Senin, 18 April 2011

Coretan Anak Rutan (Bagian ke-1)

DEAR DIARY
Pertama-tama saya pulang dari sini ,saya ingin menjadi orang yang lebih baik.berguna bagi keluarga maupun masyarakat.soalnya saya gak mau kalau sampai melihat orangtua saya menderita.
Mengapa ya?semua ini harus terjadi padaku,mungkin aku telah banyak berbuat kepada oranglain ?sehingga aku harus mengenal yang namanya hukuman penjara .tapi aku akan tetap semangat menghadapi semua ini dan aku berjanji aku ga akan mengulangi yang ke dua kalinya lagi.
Ya alloh ampunnilah segala dosa-dosaku aku menyesal atas semua ini dan ampunilah segala dosa oranguaku.aminnn….

Senin, 04 April 2011

NOTULENSI AUDIENSI


LINGKAR PERLINDUNGAN ANAK KOTA BANDUNG – KOMISI D DPRD KOTA BANDUNG
Bandung, 29 Maret 2011

Audiensi ini dilaksanakan pada hari Selasa, 29 Maret 2011, dari pukul 13.10 WIB sampai dengan pukul 14.45 WIB, bertempat di Ruang Komisi D DPRD Kota Bandung. Yang hadir dalam audiensi ini adalah 4 orang anggota DPRD dari Komisi D yang diketuai Ahmad Nugraha, Kepala Dinas Sosial Kota Bandung beserta 2 orang stafnya, dan beberapa orang perwakilan Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung yang juga wakil dari beberapa LSM penggiat hak anak di Kota Bandung, seperti, Yayasan Kalyanamandira, Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA), Semak, Yayasan Bahtera, Yayasan Saudara Sejiwa, dan Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (KerLiP).
Dalam sambutan sekaligus pembukaan  Audiensi antara Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung bersama Komisi D DPRD Kota Bandung dan Dinas Sosial Kota Bandung, Ahmad Nugraha, Ketua Komisi D DPRD Kota Bandung, menyambut baik langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung dalam penanganan masalah anak-anak dalam situasi khusus.  Menurutnya, sejauh ini Bandung sebagai salah satu kota besar yang ada di Indonesia, selalu dipusingkan dengan permasalahan gelandangan dan pengemis (gepeng), termasuk di dalamnya permasalahan anak-anak jalanan yang tak kunjung selesai. Oleh karena itu, beliau sangat mengharapkan peran serta masyarakat untuk membantu pemkot dalam penanganan permasalahan ini.
Sebelum masuk ke dalam inti pembahasan, Andi Akbar, salah seorang perwakilan Lingkar yang juga staf di Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA), memperkenalkan secara singkat profil Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung, yang semula hanyalah ‘obrolan warung kopi’ antar para penggiat hak anak di Kota Bandung lalu bergabung menyatukan langkah untuk melakukan proses advokasi hak anak yang lebih menyeluruh. Andi pun sedikit menyitir kondisi riil anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) yang ada di Kota Bandung. Menurutnya, AKH yang hamper semuanya adalah anak-anak Bandung ini malah tidak mendapatkan layanan dari pemerintah Kota Bandung hanya karena AKH secara regulasi berada dalam tanggungan instansi vertical, yaitu, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhumham). Pengabaian hak AKH ini telah dimulai pada awal penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian hingga mereka keluar dari penjara.
Secara panjang lebar, Rijaludin, yang merupakan Koordinator Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung memaparkan kondisi yang terjadi pada AKH di Kota Bandung, beberapa alasan mengadvokasi AKH dan beberapa tuntutan terkait AKH. Menurutnya, audiensi ini merupakan langkah lanjutan dari kegiatan Forum Group Discussion (FGD) dengan tema “Membuka Peluang Pengalokasian Anggaran Daerah bagi Pemenuhan Hak-hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum” yang telah dilakukan pada 15 Maret 2011 bersama instansi-instansi terkait dan beberapa LSM.
Selanjutnya, Rijaludin menyatakan bahwa, kondisi anak-anak yang berhadapan dengan hukum ini sangat memprihatinkan. Mereka tidak mendapatkan layanan-layanan yang memadai, padahal dalam proses pnahanan ini anak-anak hanya dicabut hak kemerdekaannya saja tidak dengan hak-hak yang lain. Terlebih lagi di Bandung tidak ada Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus anak. Yang ada hanya Rumah Tahanan dan LP yang juga terdapat di dalamnya para narapidana dan para tahanan dewasa. Kondisi sangat mengkhawatirkan, mengingat anak-anak ini masih sangat labil mental dan kejiwaannya. Di samping itu, anak-anak ini rentan mendapatkan kekerasan baik dari para tahanan dewasa maupun dari para petugas.
Sejauh ini, proses peradilan yang dilakukan masih secara konvensional yaitu dengan pemenjaraan yang seringkali hanya bertujuan retributive (pembalasan). Padahal, yang layak bagi anak-anak adalah proses peradilan alternative di luar pemenjaraan yang bertujuan untuk melakukan proses pemulihan (restorative). Dengan cara-cara retributive ternyata sering hanya melahirkan para residivis-residivis baru, termasuk anak-anak di dalamnya.
Sebenarnya, Negara dalam hal ini adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun pemerintah kota/kabupaten, sama-sama memiliki kewajiban untuk senantiasa melindungi hak-hak anak, termasuk AKH. Adanya kewajiban ini mengingat beberapa hal sebagai berikut:
   Pemerintah Indonesia sudah berjanji akan memberikan penanganan dan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Janji utama ini diwujudkan dalam bentuk:
     Ratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36 Tahun 1990
     Pemerintah Indonesia telah mensahkan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
   Kedua janji utama ini sama-sama menempatkan anak yang berkonflik dengan hukum sebagai anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
   Anak yang berkonflik dengan hukum merupakan warga setempat, dalam konteks ini adalah warga Kota Bandung.
    Selama ini, Pemerintah Kota Bandung kurang terlibat dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum baik selama masa penahanan/pemenjaraan maupun dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi.
Sementara itu, angka AKH dan kondisi riilnya dipaparkan berikut ini:
    Menurut data UNICEF, setidaknya dalam satu tahun terdapat 4000 anak yang diadili. Lebih dari 90% diantaranya dihukum penjara.
   Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) sejak tahun 2002-2010 menangani 196 anak di Bandung yang berperkara di peradilan pidana.
    Adapun berdasar data terakhir dari pengadilan negeri Bandung, terdapat 87 orang anak konflik hukum (AKH) yang prosesnya sampai ke pengadilan. Dan 90% di antaranya dituntut penjara.
    Anak-anak tidak berada dalam LP khusus anak melainkan ditempatkan di Rumah Tahanan, bersatu dengan para tahanan dan napi dewasa.
     Tidak ada pembedaan penanganan, baik anak yang melakukan pelanggaran ringan dengan pelangaran berat. Padahal, untuk beberapa kasus yang ringan sangat mungkin diselesaikan secara kekeluargaan.
     Tidak ada layanan pendidikan formal maupun non formal bagi anak-anak yang berada dalam penjara. Yang ada adalah pendidikan informal yang dilakukan oleh LSM
      Layanan kesehatan jauh di bawah standar
      Mengalami tekanan yang berat dan semakin terasing dari masyarakatnya
      Tidak ada upaya untuk meminimalisir stigma
    Tidak ada pekerja sosial yang mendampingi anak baik selama pemenjaraan maupun untuk proses reintegrasi
Bila tidak ada penanganan segera, maka akan timbul beberapa masalah berikut:
  • Menjadi korban kekerasan dari tahanan atau narapidana dewasa
  • Hak anak atas pendidikan menjadi tidak terpenuhi. Bahkan anak yang masih sekolah ketika masuk penjara, sekolahnya menjadi terhenti
  • Kondisi kesehatan anak menjadi menurun
  •  Dalam beberapa kasus, tidak ada perbaikan hubungan dengan keluarga. Perbaikan hubungan bahkan tidak terjadi dengan komunitas dan korban
  • Anak menghayati stigma atau labelisasi yang diberikan menjadi perilaku yang permanen
Dalam usia muda, beberapa anak yang berkonflik dengan hukum telah menjadi residivis.
Dari kenyataan di atas, maka Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung mengajukan beberapa tuntutan seperti:
  Menyediakan tempat alternatif untuk penahanan atau pemenjaraan
  Adanya layanan pendidikan yang terstandarisasi (replacement, bridging course atau tutorial) yang dapat digunakan anak pasca menjalani hukuman.
  Meningkatkan fasilitas dan kualitas layanan kesehatan
  Adanya pekerja sosial yang bekerja mulai dari anak ditangkap sampai mendampingi anak dalam proses reintegrasi
Beberapa orang lain baik dari kalangan Lingkar, Komisi D DPRD, maupun dari Dinsos Kota Bandung turut menyampaikan pendapatnya dalam pertemuan ini.
Yanti Sriyulianti dari Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan (KerLiP), menilai kategori anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) ini masih menjadi hal baru bagi pemerintah Kota Bandung. Hal ini Nampak dalam pembahasan MUSRENBANG Kota Bandung 2011 belum lama ini. Padahal AKH telah masuk di antara 22 kategori PKSA (Program Kesejahteraan Sosial Anak) yang ditangani Kementerian Sosial. Pemerintah Kota Bandung memprioritaskan pada 5 kategori di antaranya, yaitu: anak jalanan, pekerja anak, AKH, ESKA (eksploitasi seks komersil anak), dan anak dengan NAPZA/HIV. Masalah besar yang sering terjadi adalah lemahnya koordinasi antar instansi baik antara satu instansi vertical dengan instansi vertikal yang lain, antara instansi vertikal dengan instansi horizontal maupun antara satu instansi horizontal dengan instansi horizontal yang lain. Anak-anak pun seringkali dihadapkan pada permasalahan pemenuhan hak-hak sipil karena kurang pro aktifnya pemerintah dalam melakukan pendataan penduduk.
Eko Kriswanto, salah seorang penggerak Lingkar Perlindungan Anak Kota Bandung, mengutip sebuah data yang menyebutkan dari sekian banyak AKH, 70% di antaranya telah terjebak masuk dalam kategori ‘anak dalam situasi khusus’, seperti, anak jalanan, pekerja anak dan lain-lain. Sehingga pemerintah kota perlu menjalankan langkah-langkah menyeluruh agar anak-anak dapat tercegah dari perbuatan-perbuatan criminal.
Ahmad Nugraha menganggap bahwa anak-anak menjadi berkonflik dengan hukum dikarenakan lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan pertemanannya. Beliau setuju untuk tidak menyamaratakan hukuman antara kasus yang ringan dengan kasus yang berat. Menurutnya, anak nakal itu wajar sehingga tidak setiap bentuk kenakalan harus dipidanakan. Beliau mendorong Lingkar untuk mengajukan hal-hal yang lebih konkret sehingga DPRD dapat segera menyikapinya dengan jelas. Beliau mengakui ada hambatan dalam mengajukan anggaran bagi layanan AKH ini. Namun, bila payung hukum dalam hal ini Peraturan Daerah tentang perlindungan anak telah lahir, anggaran pun akan segera diturunkan.
Andi Akbar meminta pemerintah kota segera mengeluarkan anggaran bagi AKH. Sebenarnya hambatan otonomi daerah masih mempunyai banyak celah. Instansi vertikal hanya memegang ranah yustisi semata, sisanya pemerintah daerah dan pemerintah kota sangat mungkin mengelolanya. Melihat banyak AKH yang diabaikan hak pendidikannya, Dinas Pendidikan Kota Bandung harus menginisiasi layanan pendidikan bagi anak-anak di penjara.
Akbar Halim melihat banyak kota/kabupaten yang dapat mengeluarkan perda dan anggaran terkait perlindungan hak anak. Sehingga Kota Bandung sebagai salah satu kota besar di Indonesia ini sepantasnya mengeluarkan anggaran bagi perlindungan hak anak.
Anggota Komisi D yang lain menyampaikan hal yang hamper serupa. Win Bastiah melihat banyak orang tua yang khawatir label anak nakal atau anak penjahat dapat menular kepada anak-anaknya, sehingga acapkali AKH yang telah bebas dijauhi warga.
Sementara Suci menganggap bahwa tidak ada anak yang terlahir menjadi penjahat, sehingga setiap anak harus mendapat perlakuan yang sama.
Siti Masnun Syamsiati, Kepala Dinas Sosial Kota Bandung, mengakui ada anggaran dari pemerintah provinsi Jawa Barat bagi rehabilitasi para mantan narapidana. Namun, jumlahnya masih sangat sedikit dan kebanyakan masih diberikan kepada para ex-napi dewasa. Dinas Sosial Kota Bandung sendiri tidak mempunyai anggaran bagi layanan AKH ini. Sejauh ini pemerintah Kota Bandung akan membangun panti rehabilitasi anak seluas ± 7 hektar, dan sekarang baru pada tahap pengurugan. Diharapkan tahun 2012 nanti, panti rehabilitasi ini telah siap digunakan.
Secara singkat Dan Satriana mengajukan dua tuntutan yang cukup konkret kepada pihak DPRD dan Dinas Sosial. Dua tuntutan itu adalah :
1.      DPRD, khususnya Komisi D harus mengawal proses penyusunan Perda Perlindungan Anak Kota Bandung, sehingga pemerintah Kota Bandung mempunyai anggaran yang layak bagi perlindungan hak-hak anak di Kota Bandung.
2.      Dinas Sosial Kota Bandung harus membuat Master of Understanding (MoU) atau kesepakatan dengan Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk bersama-sama menjalankan program rehabilitasi dan reintegrasi AKH. Toh, anggarannya telah ada dari pemerintah provinsi Jawa Barat. Dan ada kesempatan untuk memasukkan dalam RAPBD perubahan.
Di akhir pembicaraan, Ahmad Nugraha beserta anggota Komisi D yang lain berjanji mendorong lahirnya Perda Perlindungan Anak Kota Bandung. Dan secara pribadi, beliau telah meminta BPPKB Kota Bandung untuk memulai penyusunan Perda ini dengan kajian.

NOTULENSI FOCUS GROUP DISCUSSION


“Membuka Peluang Pengalokasian Anggaran Daerah
Bagi Pemenuhan Hak-hak Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum”
Bale Gazebo, Bandung, 15 Maret 2011

Anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) seringkali terabaikan hak-haknya. Padahal, sebagai warga Negara – terlebih sebagai anak – mereka tetap berhak mendapatkan berbagai layanan. Sebenarnya berdasar undang-undang, anak-anak ini sah mendapatkan penahanan atau pemenjaraan. Namun, hal ini tidak berarti mencerabut segala hak-hak yang melekat pada dirinya semasa di luar. Dalam konteks hak asasi manusia (ham) hanya hak kemerdekaannya saja yang dicabut dan mereka tetap layak mendapatkan hak atas pendidikan, layanan kesehatan, layanan social dan lain-lain. Kenyataannya, anak-anak ini di saat berada di penjara acapkali tidak terpenuhi hak-haknya. Negara seakan-akan berhenti melayani mereka. Dan perlu dicatat, pengabaian hak AKH ini terjadi sejak proses awal penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian hingga pada saat mereka keluar penjara.
Kalau melihat data terakhir dari pengadilan negeri Bandung, terdapat 87 orang anak konflik hukum (AKH) yang prosesnya sampai ke pengadilan. Dan 90% di antaranya dituntut penjara, padahal dalam UU pengadilan anak ada beberapa alternatif.
Minimnya layanan atau bahkan ketiaadaan layanan bagi AKH yang secara formal berada dalam tanggung jawab instansi vertikal ini, di samping karena minimnya anggaran yang dimiliki Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhumham), juga dikarenakan tak adanya sumbangsih dari pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kota/kabupaten. Hal ini terjadi disebabkan pasca keluarnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, ada larangan bagi pemerintah daerah untuk memberikan anggaran kepada instansi vertikal.
Buruknya layanan bagi AKH terjadi pula di Kota Bandung. Kondisi ini diperparah dengan ketiadaan Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus anak yang memiliki pola pembinaan tersendiri.  Anak-anak yang tengah menjalani proses peradilan ini terpaksa mendekam di penjara-penjara Rumah Tahanan (Rutan) yang sebenarnya adalah tempat sementara bagi para tahanan hingga turun inkrah dari Pengadilan. Sehingga anak-anak ini tak sekedar harus menerima layanan yang tak semestinya, mereka pun tidak mendapatkan pembinaan yang dibutuhkan.
Minimnya layanan bagi AKH yang terdapat di Rutan Kebonwaru dan beberapa LP di sekitar Bandung juga diakibatkan tak adanya akses layanan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Bandung. Ketiadaan akses ini seringkali didasarkan pada larangan tentang pemberian dana/anggaran dari pemerintah daerah kepada instansi-instansi vertikal. Selain itu, pemerintah kota pun sering berdalih bahwa layanan-layanan yang ada lebih difokuskan kepada warga Kota Bandung. Padahal, banyak anak-anak yang harus mendekam di Rutan atau LP itu merupakan warga Kota Bandung.
Focus Group Discussion (FGD) ini diharapkan menemukan peluang atau celah anggaran yang bisa diberikan pemerintah kota dalam penanganan AKH. Sebenarnya pasca larangan penganggaran pemerintah daerah terhadap instansi-instansi vertikal, ada sebuah kelonggaran berdasar surat edaran Menteri Keuangan dengan memperbolehkan pemerintah daerah memberikan anggarannya kepada instansi-instansi vertikal tetapi hanya dalam bentuk block grant (hibah) yang bisa diberikan satu kali saja.
Ada beberapa solusi yang disampaikan oleh para peserta FGD terkait penganggaran pemerintah kota bagi AKH ini, yaitu:
Pertama, dengan membuka seluruh sekat formal yang ada di antara pemerintah kota dan instansi-instansi yang terkait dengan permasalahan AKH ini seperti, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Rutan, LP dan Bapas. Usulan ini didasarkan pada 2 Surat Kesepakatan Bersama (SKB) para pejabat setingkat menteri yang telah ditanda tangani secara berturut-turut pada tanggal 15 dan 22 Desember 2009 tentang Penangangan AKH dan Reorientasi-Reintegrasi AKH Pasca Proses Hukum.
Kedua, dengan melibatkan pihak ketiga sebagai pelaksana layanan di Rutan atau LP yang didanai oleh pemerintah kota.
Namun, dua solusi di atas sangat tergantung kepada political will pemerintah kota dan instansi-instansi yang terkait permasalahan AKH ini.







Rabu, 30 Juni 2010

Belajar Dalam Penjara (Bagian 2)

Pendampingan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) di Rumah Tahanan Kelas 1 Kebon Waru Bandung yang dilakukan oleh Yayasan Kalyanamandira diarahkan pada pemenuhan hak anak, khususnya hak untuk belajar, hak untuk bermain serta mememuhi hak tumbuh-kembang mereka. Hal ini dilakukan karena seringkali anak-anak yang berada dalam penjara ini tidak mendapatkan hak-hak yang semestinya terpenuhi, terlebih ketika anak-anak ini harus terpisah dari keluarga, teman-teman dan lingkungannya.
Semula antara tahun 2006 – 2007, Yayasan Kalyanamandira melakukan pendampingan anak berkonflik hokum (AKH) ini bersama dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) lain, yaitu Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) dan Solidaritas Masyarakat Anak (Semak). Namun, sejak akhir 2007 hingga sekarang hanya Yayasan Kalyanamandira yang melakukan pendampingan anak di Rutan Kebon Waru.
Secara umum, pendampingan anak di Rutan Kebon Waru ini mengalami beberapa perubahan pola pendekatannya. Tahap Pertama pada sekira tahun 2006 – 2007, pola pendekatan yang dipakai adalah pelatihan dan pengembangan hard skill dengan tujuan untuk memberikan suatu pengalihan ketegangan dan tekanan yang anak-anak rasakan selama berada dalam tahanan. Pada tahap ini, tingkat kekerasan di dalam rutan baik antar tahanan dewasa terhadap tahanan anak, tahanan anak yang satu terhadap tahanan anak yang lain, ataupun kekerasan yang dilakukan sipir terhadap para tahanan masih sangat tinggi. Sehingga pendampingan diarahkan pada kondisi relaksasi dan memberi kenyamanan bagi anak.
Tahap Kedua pada sekira tahun 2007 – 2009, pola pendampingan diarahkan pada penanaman dan pengembangan nilai-nilai positif pada diri anak yang dihantarkan melalui pembelajaran hard skill (keterampilan). Pada tahap ini, anak-anak diberi ruang seluas-luasnya dengan media yang ada untuk berekspresi dan berkomunikasi melalui karya mereka. Namun perlu diketahui, pembelajaran keterampilan pada tahap ini hanya dijadikan wahana ekspresi anak semata tidak sampai melatih untuk menjadi ahli.
Tahap Ketiga dari tahun 2009 hingga sekarang, mencoba memandu anak-anak untuk bisa memaksimalkan potensi dan bakat mereka. Pada tahap ini, kami sangat berkendala dengan minimnya waktu pendampingan dan sarana prasarana. Setidaknya, pada tahap ini kami terus melatihkan beberapa jenis keterampilan seperti seni rupa, seni musik dan sastra. Dan jangan dilupakan, kami tetap menyisipkan nilai-nilai positif dalam setiap pendampingan.
Dalam pelaksanaannya, keseluruhan pendampingan diawali dengan suatu perencanaan. Perencanaan pendampingan dilakukan untuk merumuskan tujuan-tujuan apa saja yang akan dicapai dalam pelaksanaan pendampingan. Perencanaan yang dimaksud adalah perencanaan dalam format rencana-rencana kegiatan yang disusun dalam format kurikulum. Kurikulum yang disusun oleh tim pendamping sifatnya tidak berstruktur. Karena sifatnya yang spontan dan menyesuaikan dengan kebutuhan lapangan. Tetapi, rambu-rambu dalam penyusunan arahan kegiatan menjadi sebuah perhatian yang meliputi tujuan, materi, dan metode yang dilakukan setiap kali melakukan pendampingan. Perencanaan ini biasanya merumuskan rangkaian kurikulum, rencana program dan rancangan kegiatan untuk 3 - 4 bulan ke depan.
Dalam pendampingan anak konflik hokum yang dilakukan oleh Yayasan Kalyanamandira, partisipasi anak dalam penyusunan rencana kegiatan menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pendampingan. Tentu saja, partisipasi anak ini dengan tetap mendapat panduan dari para pendamping.
Sebelum anak-anak dilibatkan dalam penyusunan rangkaian kegiatan pendampingan, terlebih dahulu para pendamping merumuskan garis besar kurikulum untuk 3 – 4 bulan ke depan. Garis besar ini biasanya diwujudkan dalam bentuk tujuan besar pendampingan, target dan beberapa indicator besar yang akan dicapai. Setelah itu baru anak-anak dilibatkan dalam merumuskan detail kegiatan yang akan dilaksanakan.
Tidak ada tim khusus dalam penyusunan kurikulum pendampingan. Semua pendamping terlibat dalam perumusan kurikulum ini, termasuk para relawan baru yang langsung diminta kontribusinya.
Sebelum merumuskan kurikulum, terlebih dahulu para pendamping melakukan evaluasi proses pendampingan yang telah dilakukan, sekaligus melakukan pemetaan. Pemetaan yang dimaksud di sini adalah berupa perumusan tujuan, output yang diharapkan, indicator capaian dan turunan kegiatan pendampingan. Termasuk dalam pemetaan ini adalah memetakan kondisi anak sebelum masuk rutan, selama anak berada di rutan serta rencana yang akan dilakukan selepas anak bebas nanti.
Pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Kalyanamandira menggunakan penggunaan Appreciative Inquiry yang menekankan pada penghimpunan dan pemaknaan nilai-nilai positif. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan nilai-nilai positif pada diri anak yang berkonflik dengan hokum (AKH) yang seringkali mengalami deficit nilai positif, tertekan dan mentalnya jatuh (drop). Dalam pelaksanaannya, pendampingan dengan menggunakan pendekatan Appreciative Inquiry berupa eksplorasi nilai-nilai positif anak dan penggalian pengalaman terbaik anak. Hal-hal positif ini diproyeksikan dalam membangun mimpi dan merencanakan masa depan anak.
Kurikulum pendampingan disusun per-3 bulan. Alasannya, sebagian besar anak di Rutan Kebon Waru harus menjalani masa tahanannya di bawah 1 tahun, berkisar antara 3 – 6 bulan. Dalam rentang 3 bulan ini, anak-anak diharapkan dapat menghasilkan sebuah atau beberapa karya.
Sementara itu, analisis kebutuhan yang dilakukan oleh para pendamping disesuaikan dengan kodisi mental dan psikologis anak. Karena sifatnya yang fleksibel, maka analisis kebutuhan ini akan berbeda dalam setiap pendampingan perminggunya. Karena kondisi anak dari minggu ke minggu atau dari pertemuan ke pertemuan selalu mengalami perubahan, maka metode pendampingan yang dipergunakan pun akan senantiasa berbeda.
Proses pembelajaran dalam pendampingan yang dilakukan Yayasan Kalyanamandira sendiri lebih menumbuhkan dan mengembangkan soft skill (muatan nilai positif) pada diri anak melalui beberapa aktivitas keterampilan sebagai wahana ekspresi dan komunikasi serta dorongan motivasi melalui beberapa bimbingan psikologis.
Aktivitas keterampilan yang dikembangkan dalam pendampingan ini berupa Seni Musik, Seni Rupa (Kriya) dan Penulisan Sastra. Dalam pelaksanaannya, setiap anak dikelompokkan pada tiga jenis aktivitas tadi. Setiap kelompok melakukan pemetaan kebutuhan sendiri, merumuskan program pembelajaran dan menentukan hal apa saja yang akan dibuat atau dipelajari. Pada proses ini, anak-anak diberi kelapangan untuk menentukan kegiatan atau program apa saja yang mereka inginkan dipandu oleh para pendamping.
Soft skill yang dapat dikembangkan dalam proses pendampingan Yayasan Kalyanamandira dengan penerapan pendekatan Appreciative Inquiry meliputi beberapa hal sebagai berikut :
a) Pemaknaan positif
b) Pencarian Alternatif
c) Kesadaran diri
d) Kepercayaan diri
e) Refleksi
Dalam pembuatan karya, anak-anak biasanya ditantang dengan sebuah rencana proyek. Proyek ini diwujudkan dalam bentuk pameran dan pementasan. Pameran dan pementasan ini dilakukan dalam kurun 3 – 4 bulan sekali. Pada program pameran dan pentas ini, semua hasil karya anak dipertunjukkan kepada seluruh anak, pendamping dan para undangan yang sengaja diminta hadir dalam program ini di dalam rutan.
Adapun sumber atau media yang digunakan dalam pendampingan adalah dengan memanfaatkan barang-barang yang mudah ditemui di sekitar kita. Pemilihan sumber atau media belajar ini dirumuskan bersama antara anak-anak dan para pendamping.
Selanjutnya, proses pendampingan ini diakhiri dengan tahap evaluasi. Evaluasi dilakukan baik secara rutin perminggu maupun secara pertigabulan (triwulan). Evaluasi rutin mingguan dilakukan langsung setelah kegiatan pendampingan. Sedangkan, Evaluasi triwulan dilakukan untuk mengevaluasi keseluruhan proses selama 3 bulan yang telah dilewati. Evaluasi ini tidak hanya dilakukan antar pendamping, tetapi dilakukan juga bersama anak. Namun, evaluasi bersama anak ini bisa dianggap sebagai salah satu bentuk pembelajaran yang seringkali dihantarkan melalui beberapa metode tertentu.

Minggu, 20 Juni 2010

Belajar Dalam Penjara (Bagian 1)


Pembelajaran atau pendampingan dalam penjara bisa dikategorikan sebagai Diversity Learning (keragaman pembelajaran). Boleh jadi karena kondisi yang kita dapati dalam penjara sangat berbeda baik para subjek pembelajarnya, ruang belajarnya dan juga metode pembelajarannya.
Pendampingan seperti inilah yang selama ± 5 tahun terakhir ini dilakukan oleh penulis bersama beberapa relawan dari Yayasan Kalyanamandira terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) di salah satu penjara di Kota Bandung. Dikarenakan subjek pembelajar dan kondisi yang dihadapi sangat berbeda dengan di luar penjara, maka pola pendekatan, metode dan segala hal yang terkait dengan pendampingan disesuaikan dengan kondisi anak di dalam penjara.
Perlu diketahui, istilah Anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) atau anak yang berhadapan dengan hukum merupakan ’penyebutan halus’ dari istilah Anak Nakal seperti yang telah diatur dalam UU No.3 1997 Tentang Peradilan Anak, yang menyebutkan bahwa Anak Nakal adalah : a) Anak yang melakukan tindak pidana; atau   b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Akhirnya, nasib anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini harus merasakan gelap dan pengapnya penjara seperti apa pun kasusnya. Hal ini dikarenakan ketiadaan proses penanganan terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) selain hukum positif. Tak ada pranata sosial yang dapat melindungi anak-anak yang dianggap salah dalam pandangan hukum ini.
Bagaimanakah kondisi anak-anak ini bila masuk penjara?
Penjara dengan segala macam permasalahan dan kondisinya, ternyata telah menjadi entitas sosial tersendiri di masyarakat. Penjara sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang dinilai telah melakukan tindak kejahatan di tengah masyarakat, secara laten telah menerapkan beberapa nilai tersendiri. Layaknya hukum rimba, di penjara orang-orang yang mempunyai kekuatan akan menguasai orang-orang yang lemah. Dan biasanya, semakin berat tingkat kejahatan seseorang maka ia akan semakin dihargai.
Tahanan anak sebagai salah satu kelompok yang hidup dalam belenggu tembok-tembok tinggi penjara, tak luput dari kondisi seperti di atas. Tahanan anak pun seringkali diperlakukan sama dalam penjara layaknya tahanan dewasa. Terlebih lagi ketika tahanan anak ini bersatu dengan para tahanan dewasa.
Ketika mereka harus bersatu dan berinteraksi dengan para tahanan dewasa, tahanan anak seringkali menjadi korban eksploitasi para tahanan dewasa. Meski sel tahanan anak terpisah dari sel tahanan dewasa, tetapi hal itu tidak dapat mencegah beberapa bentuk eksploitasi terhadap tahanan anak. Dari eksplotasi yang bersipat ekonomi, eksploitasi bersipat fisik, hingga eksploitasi yang bersipat psikis. Kadangkala terjadi pula eksploitasi secara seksual. Namun, eksploitasi dalam kategori terakhir ini intensitasnya sangat kecil dan agak sulit untuk diungkap.
Meski demikian, mengungkapkan eksploitasi anak di dalam penjara bak mencari jarum dalam tumpukan jerami, kita akan mengalami banyak kesulitan. Di samping sangat sulit membuktikannya secara langsung, tahanan anak pun seringkali tutup mulut tentang hal ini.
Interaksi yang sangat terbuka antara tahanan anak dengan tahanan dewasa seringkali membawa efek negatif bagi tahanan anak. Salah satunya adalah berpotensi terjadinya “siklus residivis”. Siklus residivis adalah suatu perputaran dimana anak-anak berpotensi untuk keluar-masuk penjara. Kondisi ini sangat mungkin terjadi ketika tahanan anak banyak berinteraksi dan banyak belajar dari tahanan-tahanan dewasa, termasuk tentang belajar beberapa modus kejahatan. Beberapa efek lain pun terjadi di dalam tahanan. Misalnya, perkelahian antar tahanan anak atau pemalakan yang dilakukan oleh beberapa tahanan yang menjadi kaki tangan tahanan dewasa, terhadap tahanan-tahanan anak yang lain. Kondisi terburuk lain pun terjadi meski dengan intensitas yang sangat kecil dan sulit sekali dideteksi, yaitu, pasokan narkoba dari beberapa tahanan dewasa bagi beberapa tahanan anak.
Lalu bagaimana pendidikan bagi anak-anak dalam penjara ini dilakukan?
Tentang hal ini, penulis mempunyai suatu pengalaman tentang pendampingan anak dalam penjara. Suatu ketika, salah seorang teman sesama pendamping anak konflik hukum (AKH) menyampaikan selembar surat yang ditulis oleh salah seorang anak. Anak itu mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada kami yang telah mendampinginya dan kawan-kawan senasibnya di rutan. Ia merasa pendampingan kami telah dapat memberi motivasi kepada mereka. Ia mengaku selama ditahan, ia telah banyak kehilangan motivasi dan harapan dalam hidup. Ia merasa diasingkan dari kehidupannya sehari-hari.
Itulah pengakuan dari salah seorang anak di penjara yang selama ini kami dampingi. Ia dan teman-teman senasibnya seringkali kehilangan motivasi dan semangat hidup. Mereka pun merasa kehilangan harapan dan tak bisa lagi mengejar cita-cita mereka. Tak jarang mereka merasa dijauhkan atau diasingkan dari keluarga, teman-teman dan lingkungannya, karena sangat minimnya interaksi mereka dengan dunia luar.
Kenyataan ini berpengaruh pada kondisi mereka selama berada di tahanan, termasuk ketika anak-anak ini mengikuti kegiatan kami. Dalam setiap kegiatan kami, selalu saja ada anak-anak yang murung dan kurang antusias mengikuti kegiatan. Ada juga anak-anak yang nampak kehilangan orientasi.
Dari sisi psikologis, nampak gejala-gejala agresivitas yang sering meluap-meluap pada diri anak. Agresivitas pada diri anak ini diwujudkan dalam bentuk kata-kata kasar, menyindir atau mengejek. Ada juga yang berupa perilaku yang tidak pada tempatnya hingga tindakan kasar seperti mendorong, memukul atau menendang.
Anak-anak sering mengekspresikan perasaan-perasaan mereka dalam berbagai bentuk, ada lewat tulisan, gambar, dan lain-lain. Sebagian lainnya seringkali melekatkan identitas mereka dengan kehidupan jalanan, dunia hitam atau kejahatan. Pengidentikan seperti ini nampak dari simbol-simbol yang mereka tunjukkan pada gambar yang mereka buat di media-media yang kami sediakan atau pada kaos-kaos yang mereka pakai.
Sebagian besar anak memiliki tato di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian dari mereka ada yang telah memiliki tato sejak sebelum mereka ditahan, dan sebagian lain baru membuat tato selama berada di penjara. Sebagian anak membuat alat-alat pembuat tato sendiri selama berada di penjara dengan beberapa benda yang mereka temukan, misalnya, dengan batere bekas dan beberapa benda logam. Sebagai tintanya, mereka seringkali menggunakan tinta pulpen atau spidol.
Tak hanya itu, dalam beberapa kesempatan pendampingan, kami menemukan beberapa anak yang nampak mabuk. Ternyata, dari pengakuan dan kesaksian sebagian anak, beberapa orang dari mereka kadang-kadang bermabuk-mabukan baik dengan minuman, ganja atau obat-obatan. Karena beberapa keterbatasan, sebagian anak acapkali mabuk dengan mencampur beberapa obat yang menjadi ‘resep rutin’ Klinik Rutan. Disebut ‘resep rutin’ karena seringkali tahanan yang sakit dan diobati di klinik itu mendapatkan resep yang hampir sama untuk penyakit yang beragam.
Sebuah pertanyaan mencuat, pendidikan seperti apakah yang cocok bagi anak-anak dengan kondisi seperti yang penulis telah ungkapkan di atas?
Seperti yang penulis sedikit ceritakan di atas, pendidikan atau pembelajaran yang dilakukan terhadap anak-anak di penjara ini harus memberi wahana yang cukup luas bagi anak untuk berekspresi, dapat menyediakan ruang bagi anak-anak untuk mengungkapkan unek-unek mereka, dapat memberi terapi mental dan psikologis bagi mereka, serta pembelajaran yang dapat mengasah potensi dan bakat yang mereka miliki. (bersambung)