Sabtu, 05 September 2009

Alienasi



Seulas senyum tersungging dari wajah polos seorang anak di salah satu pojok ruangan berukuran 6x7 meter di kompleks Rumah Tahanan Kelas I Kebonwaru Bandung. Baru kali ini ia tampak tersenyum lepas dan mengajak saya mengobrol. Biasanya ia tampak murung dan seperti sekarang duduk diam di pojok ruangan. Sebut saja anak itu bernama Adi, usianya baru menginjak 14 tahun. Ia berasal dari Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat. Adi harus mendekam ditahanan dikarenakan ia tertangkap tangan mengambil dompet orang lain. Ia tampak bahagia karena setelah lebaran nanti ia akan kembali menghirup udara bebas. Menurut pengakuannya, ia berencana masuk sebuah pesantren di daerah Cigondewah, Bandung, setelah ia keluar nanti. Meski demikian, Adi masih tetap bersedih karena belum bisa bertemu dengan Ibunya yang telah 2 tahun menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Ia pun bersedih karena keluarganya, termasuk Bapaknya, tidak pernah menengoknya selama ia berada di tahanan.
Di sisi lain ruangan itu, tampak santai dan berseri-seri seorang anak lain seumuran Adi dengan senyumnya yang telah sangat akrab dalam ingatan saya. Edi, panggil saja demikian, dengan lepas ia berujar kepada saya bahwa ia dan beberapa temannya akan dibebaskan pada 2-3 hari sebelum lebaran. Menurut pengakuan Edi, ia dan teman-temannya itu dapat menghirup udara luar kembali karena mendapat remisi (pengurangan masa tahanan). Edi merasa senang dapat bebas dan berkumpul kembali dengan keluarganya, apalagi pada Hari Lebaran nanti.
Seperti tulisan saya sebelumnya, ternyata anak-anak yang berkonflik dengan hukum dan mesti meringkuk dalam tahanan ini senantiasa dapat berhubungan mereka dengan keluarga dan orang-orang yang mereka cintai. Terbukti dengan keinginan mereka untuk selalu ditengok dan berhubungan dengan orang-orang terdekat mereka. Hubungan seperti ini meski sangat minim frekuensinya menjadi obat mujarab perasaan teralienasi anak-anak ini dari dunia luar.
Agar anak-anak tidak merasa teralienasi dari dunia luar, pada beberapa kesempatan kami memberi kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan pesan kepada keluarga mereka, baik melalui surat ataupun sms. Di samping itu, kami sering mengadakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan atau mengundang orang-orang dari luar. Kegiatan-kegiatan itu berupa pameran dan pentas hasil karya anak-anak. Program ini secara berkala kami lakukan 4 bulan sekali, biasanya dalam peringatan hari-hari tertentu, seperti HUT RI, Hari Anak dan lain-lain. Selain itu, karya-karya anak-anak pun sering diikutsertakan dalam aktivitas-aktivitas di luar Rutan.
Meski demikian, karena ruang gerak anak-anak yang berada dalam tahanan ini sangat terbatas, tetap saja anak-anak merasa terasing dan dikucilkan dari kehidupan kebanyakan orang. Memang mereka telah melakukan kesalahan, tapi haruskah mereka dijauhkan dari masa kanak-kanaknya dan orang-orang terdekat mereka. Haruskah mereka mendapat perlakuan yang sama dengan para penjahat dewasa?
Padahal di usia antara 13-18 tahun ini, kondisi mental dan psikologis anak sangat labil dan rentan. Dalam kondisi seperti ini anak-anak akan sangat mungkin mendapat pengaruh buruk dari lingkungan sekitarnya. Dari beberapa anak yang saya temui, rata-rata mereka melakukan tindak kriminal karena terpengaruh oleh teman-temannya dan kurang mendapat perhatian dari orang tua mereka. Selain itu, beberapa di antara anak-anak itu seakan-akan sudah memutuskan hidup di luar rumah (keluarganya). Hal ini di antaranya dikarenakan kondisi ekonomi mereka yang miskin sehingga memaksa mereka untuk menghidupi diri mereka sendiri, atau memang sudah tidak mempunyai orang tua.
Melihat kondisi seperti ini, masihkah kita mau berpangku tangan dan saling tunjuk siapa yang harus bertanggung jawab? Mungkin anak-anak di Kebonwaru itu bukan anak-anak kita atau saudara kita, tapi mereka tetap bagian dari anak bangsa yang harus kita perhatikan. Anak-anak itu pun masih tetap menjadi bagian dari warga dunia yang harus kita lindungi hak-haknya. Dan ini menjadi kewajiban dan tanggung jawab semua orang kapanpun dan di manapun.

Izoel.030909

Jumat, 28 Agustus 2009

HARI-HARI PENANTIAN



(Catatan Pendampingan Anak di Rutan Kebonwaru pada 27 Agustus 2009)

Saat anak-anak mulai memasuki ruang pendidikan yang berada di sisi barat kawasan Rumah Tahanan Kelas 1 Kebonwaru Bandung, sekonyong-konyong kami dikejutkan dengan sebuah teriakan seorang anak mengekspresikan perasaannya dengan spontan. Cau panggilan anak itu, meneriakkan kegembiraannya karena ia akan bebas selepas Lebaran nanti, dan ia segera akan menikahi gadis pujaan hatinya. Memang dalam beberapa pertemuan terakhir, Cau acapkali mengekspresikan perasaannya ini kepada kami.
Rona bahagia pun tampak pada raut wajah E (15 tahun). E yang terlibat kasus cukup serius ini, hari ini akan dibebaskan. Hari ini, E tampak sangat rapi dan berseri-seri. Ia tidak bisa mengikuti kegiatan kami secara penuh karena harus bolak-balik mengurusi administrasi pembebasannya.
Beberapa anak lain pun mengekpresikan hal yang sama. M (16 tahun) yang punya pengalaman membuat sandal di Bali menunjukkan ekspresi yang sama. Meski ia baru bisa bebas beberapa hari setelah Lebaran, tetapi sudah sangat lega dapat segera mengakhiri masa tahanannya. Ketika saya tanya apa rencananya setelah bebas nanti. Ia menjawab masih bingung. Namun, tampaknya ia akan kembali menekuni pekerjaannya, membuat sandal di Bali sambil menemani Ibunya.
Dari pengamatan saya, anak-anak yang akan segera bebas dari masa hukuman acapkali menunjukkan ekspresi kebahagiaan yang hampir sama. Namun, banyak anak yang saya ajak bicara tentang rencana mereka selepas keluar nanti, menampakkan kebingungannya. Terlebih bagi anak-anak yang telah cukup lama hidup di jalan dan jauh dari keluarganya, mereka hampir tidak punya rencana yang jelas.
Beberapa anak yang sebelum masuk rutan masih duduk di bangku sekolah, seringkali tidak bisa meneruskan pendidikannya di sekolah yang sama. Biasanya pihak sekolah yang bersangkutan berkeberatan untuk menerima kembali salah seorang siswanya yang sempat mendekam di penjara. Anak-anak dengan kondisi seperti ini biasanya akan memutuskan untuk pindah sekolah atau mengikuti ujian persamaan. Namun, tidak banyak anak yang bisa melakukan langkah-langkah tadi. Ada juga anak-anak yang tidak meneruskan pendidikannya. Hal ini biasanya diakibatkan karena kendala biaya.
Kondisi di atas inilah yang dialami oleh D (17 tahun). Sebelum masuk tahanan, D masih duduk di kelas XI di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Elektronika. Ketika D ditahan, ia baru saja menyelesaikan Praktek Kerja Lapangan (PKL), sebuah proses yang biasa dilakukan siswa-siswi SMK sebelum mereka naik ke kelas XII. Tampaknya D tidak hanya harus mengulang PKLnya, ia pun tidak diperkenankan untuk kembali belajar di sekolahnya tersebut. D merasa sangat bingung dan keberatan jika ia harus pindah sekolah dan mengulang pendidikannya dari awal.
Kehidupan di balik terali besi bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini merupakan masa-masa penantian yang teramat berat. Seringkali mereka menghitung hari ke hari dari awal penahanannya sampai hari pembebasanya nanti. Ekspresi penantian ini pun seringkali ditunjukkan dengan tatapan yang kosong, murung dan kebingungan. Kebingungan ini berimbas pada ketidakjelasan dalam penentuan langkah yang akan anak-anak ambil setelah mereka bebas nanti.
Hal inilah yang kami berusaha mengantisipasinya. Dalam setiap pendampingan kami berupaya agar anak tetap dapat merasakan sedikit kebahagiaan, masih dapat bermain, masih mempunyai ruang ekspresi dan yang utama mereka dapat menentukan langkah-langkah positif yang akan anak-anak ambil setelah mereka keluar nanti. Tentu saja masih banyak kekurangan yang kami rasakan dalam proses pendampingan ini. Jujur, kami tidak bisa melakukan proses pemenuhan hak-hak bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini sendirian. Sehingga, kami mengajak semua pihak yang mempunyai kepedulian terhadap kondisi anak-anak ini untuk senantiasa bahu-membahu mewujudkan kondisi yang lebih baik bagi mereka. Wallahu a’lam… (izoel)

Senin, 24 Agustus 2009

AGUSTUSAN DI RUTAN


(Catatan Pendampingan Anak-anak di Rutan Kebonwaru pada 20 Agustus 2009)

Sebenarnya pagi ini kami mesti bergegas masuk lebih pagi mendampingi anak-anak di Rumah Tahanan Kelas 1 Kebonwaru Bandung, karena diperkirakan kegiatan-kegiatan yang akan kami laksanakan di Rutan akan menyita banyak waktu, padahal pihak Rutan hanya memberi kami waktu maksimal sampai 12.30 WIB. Namun, kami baru dapat memasuki gerbang Rutan sekira pukul 09.30 WIB, setelah kami harus mempersiapkan beberapa perlengkapan dan menunggu kehadiran beberapa relawan.
Seperti yang telah kami janjikan kepada anak-anak seminggu yang lalu, hari ini kami akan kembali menggelar beberapa perlombaan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-64. Saya mulai membuka kegiatan dan menjelaskan proses acara yang akan dilaksanakan. Karena seluruh lomba dimainkan secara berkelompok, maka saya meminta anak-anak untuk membentuk kelompok-kelompok.
Adapun perlombaan yang akan digelar hari ini adalah Triathon 1, Triathon 2 dan Lomba Melukis. Triathon adalah gabungan 3 jenis perlombaan yang dilakukan secara estafet oleh 3 orang dalam satu kelompok. Triathlon 1 terdiri dari Balap Karung, Sendok Kelereng dan Makan Kerupuk. Sedangkan Triathon 2 terdiri dari Pensil Botol, Makan Ubi dan Uang Tepung. Adapun Lomba Melukis dilakukan pada media kaos dan tas karung terigu dengan menggunakan kuas kecil dan cat sablon.
Lomba Triathon 1 diikuti oleh 12 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 3 orang anak. Setiap anggota kelompok mengikuti 1 jenis lomba yang secara estafet akan diteruskan dari orang pertama ke orang kedua dan seterusnya. Urutan permainannya sendiri dimulai dengan salah seorang anggota kelompok bermain balap karung. Setelah ia mencapai garis finish, seorang temannya menyambung dengan permainan Sendok Kelereng, dimana ia harus berjalan membawa kelereng di sendok yang digigit mulutnya sampai garis finish. Setelah itu baru seorang anggota kelompok lainnya memainkan lomba Makan Kerupuk.
Setelah Lomba Triathon 1 selesai dan menentukan 1 kelompok sebagai juaranya, kegiatan dilanjutkan dengan Lomba Triathon 2. Lomba Triathon 2 diikuti oleh 13 kelompok yang terdiri dari 3 orang anak. Seperti Lomba Triathon 1, setiap anak memainkan 1 jenis lomba dilanjutkan anak yang lain dengan jenis lomba yang lain. Anak ke-1 memainkan Pensil Botol, dimana ia harus beradu cepat untuk memasukkan pensil yang diikat di bagian belakang tubuhnya ke dalam botol, kemudian ia lari membawa pensil dan botol tersebut ke arah anak ke-2. Anak ke-2 melanjutkan dengan lomba Makan Ubi. Dan terakhir anak ke-3 memainkan lomba Uang Tepung, yaitu mengambil uang yang telah berbaur dalam tepung terigu.
Setelah 2 lomba Triathon selesai dimainkan, kami menggelar lomba melukis. Kali ini anak-anak secara berkelompok yang terdiri dari empat orang, melukis pada media kaos dan kantung terigu dengan menggunakan cat sablon. Tema lukisan yang diambil sangat beragam, ada yang mengambil tema HUT RI, pemandangan dan tema-tema lainnya.
Atmosphere ruang pendidikan menjadi riuh dengan suara tawa, sorak-sorai, teriakan, kekecewaan dan lain-lain. Tentu saja sorak kemenangan disuarakan oleh kelompok-kelompok yang memenangi lomba. Adapun kelompok-kelompok yang kalah menyikapinya dengan beragam, ada yang menimpali sorak kelompok yang menang dengan teriakan ‘huh’, ada yang menggerutu, ada juga yang mengajukan protes kepada para pendamping sebagai panitia kegiatan ini. Namun, kami tetap berusaha bersikap fair dan tegas. Ungkapan kekecewaan dan protes adalah hal yang wajar dalam sebuah kompetisi atau perlombaan.
Namun, selalu saja ada hal yang bertolak belakang dengan kelaziman yang sedang terjadi. Ternyata, di tengah keramaian itu, ada saja anak-anak yang tampak lesu dan kurang antusias dengan kegiatan yang tengah kami laksanakan. Ada juga anak yang ‘mojok’ dan asyik dengan kegiatannya sendiri. Sayang dengan keterbatasan relawan, kami tidak bisa mendampingi anak-anak dengan kondisi tadi.
Akhirnya, kegiatan pun berakhir dengan menghasilkan beberapa kelompok pemenang. Ada ungkapan-ungkapan bahagia dari anak-anak yang kelompoknya memenangi perlombaan. Ada juga ungkapan kesenangan dan terima kasih karena mereka masih tetap dapat mengikuti perlombaan ‘Agustusan’ meski mereka berada di tahanan. Tak ayal kami pun menerima kritikan dari beberapa orang anak, khususnya anak-anak yang telah lama mendekam di rutan. Menurut mereka, kegiatan sekarang ini agak menurun kualitasnya dan tidak lebih ramai dari kegiatan serupa di tahun kemarin. Dengan lapang dada kami menerima kritikan dan masukan dari anak-anak. Kami menyadari bahwa kegiatan ‘Agustusan’ sekarang ini agak kurang persiapan dan ‘asal-asalan’. Semoga kami bisa lebih baik dalam mempersiapkan kegiatan serupa dan kegiatan-kegiatan yang lainnya di masa-masa yang akan datang.(izoel)

Sabtu, 15 Agustus 2009

Membuat ‘Poster’


(Catatan Pendampingan Anak Rutan Kebonwaru pada 13 Agustus 2009)

Sebuah karya boleh jadi kurang mempunyai nilai dan mendapat apresiasi bila suatu karya itu tidak dipahami khalayak. Namun, acapkali sebuah karya tidak dimaksudkan si penciptanya untuk mendapat apresiasi atau nilai. Suatu karya itu semata-mata hanya menjadi sarana dan ruang ekspresi si penciptanya, terlepas khalayak akan menilainya seperti apapun. Hal inilah yang kami terapkan dalam pendampingan anak di Rutan Kebonwaru Bandung. Menilik karya-karya yang dihasilkan anak-anak selama ini masih jauh dari sempurna. Mungkin karena di antara kami sebagai pendamping kurang mempunyai kapasitas yang dapat mengarahkan anak-anak menjadi expert. Di samping itu, beberapa keterampilan yang kami hantarkan kepada anak dimaksudkan untuk menstimulasi dan memberi ruang ekspresi bagi anak.
Kenyataan seperti di atas tadi terjadi pada pendampingan hari ini. Rencananya kami dan anak-anak akan menggelar beberapa perlombaan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-64. Hari ini kami akan menggelar lomba pembuatan Komik dan Poster. Kami membuka acara dan membagi anak-anak ke dalam beberapa kelompok yang akan mengikuti Lomba Komik atau Lomba Poster. Setelah anak-anak bergabung dalam kelompoknya masing-masing, ternyata hampir semua kelompok tertarik untuk mengikuti Lomba Poster. Sedangkan untuk Lomba Komik hanya ada satu kelompok yang mendaftar. Akhirnya, kami memutuskan Lomba Komik ditiadakan dan semua kelompok mengikuti Lomba Poster.
Lomba Poster ini diikuti oleh 10 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari empat orang anak. Lomba Poster ini sendiri mengambil tema-tema yang berkaitan dengan kemerdekaan. Dengan media karton dan pensil warna, setiap kelompok mulai bekerja. Ada yang mulai membuat sketsa gambar di kertas-kertas kecil. Ada juga yang menggambar sketsa langsung pada karton yang telah disediakan. Di beberapa kelompok ada anak-anak yang secara bersamaan menggambar sketsa. Dan di beberapa kelompok lain anggota-anggota kelompok menunjuk seorang anak yang dianggap bisa menggambar untuk membuat sketsa.
Sebenarnya, di ruang pendidikan itu bukan hanya ada kegiatan kelompok-kelompok yang membuat poster. Ada proses ‘inisiasi’ bagi anak-anak yang baru bergabung dalam kegiatan kami. Anak-anak baru ini dipandu oleh Anita dan Yulia. Di samping itu, ada segerombolan anak lain yang tidak bergabung dalam kelompok.
Dari kesepuluh kelompok yang mengerjakan pembuatan poster, hampir semua karya mereka boleh dibilang tidak mirip poster. Sekali lagi kami mesti menyatakan maaf karena mungkin penjelasan kami tentang apa itu poster kurang dipahami anak-anak. Namun, sekali lagi juga kami mesti katakan bahwa karya anak-anak ini tidak dimaksudkan untuk menjadikan mereka expert melainkan menjadi stimulus dan wahana berekspresi anak.
Idealnya sebuah poster itu menyampaikan pesan yang jelas dan tegas. Pesan ini dapat disampaikan dengan kata-kata dan ilustrasi gambar yang elok, bukan tumpukan gambar dan tulisan semrawut dan samar. Itulah yang dibuat anak-anak, tumpukan gambar dan tulisan yang semrawut sehingga pesan-pesan yang disampaikannya pun menjadi kabur. Namun, harus kita pahami bahwa mereka tidak sedang mengikuti sebuah kontes grafis. Anak-anak itu bukanlah perusahaan advertising yang tengah mengerjakan pesan kliennya. Mereka adalah anak-anak yang memiliki kebebasan untuk berekspresi meski dalam keterkungkungan. Mereka pun sedang menyampaikan pesan yang ingin dipahami semua orang. Sayang tak banyak orang yang sudi mendengarkan dan memahami penuturan anak-anak yang sering dianggap nakal ini. Tentu saja pesan mereka lebih jelas dan lebih bermakna dari sekedar poster atau media-media iklan lainnya. Tinggal kita mau atau tidak mendengarkan mereka.
Bagian yang sangat dilindungi dan diakui dalam Konvensi Hak Anak adalah aspek tumbuh dan kembang anak. Kedua aspek ini akan berjalan optimal dalam ranah yang sangat terbuka bagi eksplorasi potensi dan ekspresi anak. Dan segalanya ini merupakan hak yang harus didapatkan oleh setiap anak kapanpun, di manapun dan dalam kondisi apapun. Apakah penjara dapat memberi ruang yang sangat terbuka bagi proses tumbuh-kembang anak? (izoel)

Sabtu, 11 Juli 2009

Membangun Sinergi Dalam Menangani Perempuan dan Anak Korban Kekerasan



(Catatan Rapat Koordinasi Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung)

Pada hari Senin, 6 Juli 2009, saya mewakili Kalyanamandira mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung, yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Bandung. Kegiatan ini sendiri dilaksanakan di UPT P2TP2A, yang merupakan pusat layanan bagi perempuan atau anak korban kekerasan di Kota Bandung. UPT P2TP2A didirikan pada tahun 2002 berdasar kajian dari perguruan-perguruan tinggi dan rekomendasi dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
Semula lembaga ini berbentuk lembaga swadaya masyarakat, kemudian berubah menjadi unit pelayanan terpadu daerah (UPTD) di bawah Pemerintah Kota Bandung. UPT P2TP2A melayani perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentuk konseling, mediasi, pendampingan di pengadilan, pemberdayaan ekonomi keluarga dan trauma healing.
Kegiatan ini bertujuan untuk membangun sinergi dan kemitraan antara UPT P2TP2A dengan instansi dan institusi lain yang terkait, seperti, Kepolisian, Dinas Kesehatan, Departemen Agama, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lain-lain. Sebagai instansi baru di Pemerintahan Kota Bandung, UPT P2TP2A perlu membangun kemitraan dengan instansi dan institusi lain, terlebih lagi UPT P2TP2A terus-menerus malakukan pembenahan. Salah satu yang harus dibenahi adalah keberadaan Rumah Aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Sejauh ini UPT P2TP2A belum memiliki Rumah Aman. padahal sebagai salah satu unit layanan pemerintah yang berada di kota besar dengan segala permasalahannya yang kompleks, seyogyanya UPT P2TP2A memiliki sebuah Rumah Aman.
Di samping melakukan perkenalan UPT P2TP2A, kegiatan ini pun memberi kesempatan kepada setiap elemen yang hadir untuk memaparkan hal-hal yang telah mereka lakukan terkait dengan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tentu saja sesuai dengan bidangnya. Dari pihak kepolisian yang pada pertemuan ini diwakili oleh seorang polisi wanita yang bekerja di RS Sartika Asih, menjelaskan tentang proses visum yang dilakukan pada korban-korban kekerasan, baik bagi korban kekerasan biasa maupun korban kekerasan seksual. Seringkali dikeluhkan proses visum ini yang sangat ngejelimet. Penjelasan soal ini ditambahkan oleh seorang bapak perwakilan dari RS Hasan Sadikin Bandung. Menurutnya, proses visum ini sangat mudah dilakukan dan gratis. Tentu saja penjelasan ini penting karena seringkali korban kekerasan enggan untuk melapor dan membuktikan karena sangat mahal biayanya, khususnya dalam proses visum ini.
Tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung perceraian, seorang perwakilan Departemen Agama Kota Bandung turut berbagi cerita. Menurutnya, sejauh ini pada proses perceraian di pengadilan agama, Departemen Agama dalam kaitan ini Pengadilan Agama selalu menjadi mediator bagi pasangan suami-isteri dan seringkali menganjurkan kepada setiap pasangan untuk berdamai.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat turut hadir dan berbagi cerita. Salah satunya adalah Jaringan Relawan Independen (JARI). JARI yang memiliki beberapa orang staf ahli dalam bidang hokum, kesehatan dan psikologi, seringkali menerima klien yang menjadi korban kekerasan. Para klien ini diwawancara dan didampingi dalam menghadapi permasalahannya. JARI pun menyiapkan beberapa data melalui pemeriksaan kesehatan dan tes psikologi. Para klien pun didampingi dalam proses hukumnya.
Salah seorang kawan dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) pun berbagi cerita soal penanganan korban-korban perdagangan perempuan (women trafficking). Dalam penanganan women trafficking ini ada dua hal yang mesti dilakukan, yaitu, pencegahan penyaluran para pekerja perempuan dari daerah-daerah tertentu, dan pemulangan para korban trafficking. Dari pengalamannya mendampingi para korban trafficking di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, katanya, seringkali para TKW illegal ini tidak langsung pulang ke kampungnya. Biasanya mereka mencoba masuk kembali ke Malaysia melalui beberapa ‘jalan tikus’. Hal ini terjadi bukan hanya karena banyak jalan dan cara yang dapat mereka lalui saja, melainkan karena proses keimigrasian kita yang kurang optimal. Karena para pekerja perempuan ini seringkali tidak langsung pulang ke daerahnya masing-masing bahkan acapkali mereka mengadu nasib di kota-kota besar, ia menilai kota-kota besar seperti Bandung akan banyak mendapat imbas dari keberadaan para pekerja perempuan ini. Secara langsung dan tidak langsung perempuan korban trafficking ini akan berkumpul dan menambah permasalahan yang ada di kota-kota besar. Maka, seyogyanya di kota-kota besar itu disiapkan shelter atau ‘Rumah Aman’ bagi para korban kekerasan perempuan, khususnya bagi korban trafficking.
Karena UPT P2TP2A ini masih memiliki beberapa kekurangan, sehingga layak didukung oleh semua elemen yang terkait. Hal ini diamini oleh beberapa orang perwakilan dari perguruan tinggi yang hadir, seperti, dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati. Mereka dapat memfasilitasi beberapa hal seperti kajian, penelitian dan hal-hal lain sesuai kapasitas mereka.
Sampailah di penghujung acara, tetapi saya merasa belum terumuskan mekanisme atau teknis sinergitas yang diharapkan antar instansi dan institusi terkait. Para peserta Rakor ini tampak asyik menceritakan hal-hal yang telah mereka lakukan. Namun bagaimana kapasitas masing-masing isntitusi ini dapat bersinergi belum terumuskan. Bukan hanya itu, seringkali kita lupa untuk mendefinisikan permasalahan apa yang akan dihadapi bersama. Semua paham tentang permasalahan kekerasan perempuan, tetapi apakah semu pihal memiliki cara pandang yang sama terhadap permasalahan tersebut? Sinergi tidak mungkin terwujud bila perspektif tentang permasalahannya saja belum seragam. Walla a’lam.. (izoel)