Senin, 24 Agustus 2009

AGUSTUSAN DI RUTAN


(Catatan Pendampingan Anak-anak di Rutan Kebonwaru pada 20 Agustus 2009)

Sebenarnya pagi ini kami mesti bergegas masuk lebih pagi mendampingi anak-anak di Rumah Tahanan Kelas 1 Kebonwaru Bandung, karena diperkirakan kegiatan-kegiatan yang akan kami laksanakan di Rutan akan menyita banyak waktu, padahal pihak Rutan hanya memberi kami waktu maksimal sampai 12.30 WIB. Namun, kami baru dapat memasuki gerbang Rutan sekira pukul 09.30 WIB, setelah kami harus mempersiapkan beberapa perlengkapan dan menunggu kehadiran beberapa relawan.
Seperti yang telah kami janjikan kepada anak-anak seminggu yang lalu, hari ini kami akan kembali menggelar beberapa perlombaan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-64. Saya mulai membuka kegiatan dan menjelaskan proses acara yang akan dilaksanakan. Karena seluruh lomba dimainkan secara berkelompok, maka saya meminta anak-anak untuk membentuk kelompok-kelompok.
Adapun perlombaan yang akan digelar hari ini adalah Triathon 1, Triathon 2 dan Lomba Melukis. Triathon adalah gabungan 3 jenis perlombaan yang dilakukan secara estafet oleh 3 orang dalam satu kelompok. Triathlon 1 terdiri dari Balap Karung, Sendok Kelereng dan Makan Kerupuk. Sedangkan Triathon 2 terdiri dari Pensil Botol, Makan Ubi dan Uang Tepung. Adapun Lomba Melukis dilakukan pada media kaos dan tas karung terigu dengan menggunakan kuas kecil dan cat sablon.
Lomba Triathon 1 diikuti oleh 12 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 3 orang anak. Setiap anggota kelompok mengikuti 1 jenis lomba yang secara estafet akan diteruskan dari orang pertama ke orang kedua dan seterusnya. Urutan permainannya sendiri dimulai dengan salah seorang anggota kelompok bermain balap karung. Setelah ia mencapai garis finish, seorang temannya menyambung dengan permainan Sendok Kelereng, dimana ia harus berjalan membawa kelereng di sendok yang digigit mulutnya sampai garis finish. Setelah itu baru seorang anggota kelompok lainnya memainkan lomba Makan Kerupuk.
Setelah Lomba Triathon 1 selesai dan menentukan 1 kelompok sebagai juaranya, kegiatan dilanjutkan dengan Lomba Triathon 2. Lomba Triathon 2 diikuti oleh 13 kelompok yang terdiri dari 3 orang anak. Seperti Lomba Triathon 1, setiap anak memainkan 1 jenis lomba dilanjutkan anak yang lain dengan jenis lomba yang lain. Anak ke-1 memainkan Pensil Botol, dimana ia harus beradu cepat untuk memasukkan pensil yang diikat di bagian belakang tubuhnya ke dalam botol, kemudian ia lari membawa pensil dan botol tersebut ke arah anak ke-2. Anak ke-2 melanjutkan dengan lomba Makan Ubi. Dan terakhir anak ke-3 memainkan lomba Uang Tepung, yaitu mengambil uang yang telah berbaur dalam tepung terigu.
Setelah 2 lomba Triathon selesai dimainkan, kami menggelar lomba melukis. Kali ini anak-anak secara berkelompok yang terdiri dari empat orang, melukis pada media kaos dan kantung terigu dengan menggunakan cat sablon. Tema lukisan yang diambil sangat beragam, ada yang mengambil tema HUT RI, pemandangan dan tema-tema lainnya.
Atmosphere ruang pendidikan menjadi riuh dengan suara tawa, sorak-sorai, teriakan, kekecewaan dan lain-lain. Tentu saja sorak kemenangan disuarakan oleh kelompok-kelompok yang memenangi lomba. Adapun kelompok-kelompok yang kalah menyikapinya dengan beragam, ada yang menimpali sorak kelompok yang menang dengan teriakan ‘huh’, ada yang menggerutu, ada juga yang mengajukan protes kepada para pendamping sebagai panitia kegiatan ini. Namun, kami tetap berusaha bersikap fair dan tegas. Ungkapan kekecewaan dan protes adalah hal yang wajar dalam sebuah kompetisi atau perlombaan.
Namun, selalu saja ada hal yang bertolak belakang dengan kelaziman yang sedang terjadi. Ternyata, di tengah keramaian itu, ada saja anak-anak yang tampak lesu dan kurang antusias dengan kegiatan yang tengah kami laksanakan. Ada juga anak yang ‘mojok’ dan asyik dengan kegiatannya sendiri. Sayang dengan keterbatasan relawan, kami tidak bisa mendampingi anak-anak dengan kondisi tadi.
Akhirnya, kegiatan pun berakhir dengan menghasilkan beberapa kelompok pemenang. Ada ungkapan-ungkapan bahagia dari anak-anak yang kelompoknya memenangi perlombaan. Ada juga ungkapan kesenangan dan terima kasih karena mereka masih tetap dapat mengikuti perlombaan ‘Agustusan’ meski mereka berada di tahanan. Tak ayal kami pun menerima kritikan dari beberapa orang anak, khususnya anak-anak yang telah lama mendekam di rutan. Menurut mereka, kegiatan sekarang ini agak menurun kualitasnya dan tidak lebih ramai dari kegiatan serupa di tahun kemarin. Dengan lapang dada kami menerima kritikan dan masukan dari anak-anak. Kami menyadari bahwa kegiatan ‘Agustusan’ sekarang ini agak kurang persiapan dan ‘asal-asalan’. Semoga kami bisa lebih baik dalam mempersiapkan kegiatan serupa dan kegiatan-kegiatan yang lainnya di masa-masa yang akan datang.(izoel)

Sabtu, 15 Agustus 2009

Membuat ‘Poster’


(Catatan Pendampingan Anak Rutan Kebonwaru pada 13 Agustus 2009)

Sebuah karya boleh jadi kurang mempunyai nilai dan mendapat apresiasi bila suatu karya itu tidak dipahami khalayak. Namun, acapkali sebuah karya tidak dimaksudkan si penciptanya untuk mendapat apresiasi atau nilai. Suatu karya itu semata-mata hanya menjadi sarana dan ruang ekspresi si penciptanya, terlepas khalayak akan menilainya seperti apapun. Hal inilah yang kami terapkan dalam pendampingan anak di Rutan Kebonwaru Bandung. Menilik karya-karya yang dihasilkan anak-anak selama ini masih jauh dari sempurna. Mungkin karena di antara kami sebagai pendamping kurang mempunyai kapasitas yang dapat mengarahkan anak-anak menjadi expert. Di samping itu, beberapa keterampilan yang kami hantarkan kepada anak dimaksudkan untuk menstimulasi dan memberi ruang ekspresi bagi anak.
Kenyataan seperti di atas tadi terjadi pada pendampingan hari ini. Rencananya kami dan anak-anak akan menggelar beberapa perlombaan dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-64. Hari ini kami akan menggelar lomba pembuatan Komik dan Poster. Kami membuka acara dan membagi anak-anak ke dalam beberapa kelompok yang akan mengikuti Lomba Komik atau Lomba Poster. Setelah anak-anak bergabung dalam kelompoknya masing-masing, ternyata hampir semua kelompok tertarik untuk mengikuti Lomba Poster. Sedangkan untuk Lomba Komik hanya ada satu kelompok yang mendaftar. Akhirnya, kami memutuskan Lomba Komik ditiadakan dan semua kelompok mengikuti Lomba Poster.
Lomba Poster ini diikuti oleh 10 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari empat orang anak. Lomba Poster ini sendiri mengambil tema-tema yang berkaitan dengan kemerdekaan. Dengan media karton dan pensil warna, setiap kelompok mulai bekerja. Ada yang mulai membuat sketsa gambar di kertas-kertas kecil. Ada juga yang menggambar sketsa langsung pada karton yang telah disediakan. Di beberapa kelompok ada anak-anak yang secara bersamaan menggambar sketsa. Dan di beberapa kelompok lain anggota-anggota kelompok menunjuk seorang anak yang dianggap bisa menggambar untuk membuat sketsa.
Sebenarnya, di ruang pendidikan itu bukan hanya ada kegiatan kelompok-kelompok yang membuat poster. Ada proses ‘inisiasi’ bagi anak-anak yang baru bergabung dalam kegiatan kami. Anak-anak baru ini dipandu oleh Anita dan Yulia. Di samping itu, ada segerombolan anak lain yang tidak bergabung dalam kelompok.
Dari kesepuluh kelompok yang mengerjakan pembuatan poster, hampir semua karya mereka boleh dibilang tidak mirip poster. Sekali lagi kami mesti menyatakan maaf karena mungkin penjelasan kami tentang apa itu poster kurang dipahami anak-anak. Namun, sekali lagi juga kami mesti katakan bahwa karya anak-anak ini tidak dimaksudkan untuk menjadikan mereka expert melainkan menjadi stimulus dan wahana berekspresi anak.
Idealnya sebuah poster itu menyampaikan pesan yang jelas dan tegas. Pesan ini dapat disampaikan dengan kata-kata dan ilustrasi gambar yang elok, bukan tumpukan gambar dan tulisan semrawut dan samar. Itulah yang dibuat anak-anak, tumpukan gambar dan tulisan yang semrawut sehingga pesan-pesan yang disampaikannya pun menjadi kabur. Namun, harus kita pahami bahwa mereka tidak sedang mengikuti sebuah kontes grafis. Anak-anak itu bukanlah perusahaan advertising yang tengah mengerjakan pesan kliennya. Mereka adalah anak-anak yang memiliki kebebasan untuk berekspresi meski dalam keterkungkungan. Mereka pun sedang menyampaikan pesan yang ingin dipahami semua orang. Sayang tak banyak orang yang sudi mendengarkan dan memahami penuturan anak-anak yang sering dianggap nakal ini. Tentu saja pesan mereka lebih jelas dan lebih bermakna dari sekedar poster atau media-media iklan lainnya. Tinggal kita mau atau tidak mendengarkan mereka.
Bagian yang sangat dilindungi dan diakui dalam Konvensi Hak Anak adalah aspek tumbuh dan kembang anak. Kedua aspek ini akan berjalan optimal dalam ranah yang sangat terbuka bagi eksplorasi potensi dan ekspresi anak. Dan segalanya ini merupakan hak yang harus didapatkan oleh setiap anak kapanpun, di manapun dan dalam kondisi apapun. Apakah penjara dapat memberi ruang yang sangat terbuka bagi proses tumbuh-kembang anak? (izoel)

Sabtu, 11 Juli 2009

Membangun Sinergi Dalam Menangani Perempuan dan Anak Korban Kekerasan



(Catatan Rapat Koordinasi Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung)

Pada hari Senin, 6 Juli 2009, saya mewakili Kalyanamandira mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Sinergitas Mekanisme Penanganan Bagi Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan di Kota Bandung, yang diselenggarakan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kota Bandung. Kegiatan ini sendiri dilaksanakan di UPT P2TP2A, yang merupakan pusat layanan bagi perempuan atau anak korban kekerasan di Kota Bandung. UPT P2TP2A didirikan pada tahun 2002 berdasar kajian dari perguruan-perguruan tinggi dan rekomendasi dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
Semula lembaga ini berbentuk lembaga swadaya masyarakat, kemudian berubah menjadi unit pelayanan terpadu daerah (UPTD) di bawah Pemerintah Kota Bandung. UPT P2TP2A melayani perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentuk konseling, mediasi, pendampingan di pengadilan, pemberdayaan ekonomi keluarga dan trauma healing.
Kegiatan ini bertujuan untuk membangun sinergi dan kemitraan antara UPT P2TP2A dengan instansi dan institusi lain yang terkait, seperti, Kepolisian, Dinas Kesehatan, Departemen Agama, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lain-lain. Sebagai instansi baru di Pemerintahan Kota Bandung, UPT P2TP2A perlu membangun kemitraan dengan instansi dan institusi lain, terlebih lagi UPT P2TP2A terus-menerus malakukan pembenahan. Salah satu yang harus dibenahi adalah keberadaan Rumah Aman bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Sejauh ini UPT P2TP2A belum memiliki Rumah Aman. padahal sebagai salah satu unit layanan pemerintah yang berada di kota besar dengan segala permasalahannya yang kompleks, seyogyanya UPT P2TP2A memiliki sebuah Rumah Aman.
Di samping melakukan perkenalan UPT P2TP2A, kegiatan ini pun memberi kesempatan kepada setiap elemen yang hadir untuk memaparkan hal-hal yang telah mereka lakukan terkait dengan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak, tentu saja sesuai dengan bidangnya. Dari pihak kepolisian yang pada pertemuan ini diwakili oleh seorang polisi wanita yang bekerja di RS Sartika Asih, menjelaskan tentang proses visum yang dilakukan pada korban-korban kekerasan, baik bagi korban kekerasan biasa maupun korban kekerasan seksual. Seringkali dikeluhkan proses visum ini yang sangat ngejelimet. Penjelasan soal ini ditambahkan oleh seorang bapak perwakilan dari RS Hasan Sadikin Bandung. Menurutnya, proses visum ini sangat mudah dilakukan dan gratis. Tentu saja penjelasan ini penting karena seringkali korban kekerasan enggan untuk melapor dan membuktikan karena sangat mahal biayanya, khususnya dalam proses visum ini.
Tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung perceraian, seorang perwakilan Departemen Agama Kota Bandung turut berbagi cerita. Menurutnya, sejauh ini pada proses perceraian di pengadilan agama, Departemen Agama dalam kaitan ini Pengadilan Agama selalu menjadi mediator bagi pasangan suami-isteri dan seringkali menganjurkan kepada setiap pasangan untuk berdamai.
Beberapa lembaga swadaya masyarakat turut hadir dan berbagi cerita. Salah satunya adalah Jaringan Relawan Independen (JARI). JARI yang memiliki beberapa orang staf ahli dalam bidang hokum, kesehatan dan psikologi, seringkali menerima klien yang menjadi korban kekerasan. Para klien ini diwawancara dan didampingi dalam menghadapi permasalahannya. JARI pun menyiapkan beberapa data melalui pemeriksaan kesehatan dan tes psikologi. Para klien pun didampingi dalam proses hukumnya.
Salah seorang kawan dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) pun berbagi cerita soal penanganan korban-korban perdagangan perempuan (women trafficking). Dalam penanganan women trafficking ini ada dua hal yang mesti dilakukan, yaitu, pencegahan penyaluran para pekerja perempuan dari daerah-daerah tertentu, dan pemulangan para korban trafficking. Dari pengalamannya mendampingi para korban trafficking di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, katanya, seringkali para TKW illegal ini tidak langsung pulang ke kampungnya. Biasanya mereka mencoba masuk kembali ke Malaysia melalui beberapa ‘jalan tikus’. Hal ini terjadi bukan hanya karena banyak jalan dan cara yang dapat mereka lalui saja, melainkan karena proses keimigrasian kita yang kurang optimal. Karena para pekerja perempuan ini seringkali tidak langsung pulang ke daerahnya masing-masing bahkan acapkali mereka mengadu nasib di kota-kota besar, ia menilai kota-kota besar seperti Bandung akan banyak mendapat imbas dari keberadaan para pekerja perempuan ini. Secara langsung dan tidak langsung perempuan korban trafficking ini akan berkumpul dan menambah permasalahan yang ada di kota-kota besar. Maka, seyogyanya di kota-kota besar itu disiapkan shelter atau ‘Rumah Aman’ bagi para korban kekerasan perempuan, khususnya bagi korban trafficking.
Karena UPT P2TP2A ini masih memiliki beberapa kekurangan, sehingga layak didukung oleh semua elemen yang terkait. Hal ini diamini oleh beberapa orang perwakilan dari perguruan tinggi yang hadir, seperti, dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati. Mereka dapat memfasilitasi beberapa hal seperti kajian, penelitian dan hal-hal lain sesuai kapasitas mereka.
Sampailah di penghujung acara, tetapi saya merasa belum terumuskan mekanisme atau teknis sinergitas yang diharapkan antar instansi dan institusi terkait. Para peserta Rakor ini tampak asyik menceritakan hal-hal yang telah mereka lakukan. Namun bagaimana kapasitas masing-masing isntitusi ini dapat bersinergi belum terumuskan. Bukan hanya itu, seringkali kita lupa untuk mendefinisikan permasalahan apa yang akan dihadapi bersama. Semua paham tentang permasalahan kekerasan perempuan, tetapi apakah semu pihal memiliki cara pandang yang sama terhadap permasalahan tersebut? Sinergi tidak mungkin terwujud bila perspektif tentang permasalahannya saja belum seragam. Walla a’lam.. (izoel)

Jumat, 10 Juli 2009

RENCANA DARURAT



( Catatan Pendampingan Anak-anak Rutan Kebon Waru, 9 Juli 2009)

Pagi ini sudah berkali-kali saya meng-sms Zamzam dan Bram menanyakan kesiapan mereka untuk mendampingi ke rutan. Namun, mereka berdua tak juga memberi jawaban. Hingga akhirnya, hanya saya dan Oka saja yang bisa mendampingi anak-anak di Rutan Kebonwaru karena kawan-kawan pendamping yang lain berhalangan.
Jujur, saya sempat kebingungan dan pagi ini saya mesti menyiapkan rencana darurat, yaitu dengan membuat satuan acara pembelajaran (SAP) yang baru dan berbeda dengan SAP kelompok minat. Dalam SAP ini, anak-anak disatukan dan dibagi kelompok berdasar kebutuhan persiapan kegiatan peringatan Hari Anak Nasional 2009 dan HUT RI Ke-64.
Sekira jam 10 pagi, saya dan Oka memasuki gerbang rutan menuju ruang pendidikan setelah melewati beberapa pemeriksaan rutin dari para petugas. Sambil menghilangkan sedikit nervous, kami menunggu anak-anak di ruang pendidikan. Satu-persatu anak memasuki ruangan. Dan saya mulai membuka kegiatan.
Saya berucap salam dan menyampaikan beberapa penjelasan tentang kegiatan yang akan dilakukan pada kesempatan kali ini. Suatu permainan angka pun saya mainkan bersama anak-anak. Saya menentukan beberapa harga berbeda untuk sekumpulan anak dengan kategori yang berbeda. Anak-anak yang menggunakan celana pendek dihargai 250. Sedangkan anak-anak yang bercelana panjang, saya hargakan 750. Kemudian, saya menetapkan sebuah angka, misalnya, 2500. Maka anak-anak akan saling menggabungkan diri hingga jumlah mereka sesuai dengan angka yang saya inginkan.
Setelah permainan angka di atas, anak dibagi ke dalam empat kelompok pentas, pameran, lomba dan perlengkapan. Setiap kelompok diminta untuk mendiskusikan hal apa saja yang mesti disiapkan menjelang acara peringatan Hari Anak Nasional 2009 dan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-64. Kelompok Pentas membicarakan acara apa saja yang akan ditampilkan dalam dua even besar tadi. Kelompok Pameran membicarakan karya-karya yang akan dipamerkan. Kelompok Lomba mendiskusikan jenis-jenis lomba yang akan digelar. Sedangkan Kelompok Perlengkapan menginventarisir barang-barang yang dibutuhkan dalam dua gelaran tadi.
Sementara empat kelompok di atas mendiskusikan beberapa persiapan jelang Hari Anak dan HUT RI, saya mendampingi 11 orang anak-anak baru. Saya meminta mereka menuliskan nama dan alamat mereka. Kemudian, saya meminta mereka menuliskan cerita tentang kenangan terindah mereka sebelum masuk rutan.
Dn (16 tahun) yang tinggal di daerah Cililin, Kabupaten Bandung Barat, bercerita tentang perjalanannnya bersama kedua orang tuanya berbelanja ke sebuah pusat perbelanjaan. Ketika mereka pulang dengan diiringi riuh lagu-lagu yang mereka nyanyikan, Dn bertemu dengan seorang gadis yang seterusnya menjadi pacarnya. Dn sangat merasa bahagia, terlebih beberapa saat setelah itu ia mendapat hadiah satu unit sepeda motor dari kedua orang tuanya. Dn sangat menyayangi ibunya, dan ia sangat merindukan masakan buatan ibunya tersebut.
Ds (16 tahun) yang tinggal di Pangalengan, Kabupaten Bandung, bercerita tentang acara pikniknya bersama keluarga ke pantai Ranca Buaya. Ia merasa sangat bahagia ketika ia berenang bersama bapak dan adiknya. Ds pun bercerita tentang pengalaman lima tahun yang lalu, ketika ia pertama kali mengamen ke Pangandaran bersama kakaknya. Ds sangat menyayangi neneknya yang begitu baik kepadanya.
M (17 tahun) yang dua tahun pernah tinggal di Bali bersama ibunya, turut berbagi cerita. Sebelum ia tinggal di Bali, ia mempunyai seorang sahabat yang sangat dekat. Kedekatan ini pun bertambah ketika orang-orang di sekitarnya menganggap mereka mirip. Keduanya pernah bermain ke daerah pegunungang di Bandung selatan. M pun bercerita tentang pekerjaannya ketika tinggal di Bali. Di Bali, ia bekerja membuat sandal dan sepatu. Dari hasil kerjanya, ia bisa membantu kebutuhan orang tuanya. Ia pun sangat senang dengan tempat-tempat wisata yang ada di Bali.
Sebenarnya, masih ada beberapa cerita lain, mungkin di lain waktu saya sambung kembali. Ternyata, kondisi darurat tidak mengurangi kedalaman makna yang kita dapatkan. Meski sebagian anak tidak dapat kami pegang, mereka dapat secara mandiri melakukan diskusi tentang persiapan Hari Anak Nasional dan HUT RI. Perlu diingat, meskipun hari ini anak-anak hanya merumuskan persiapan Hari Anak dan HUT RI, tetapi kami masih terus mengacu pada kesepakatan awal tentang kegiatan-kegiatan yang akan kami laksanakan selama 3-4 bulan ini. Di samping itu, kami masih mengacu pada beberapa capaian yang telah ditentukan, khususnya tentang pemaknaan positif. (izoel)

Senin, 29 Juni 2009

Amazing


“Cinta adalah ketika ia bersemi dalam hati
Terkembang dalam kata…”

Sepenggal kata-kata tersebut saya terima dari seorang Holid. Kertas putih kosong yang baru saja saya berikan kepadanya beberapa menit yang lalu, telah terisi rangkaian kata-kata puitis. “AMAZING”, hebat, dahsyat, saya terpukau, saya terharu, sungguh. Orang seperti Holid yang notabene mesti hidup di hotel prodeo, bersemangat dan mampu merangkai kata-kata sepuitis itu.
Yang ditulis Holid bukan hanya sebuah puisi, ia juga menulis puisi-puisi lain di atas selembar kertas yang ia mintai kepada saya ketika puisi pertamanya rampung. “Wahai ukhti, engkaulah lapaz-lapaz hati….”, sampai di sini saya tak mampu bercakap lagi.
Keamazingan bukan hanya ditunjukkan Holid, tapi semua, seluruh siswa kelas musik Rumah Tahanan (Rutan) Anak Kebon Waru. Mereka semua sangat bersemangat ketika saya persilakan mereka memerkenalkan diri tanpa bersuara. Mereka berekspresi, menelurkan langkah yang merupakan presentasi dari sebuah ide yang cemerlang. Ada Toni yang memerkenalkan namanya lewat sebuah sobekan kertas yang ia tulisi “TONI”, ada Angga yang menggerakkan jemari tangannya menggambarkan rangkaian huruf yang menjadi pondasi nama besar yang disandangnya sedari kecil, dan ada pula Agus yang dengan manyun-manyun menggerakkan mulutnya, berusaha dengan susah payah untuk memberitahukan namanya pada kami. Cerdas.
Apa yang saya lihat dan rasakan saat baru beberapa menit berkomunikasi langsung dengan mereka, kontan memupus apa yang saya bayangkan sebelumnya. Dalam pikiran saya yang masih hampa, beberapa minggu bahkan di depan pintu rutan hari Kamis itu, yang saya bayangkan mereka adalah anak-anak yang nakal, menyebalkan, sulit diatur, dan menyeramkan karena badannya dipenuhi tatoo bak Tora Sudiro. Ya, meskipun ada beberapa orang dari mereka bertato, tapi hati mereka, sikap mereka, sangat ramah. Hati mereka tak seperti apa yang saya bayangkan, mereka remaja yang bisa bertutur lembut, baik bertutur lisan maupun tulisan. Buktinya, Holid, Agus, Aditya, Kiki, Heri, Oky, Agus, dan Santana, adalah anak-anak yang mau belajar merangkaikan kata-kata halus, menguraikan apa yang mereka pikirkan.
Ini Amazing, sungguh di luar apa yang saya pikirkan. Saya berterimakasih kepada mereka. Anak-anak yang walaupun berwajah kusam dan kumal, mau dan semangat untuk belajar menulis.
Sebelum kelas usai, kami membentuk lingkaran tak beraturan, menyanyi bersama, dari lagu pop jaman jadul, hingga dangdut masa kini. Agus yang terbilang paling cucok di antara mereka, lihai memainkan si alat petik. Semua pun bernyanyi.
Pukul 12 siang, kelas usai, seorang Holid mendekati saya,
“Teh, boleh minta kertas nggak?”
“ Buat apa?”, jawab saya
“Pengen nulis puisi, tapi buat di sel, entar hari Kamis, aku kasih ke Teteh puisinya”.
Ahh… rupanya mereka telah banyak belajar tentang kehidupan. Di balik segala keterbatasan, mereka masih mau berusaha untuk menulis, untuk belajar. Berbeda dengan saya yang masih menulis karena dikejar deadline.
Sungguh, mereka, amazing. (Dhika)