturan dan mekanisme alternatif dalam penanganan anak‐anak yang rentan berkonflik dengan hukum di antaranya diwujudkan dengan tersedianya ruang ekspresi bagi semua anak yang terbuka selebar‐lebarnya serta adanya pemahaman yang sama tentang perlindungan hak anak termasuk anak nakal di dalamnya.

Sedangkan, terbentuknya komunitas dan jaringan untuk menyokong wacana
restorative justice diarahkan sampai adanya perangkat dan Standar Operasional (SOP) penanganan anak‐anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan Konvensi Hak Anak (KHA).
Sedangkan bagi anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) ada 3 harapan besar, yaitu;
(a) AKH tetap dilindungi hak‐haknya meskipun sedang menjalani proses hukum;
(b) AKH tetap mendapatkan pembelajaran tentang nilai‐nilai demi tetap berjalannya proses tumbuh‐kembang dan partisipasi mereka;
(c) AKH tetap diberi kesempatan untuk berhubungan dengan dunia luar (orang tua, saudara,
teman dan lain‐lain).

Selama menjalani proses hukum, anak‐anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) harus diperlakukan selayaknya anak‐anak lain; penahanannya terpisah dengan tahanan dewasa, tetap mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, psikologi dan bisa berkomunikasi dengan dunia luar; mendapatkan pendampingan dalam merencanakan kehidupan setelah selesai masa tahanan; dan diberi ruang atau media ekspresi.

Setelah menjalani masa tahanan, anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) seringkali sulit diterima dan diperlakukan layaknya anak‐anak yang lain. Oleh karena itu, kami merasa perlu membangun jaringan untuk mengarus utamakan penegakan hak yang sama bagi anak‐anak ‘mantan AKH’ layaknya anak‐anak yang lain. Di samping itu, kami berencana untuk membangun sentra informasi dan layanan bagi anak‐ anak, khususnya anak‐anak yang baru keluar dari tahanan. Kami sangat sadar bahwa cita‐cita kami tadi tidak bisa kami wujudkan sendiri. Sehingga pembangunan jaringan dan pengarus utamaan wacana penanganan anak nakal dan AKH ini adalah tahapan yang harus segera dijalankan, di samping pembenahan pendampingan yang selama ini telah berjalan.


Wallahu a’lam.

Jumat, 12 Desember 2008

KETIKA SEGALANYA TERJADI DI LUAR PERKIRAAN (2)

(Catatan Pendampingan Anak Rutan Kebonwaru, 11 Desember 2008)

Meski menyisakan banyak keganjilan dalam pendampingan seminggu yang lalu, ditambah ketiadaan rapat rutin yang biasa kami lakukan setiap hari Selasa, aku tetap melakukan pendampingan bersama teman-teman lain. Ku pikir, ada banyak hal yang bisa aku pelajari dalam pendampingan walaupun prosesnya terjadi sangat tidak sistematis. Aku dipusingkan dengan diskusi SAP, indikator, pelaporan dan segala hal yang sebenarnya hanya pelengkap dalam sebuah pendampingan atau fasilitasi. Aku memang orang yang emoh dengan segala formalitas dan prosedur, tapi bukan berarti aku tidak bisa memberikan sesuatu yang terbaik bagi orang lain.

Dengan mata yang ku rasa sangat pedih sejak beberapa hari yang lalu, aku menyapa Ira, Wilda, Rerra, Anita, Yulia dan Ilah yang lebih dulu sampai di halaman Rutan Kebonwaru. Tadinya, aku berencana untuk tidak datang karena mataku sakit. Tapi ketika Tya mengabarkan bahwa ia dan Tasya tidak bisa datang ke Rutan, maka aku tergerak untuk pergi. Hari ini, Mayenne pun tidak bisa datang karena sakit dan Zamzam yang mengikuti praktikum.

Sebenarnya, aku merasa agak kurang siap mendampingi, bukan hanya karena sakit mata tapi karena SAP yang biasa aku siapkan belum ku susun. Namun, sapaan, canda dan senyum teman-teman dapat meredakan sakit dan ketidak siapanku. Makasih ya...

Dheka, Oka dan Togar melengkapi tim kami. Kami mulai berkerumun di depan gerbang Rutan dan mulai melewati prosedur pemeriksaan satu-persatu. Sayang, kamera Wilda yang biasa kami gunakan untuk dokumentasi kegiatan tidak boleh dibawa ke dalam.

Wilda mulai membuka acara. Yulia dan Rerra memberi game `Topi Saya Bundar`. Dan seluruh kegiatan pendampingan hari ini dimulai....

Aku dan Ira menemani anak-anak Kriya mewarnai patung-patung tanah liat hasil karya mereka seminggu yang lalu. Yulia dan Oka bereksperimen memainkan musik dengan peralatan seperti botol, kaleng, galon, sendok dan pensil bersama anak-anak Musik. Dheka dan Wilda merangkai sebuah cerita bersama anak-anak Sastra. Ilah dan Rerra masih tetap menjadi sweeper. Anita masih tetap sendirian di minilab dengan 2 orang anak baru.

Anak-anak Kriya cukup antusias mewarnai hasil karya tanah liat mereka, sampai-sampai bercak-bercak cat tercecer di mana-mana. Huh katempuhan euy, aku mesti sedikit bersih-bersih. Anak-anak Musik berisik dengan eksperimen musik mereka. Anak-anak Sastra lebih hangat dengan rangkaian cerita yang mereka susun bersama. Indah ya, meski ku sadar ada banyak hal yang di luar perkiraan dan sulit dilaporkan secara sistematis.

Ilah menyampaikan keresahannya tentang nasib seorang anak bernama Topan (bukan nama sebenarnya). Topan telah beberapa minggu mengeluh karena mesti berada satu sel bersama tahanan-tahanan dewasa. Sebenarnya, beberapa waktu yang lalu Topan pernah bercerita hal yang sama kepadaku. Sayang, aku mesti berbagi konsentrasi dengan kegiatan dan anak-anak lain. Maaf Pan....

Hari ini pun kami kebanjiran titipan pesan dari anak-anak kepada orang tua dan saudara mereka. Untung, Anita pegang seluler dengan provider yang harga smsnya dihitung perkarakter. Makasih Ta....

Masih banyak PR pendampingan yang harus segera dibenahi. Tapi, jangan pernah mengalah. Anak-anak itu masih sangat butuh kita dampingi. Wallahu a`lam.....

KETIKA SEGALANYA TERJADI DI LUAR PERKIRAAN (1)

(Catatan Pendampingan Anak Rutan Kebonwaru, 4 Desember 2008)

Pagi itu, aku bangun dengan cukup lega, karena segala hal yang dibutuhkan untuk pendampingan hari itu kupikir telah telah disiapkan. Aku pun lebih bersemangat untuk mandi pagi. Tapi aku tak cepat-cepat berangkat, menunggu Oka bangun dan yulia datang menumpang mengeprint di basecamp Kalyanamandira.

Jam 8, Yulia tiba dan mengeprint lembar presensi dan SAP. Oka baru saja masuk kamar mandi dan mempersilahkan aku dan yulia berangkat lebih dulu. Aku dan yulia berangkat dan mampir sebentar di rumah Ben untuk mengambil uang transport bagi para pendamping.

Sesampainya di halaman Rutan Kebonwaru, kami bertemu Mayene, Rerra dan Wilda. Aku permisi sebentar untuk mengambil tanah liat yang telah aku beli sehari sebelumnya di Balai Keramik yang berada di belakang Rutan Kebonwaru. Dibonceng Ilah yang berpapasan di jalan, aku mengambil tanah liat untuk kegiatan anak di kelompok Kriya sebanyak 20 kg. Lega rasanya, kala segala persiapan dirasa telah terlaksana. Aku semakin lega, ketika Anita, Ira, Tya, Tasya, Firman, Oka dan Togar telah berkumpul bersama kami. Sayang, hari itu Dheka tidak bisa datang karena sakit, dan Zamzam yang mengikuti praktikum di kampusnya. Hampir jam 10, kami mulai memasuki gerbang Rutan Kebonwaru dengan segala prosedur pengamanan dan pemeriksaan.

Aku mulai menangkap gelagat kurang mengenakkan. Ternyata, kelegaanku hanyalah sementara. Dalam pendampingan banyak hal terjadi di luar perkiraan. Meski `rundown` kegiatan pendampingan telah kami susun, tetap saja banyak hal yang harus kami benahi. Terlebih SAP yang selalu saja menyisakan PR besar bagi kami. Ketidak jelasan indikator seringkali menjadi sebab sulitnya kami mengukur hasil kerja pendampingan. Tata administrasi dan inventarisir data anak selalu terseret-seret di antara hiruk-pikuk pendampingan dan aktivitas kami yang lain. Selepas pelatihan Appreciative Inquiry yang ku pikir masih agak prematur, belum banyak mengubah tata kerja aku dan teman-teman pendamping yang lain.

Setelah Yulia, Anita dan Wilda membuka acara dengan sebuah game, anak-anak mulai memasuki kelompoknya masing-masing. Aku, Ira, Tya dan Tasya mendampingi kelompok Kriya yang hari itu berencana membuat patung tanah liat. Oka dan Yulia mendampingi kelompok Musik. Wilda ditemani Mayene di kelompok Sastra. Anita dan Rerra di minilab. Ilah, hari itu, masih tetap menjadi sweeper.

Meski keriuhan terjadi di sepanjang kegiatan pendampingan hari itu, aku merasakan banyak keganjilan di mana-mana. Mulai dari alur yang agak amburadul sampai perilaku beberapa pendamping yang kurang menjalankan perannya sebagai pendamping. Kata-kata tadi mungkin lebih halus daripada aku berkata `konyol`. Aku sadar, aku pun belum bisa secara penuh menjalankan peran fasilitator atau pendamping anak, tapi aku selalu sadar aku sedang berada di mana.

Aku tak bisa bercerita banyak sekarang, di samping sepulang dari pendampingan anak hari itu tidak ada evaluasi, aku merasa tak banyak cerita yang bisa aku banggakan.